Floresa.co – Skandal antara seorang imam di Keuskupan Ruteng, Flores yang dilaporkan tertangkap tidur dengan istri umatnya, menurut seorang praktisi dan analisis hukum, adalah tindak pidana di mana terduga pelaku bisa dijerat dengan pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP].
Siprianus Edi Hardum, pengacara asal Manggarai yang juga doktor hukum, menyebut kasus antara mantan Pastor Paroki St Yosef Kisol, Rm Agustinus Iwanti itu dengan istri salah satu umatnya masuk kategori perzinahan, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dirumuskan sebagai “perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan atau perkawinan.”
Romo Gusti – sapaan imam itu tertangkap tidur dengan istri seorang umat pada 24 April dini hari. Gusti mengklaim dalam sebuah pernyataan ia memang sedang dalam satu kamar dengan istri umatnya, namun dalam keadaan berpakaian lengkap.
Namun, Valentinus, suami dari umat yang tidur dengan Gusti memberi kesaksian berbeda bahwa Gusti satu selimut dengan istrinya pada pukul 02.00 Wita di kamar rumah mereka.
Ia menggambarkan Gusti memohon ampun berulang kali saat tertangkap, sembari meminta agar kasus itu tidak diekspos karena akan membuatnya hancur.
Gusti sudah diberhentikan dari jabatannya sebagai pastor paroki, tak lama setelah peristiwa itu dilaporkan ke Vikaris Episkopal Kevikepaan Borong dan ramai diberitakan media.
Edi dalam analisisnya terhadap kasus ini yang dipresentasikan dalam sebuah forum diskusi via Zoom pada 22 Mei menyebut tindak Gusti dan istri umatnya terkait dengan pidana perzinahan yang diatur dalam KUHP Pasal 284 ayat 1 dan 2, dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Namun, kata dia, merujuk pada kronologi kasus ini, Gusti dan istri umatnya belum melakukan hubungan badan, “sehingga tidak dapat dijerat dengan Pasal 284 KUHP.”
Edi merujuk pandangan pakar hukum, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal bahwa untuk dapat dijerat dengan pidana selingkuh, “pasangan selingkuh tersebut harus sudah bersetubuh atau berhubungan badan.”
“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa belum ada pidana selingkuh yang dapat dijatuhkan kepada pasangan yang dalam perselingkuhannya tidak melakukan hubungan badan atau zina,” tulis Edi.
Kendati demikian, Edi berpendapat kasus ini bisa dijerat dengan pasal tindak pidana percobaan.
Sebagaimana diatur dalam pasal KUHP pasa 53 ayat 1, tindak pidana percobaan terkait mencoba melakukan kejahatan pidana yang niatnya ada dari adanya permulaan pelaksanaan “dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.”
Hukumannya, sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 adalah “maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.”
Dari kronologi kasus ini, kata Edi, Gusti dan istri umatnya “sudah mencoba melakukan tindak pidana.”
“Namun tindak pidana itu belum selesai yakni belum terjadi pertemuan kelamin, bukan karena kehendak keduanya, tetapi karena tertangkap tangan,” jelasnya.
“Oleh karena itu, keduanya [terancam] dihukum sembilan bulan penjara dikurangi seperti tiga jadi enam bulan penjara,” tambah Edi.
Ia memberi penjelasan tambahan bahwa agar kasus ini bisa diproses pidana, harus ada yang mengadu karena tindakan keduanya merupakan delik aduan.
Pengaduan itu, kata Edi, bisa dilakukan oleh Valentinus atau anaknya yang sudah dewasa.
Hal ini, kata dia, merujuk pada pasal 248 KUHP ayat 2 bahwa pidana perzinahan dilakukan “atas pengaduan suami/istri yang tercemar” yang bisa diajukan dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
Kasus Gusti saat ini sedang ditangani Keuskupan Ruteng. Vikaris Jenderal Keuskupan Ruteng, Romo Alfons Segar menjawab singkat pertanyaan Floresa pada 18 Mei tentang keputusan keuskupan.
“Masih dalam proses,” katanya.
Sementara itu dalam sebuah pernyataan, keluarga Valentinus meminta agar Gusti “mencopot jubah” atau keuskupan segera menanggalkan penugasannya sebagai imam.
Valentinus yang berbicara dengan Floresa pada 16 Mei berkata, pernyataan itu telah disampaikan lewat sebuah surat yang diserahkan ke Kevikepan Borong pada 4 Mei.
Selain menuntut mencopot jubah Gusti, dalam pernyataan itu, keluarganya juga meminta Gusti “mempertanggungjawabkan perbuatannya” dengan membiayai kehidupan istri Valentinus.
Keluarga Valentinus juga “mendesak pihak Keuskupan Ruteng untuk segera menyelesaikan kasus ini secara adil dan transparan, selambat-lambatnya dua minggu sejak surat pernyataan sikap ini dibuat.”
“Apabila keputusan dari penegak hukum gereja dalam menindak Romo Agustinus Iwanti tidak sesuai poin-poin tuntutan pihak keluarga korban, maka kami selaku keluarga korban akan mengambil langkah jalur hukum di kepolisian,” menurut pernyataan itu.
Pernyataan yang dibuat di kediaman Valentinus di Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur itu, disusun dan disepakati melalui proses diskusi di antara keluarga besar, kata Valentinus.
Dalam sebuah laporan yang dipublikasi pada 9 Mei, Floresa meminta respons umat Katolik terhadap kasus ini.
Tidak hanya sepakat untuk memberhentikan Gusti, mereka juga berharap kasus ini menjadi kesempatan bagi sebuah pembaruan besar-besaran di Keuskupan Ruteng, terutama dalam pola penanganan terhadap imam yang bermasalah.
Editor: Herry Kabut