Berburu Air di Desa di Sikka

Kekeringan membuat warga di sejumlah desa di Kabupaten Sikka mengambil air di tempat yang jauh, jalan kaki berkilometer untuk sampai di sumber air.

Baca Juga

Floresa.co – Saban sore, Agnes Yoanita Cintia menenteng jerigen ke Wair Puan, mata air terdekat di kampungnya di Desa Darat Gunung, Kecamatan Talibura, sekitar 45 kilometer arah timur Maumere, ibukota Kabupaten Sikka.

Ia bolak balik jalan kaki ke mata air itu, yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. 

Selain mencukupi kebutuhan air untuk mandi keesokan harinya, ia juga menyiapkan lima liter air yang akan dibawa ke sekolah.

“Di sekolah airnya macet. Air yang kami bawa akan digunakan untuk cuci tangan, siram bunga dan untuk toilet,” kata gadis berusia 12 tahun, siswi di Sekolah Dasar Natarleba itu kepada Floresa.

Kalau kami tidak bawa air, “terpaksa kalau mau buang air, kami kembali ke rumah.”

Di Wair Puan, di mana terdapat sebuah bak air yang dibangun warga untuk memudahkan mengambil airnya, Cintia bergabung dengan warga lainnya yang juga bergantung pada mata air itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Wair Puan dipadati warga mulai subuh hingga malam. Mereka datang dari beberapa kampung.

Agnes Yoanita Cintia (berbaju hijau) bersama kawan-kawannya sedang mengambil air di Wair Puan, Darat Gunung, Kecamatan Talibura pada 3 September. (Foto: Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Helena Hajong, ibu berusia 68 tahun, menempuh perjalanan kurang lebih tujuh kilometer untuk sampai ke Wair Puan.

Warga Kampung Watuhuwur, Dusun Hurabegor itu ditemani dua anaknya yang masih mengenyam pendidikan di SMP Supra Talibura.

“Kalau sudah tidak mampu lagi jalan dan pikul jerigen, saya tunggu mobil yang lewat agar bisa menumpang,” kata Helena kepada Floresa saat ditemui di Wair Puan.

“Kalau tidak ada usaha seperti itu, kita masak dan minum pakai apa? Belum lagi kebutuhannya bukan hanya untuk masak, tetapi juga untuk mandi dan toilet,” katanya.

Jika sedang lelah, Helena biasa membayar orang untuk mengangkut air dengan sepeda motor.

“Satu jerigen ukuran dua puluh liter itu ongkosnya sepuluh ribu rupiah,” katanya.

Durce, seorang perempuan berusia 56 tahun, warga Dusun Natarleba, agak beruntung  dengan jarak 500 meter rumahnya dengan mata air itu.

Hal itu membuat ia bisa mandi dan cuci langsung di Wair Puan. Ia hanya mengangkut air ke rumah untuk masak dan toilet.

Durce yang bergabung dalam sebuah kelompok tani sesama perempuan mengatakan, air dari Wair Puan juga menjadi bekal kala mereka bekerja di kebun.

“Kami sebut sebagai arisan air,” katanya menjelaskan kebiasaan membawa  lima liter air  untuk membantu pemilik kebun tempat mereka bekerja.

“Hal itu kami lakukan agar pemilik kebun tidak kewalahan air ketika kerja di kebunnya,” katanya.

Yohanes Ento, 38, guru di Sekolah Dasar Negeri Natarita mengatakan, sepulang sekolah, ia juga berjalan kaki dua kilometer ke mata air  Kubat.

Di mata air itu, kata dia, ia dan warga lainnya menunggu sampai air yang ditampung di sebuah kolam kecil itu penuh dan semua kotorannya mengendap.

“Airnya keruh,” katanya kepada Floresa, menambahkan bahwa mereka tidak punya pilihan lain sehingga terpaksa tetap mengkonsumsinya setelah dimasak dan disaring.

Kekeringan dan Proyek Air yang Bermasalah

Desa Darat Gunung adalah salah satu dari belasan desa di Kabupaten Sikka yang saat ini mengalami krisis air karena kekeringan, menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Kabupaten Sikka.

Beberapa desa lainnya adalah Magepanda, Kolisia, Reroroja, Waturea, Nele Urung, Habi, Langir dan Kringa.

Helena mengatakan di kampungnya sebetulnya terdapat enam bak penampung air, bagian dari proyek air minum bersih yang pernah dikerjakan pemerintah.

Namun, semuanya tidak berfungsi. Bak-bak itu kering.

“Air yang masuk ke dalam bak itu dialirkan dari embung, tetapi pada musim begini, debit airnya semakin berkurang dan tidak bisa dialirkan kemana-mana,” katanya.

Embung yang dimaksud Helena berada di Watuhuwur, berjarak satu kilo dari kampungnya.

Tidak hanya karena kekeringan, krisis air di desa di Sikka juga terjadi karena saluran air minum bersih yang bermasalah, seperti yang terjadi di Desa Kringa, tetangga Desa Darat Gunung.

Di desa itu, pipa-pipa air terpasang hingga ke rumah warga, dengan sumber air dari desa tetangga di Desa Hikong, yakni mata air Helir dan Beda Terang.

Namun, kini pipa-pipa banyak yang rusak sehingga air yang mengalir sampai ke tiga dusun di wilayah desa itu hanya tersisa tetesan.

Seperti yang disaksikan Floresa, warga di Kringan mengantri menimba air yang menetes dari sebuah pipa.

Mama Rosalia Irda, warga Dusun Boganatar, desa Kringa sedang mengambil air dari tetesan pipa yang patah. (Foto: Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Pada tahun 2019, desa itu mendapatkan anggaran total Rp700 juta untuk  proyek air minum bersih.

Dua paket proyek itu bersumber dari dana Pagu Indikatif Kecamatan [PIK] dan dari Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS). 

Paket proyek kedua ini bermaksud mengambil air dari sumber baru, mata air Lodan Wuan, menyusul menurunnya debit air di Helir dan Beda Terang.

Lewat proyek PAMSIMAS itu, targetnya adalah air dari mata air Lodan Wuan dialirkan ke bak penampung di Dusun Boganatar, satu dari tiga dusun di Desa Kringa. Sementara proyek PIK fokus mengatur distribusi air dari bak di Dusun Boganatar ke seluruh desa.

Namun, sampai hari ini bak yang sudah dibangun di Bogantar kosong dan sama sekali tidak ada aliran air dari Lodan Wuan.

Moa Yosef, warga Dusun Boganatar menuturkan, pipa dari mata air yang diambil dari Desa Hikong tidak berfungsi maksimal, sementara dari mata air Lodan Wuan tidak mengalir sama sekali.

“Kita sebenarnya tidak kesulitan air, tetapi jaringan perpipaan yang patah dimana-mana membuat ratusan warga kena dampak. Air bahkan terbuang-buang di kebun warga,” katanya.

“Tindakan yang diambil dari petugas hanya sekedar mengikat pipa dengan binen,” ungkap Moa kepada Floresa pada 7 September.

Ia juga menilai Pemerintah Desa Kringa tidak berbuat banyak untuk memperbaiki kerusakan pada instalasi pipa.

“Paling tidak ada solusi dari pemerintah dalam menangani hal ini,” katanya.

Ia mengatakan, warga yang memiliki sepeda motor tidak terlalu kesulitan mengambil air di tempat yang jauh.

“Kalau mereka yang jalan kaki? Kasihan kan?” katanya.

Erminolda, perempuan 51 tahun, warga Dusun Kringa mengatakan, ia harus mengambil air di Blaur Ohok, mata air yang berjarak kurang lebih satu kilo dari dusunnya. 

Ia kecewa dengan pipa-pipa yang tak kunjung mengalirkan air.

“Rupanya hanya sebagai hiasan karena tidak punya fungsi,” katanya.

“Saya lelah setiap hari harus pulang pergi angkat air untuk kebutuhan sehari-hari,” katanya.

BPBD Tunggu Laporan

Durce mengatakan, krisis air di Desa Darat Gunung terjadi bukan hanya tahun ini saja, “tetapi sudah bertahun-tahun dan belum ada solusi yang pas dari pemerintah.”

Emmanuel Yosef Muda, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Kabupaten Sikka mengatakan mengetahui krisis air yang melanda sejumlah wilayah Sikka.

Ia menjelaskan, sejauh ini merek akan turun tangan membantu warga jika ada laporan dari kecamatan ataupun dari desa terdampak.

“Setelah mereka bersurat ke kita, barulah kita akan menindak lanjuti,” katanya kepada Floresa pada 9 September.

Ia mengatakan, bantuan mereka memang bersifat darurat karena mesti “disesuaikan dengan daerah lain yang membutuhkan juga.”

Ia menjelaskan, langkah yang diambil BPBD saat ini hanya mengeluarkan surat edaran.

Isinya menghimbau masyarakat agar hemat air dan menghindari aktivitas yang memicu kebakaran hutan karena penangannya akan lebih sulit.

Ibu Agustina, warga Dusun Boganatar, Desa Kringa sedang menggayung air keruh dari sebuah kolam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. (Foto: Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Menanti Hujan

Di Sikka, sudah beberapa bulan ini hujan belum juga turun. Kabupaten itu memang tercatat sebagai daerah kering, dengan durasi penyinaran terlama [95,8 persen] dari seluruh kabupaten di Pulau Flores, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG].

Secara keseluruhan, masih menurut BMKG, NTT menjadi salah satu provinsi yang masih akan mengalami kekeringan ekstrem, setidaknya hingga September ini saat el nino akan mencapai puncaknya. El nino merupakan fenomena meningkatnya suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian timur yang mengakibatkan udara basah ke Indonesia berkurang, hal yang memicu kekeringan.

Helena mengatakan, sementara hujan belum juga turun, mereka tidak punya pilihan selain ke Wair Puan saban hari, kendati air di mata air itu “sebenarnya tidak layak untuk diminum.”

“Banyak lumpur dan sampah plastik di dalamnya,” katanya.

“Air itu juga memiliki kadar kapur tinggi. Setelah dimasak, kami harus endapkan selama beberapa jam terlebih dahulu, baru kami minum,” kata Helena.

“Tetapi kalau sudah sangat haus, kami minum saja tanpa disaring terlebih dahulu,” katanya.

Durce mengatakan, “walaupun kotor dan kadar kapurnya tinggi, kami tetap menggantungkan harapan pada Wair Puan.” 

Ia menanti hujan segera tiba di Sikka karena berarti “kami tidak perlu ambil alir di tempat yang jauh.”

“Kami tinggal pakai air hujan untuk kebutuhan memasak, mandi dan mencuci.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini