Mantan Kepala Desa di Manggarai Timur Dibui karena Korupsi Rp2,1 Miliar, Akademisi Soroti Peran Lembaga Supra Desa yang Seringkali Jadi Predator

Faktor yang mempengaruhi praktik korupsi di desa tidak bisa hanya pada kepala desa, tetapi juga pada lembaga-lembaga supra desa, termasuk aparat penegak hukum yang seringkali ‘memanfaatkan’ kepala desa

Floresa.co – Kasus seorang eks kepala desa di Kabupaten Manggarai Timur yang baru-baru ini divonis penjara karena korupsi dana desa hingga dua miliar, menurut akademisi dan pengamat seharusnya bisa dicegah jika lembaga-lembaga supra desa menjalankan fungsinya dengan maksimal, termasuk dalam pengawasan.

Sayangnya, kata Gregorius Sahdan, dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, merujuk pada hasil kajiannya tentang praktik korupsi di desa, alih-alih membantu kerja kepala desa, lembaga-lembaga tersebut malah seringkali memanfaatkan kepada desa.

Meski tidak spesifik menyebut kasus di Desa Golo Wontong, Kecamatan Lamba Leda Utara yang mantan kepala desanya dibui, kata dia, desa sering “digerogoti banyak predator atau pemburu rente.” 

Predator itu termasuk pendamping desa, camat, inspektorat hingga aparat penegak hukum, katanya.

Kepala desa, kata Gregorius, menjadi korban “karena setiap kali ketemu mereka, selalu setor.”

Kian banyak uang setoran ke para predator, kendati ada kasus, kepala desa tak akan diusut atau hukumannya menjadi ringan jika diproses hukum.

Sebaliknya, jika tidak menyetor, maka siap-siap jadi target, dan ketika kepala desa diproses, mereka umumnya mencari aman.  

Praktik seperti ini, kata dia, “memicu pembangunan desa semakin rusak.”

Nikolaus Ganus, 55 tahun, mantan Kepala Desa Golo Wontong selama dua periode divonis penjara empat tahun delapan bulan dan denda Rp100 juta, subsider pidana kurungan tiga bulan.

Dalam putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang pada 18 September, ia juga diwajibkan mengembalikan kerugian negara senilai Rp.2.147.998.014,37.

Putusan ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum enam tahun penjara serta denda Rp100 juta. 

Dikutip dari salinan putusan, hakim menyatakan Nikolaus “terbukti secara sah dan meyakinkan” melakukan korupsi dengan “tidak melaksanakan kegiatan terkait pengelolaan Dana Desa yang telah disusun di dalam Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Desa [RAPBDes] sementara anggarannya telah habis terpakai.”

Nikolaus juga “telah melakukan pembayaran kegiatan yang tidak sesuai dengan nilai sebenarnya” serta “kurang mencatat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan tahun 2020 pada APBDes tahun 2021 atas kegiatan peningkatan jalan konstruksi lapen di Dusun Bitu.”

Selain itu, Nikolaus melakukan penganggaran dalam peningkatan jalan lapen sepanjang 420 meter dan pembangunan satu unit Gedung Posyandu di Dusun Golo Ka pada 2022, dengan volume pekerjaan yang kurang dari APBDes.

Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Manggarai di Reo, Riko Budiman berkata, Nikolaus baru menyerahkan Rp20 juta uang pengganti.

Jika ia tidak melunasinya satu bulan sesudah putusan yang berkekuatan hukum tetap, “harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut,” katanya kepada Floresa pada 23 September.

Jika harta bendanya tidak cukup untuk membayar uang pengganti, “maka akan ditambah pidana penjara selama dua tahun.” 

Riko menyatakan, pihaknya masih menunggu apakah kuasa hukum Nikolaus banding, yang harus diajukan maksimal 14 hari pasca putusan.

Kepala Desa Dua Periode Meski Pernah ‘Kasus’

Nikolaus menjadi kepala desa selama dua periode pada 2012-2023. Ia sempat ikut dalam Pemilu 2024 sebagai Caleg Partai Hanura untuk DPRD Manggarai Timur.

Sesuai putusan, ia menyelewengkan dana desa selama tiga tahun pada 2020-2022.

Dalam wawancara dengan Floresa pada 19 Januari, Camat Lamba Leda Utara, Agustinus Supratman berkata, pada periode pertama kepemimpinannya, Nikolaus “sempat kasus” dan diperiksa inspektorat, namun tidak merinci “kasus” yang dimaksud.

Inspektorat kemudian memberinya rekomendasi untuk maju pada periode kedua, yang menurut Agus berarti kasus itu dinyatakan selesai.

Kantor Camat Lamba Leda Utara sempat menjadi sasaran penggeledahan oleh kejaksaan saat mengusut kasus ini.

Namun, Agustinus menampik keterlibatannya, mengklaim bahwa ia hanya mengecek laporan kepala desa secara administratif dan tidak pernah menerima setoran.

Bagi Gregorius Sahdan, setiap kepala desa yang melakukan korupsi memang harus dihukum, kendati korupsi juga terjadi karena peran pemerintah supra desa yang memanfaatkan kepala desa.

Gregorius berkata, pada umumnya terdapat dua modus korupsi dana desa, yakni membiayai kepentingan pribadi kepala desa dan membantu operasional kepala desa serta perangkatnya.

Gregorius Sahdan, dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta. (Dokumentasi pribadi)

Dari temuannya dalam banyak kasus korupsi di desa, lembaga seperti inspektorat kadang tidak memainkan peran untuk mengecek kinerja kepala desa.

“Kita jangan terlalu menganggap bahwa inspektorat itu suci dan benar,” katanya.

“Jika inspektorat memanggil kepala desa, itu hanya problem setoran saja. Kalau [setoran] cocok ya pulang, tapi kalau tidak cocok ya nanti melibatkan kejaksaan,” katanya.

“Di kejaksaan nanti kepala desa diperas lagi. Sampai di pengadilan, diperas lagi oleh hakim,” tudingnya.

Dalam kasus Desa Golo Wontong, Gregorius mengkritisi camat yang tidak jeli memeriksa laporan keuangan desa dan justru memberikan rekomendasi pencairan dana desa.

Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa [DPMD], kata dia, menyetujui pencairan dana desa setelah membaca rekomendasi camat.

“Tidak mungkin DPMD mencairkan [dana desa] kalau tidak ada rekomendasi dari camat,” katanya.

“Jangan-jangan camat juga terlibat dalam kongkalikong sehingga selalu ada pencairan keuangan setiap tahun,” tambahnya.

Ia juga menduga rekomendasi itu diberikan karena “camat hanya membaca laporan keuangan desa yang dalam wujud kertas-kertas, tetapi tidak melakukan pengecekan di dalam pelaksanaanya.” 

Dihubungi Floresa pada 1 Oktober soal pernyataan Gregorius, Camat Agustinus Supratman kembali menampik keterlibatannya.

Selama persidangan, katanya, “memang tidak ada bayaran atau setoran terkait tanda tangan rekomendasi pencairan dana desa.”

“Silakan tanya ke semua kades di wilayah kerja saya,” katanya.

Agustinus mengklaim, sejak ditugaskan sebagai camat, “saya berkomitmen mengabdikan diri secara total, tanpa batas dan tanpa syarat.”

Ia juga menyatakan, sesuai regulasi ia memang hanya memeriksa kertas laporan keuangan dari desa, mengklaimnya sesuai yang diatur dalam Peraturan Bupati Manggarai Timur Nomor 19 Tahun 2019, kendati tak menjelaskan poin-poin di dalamnya.

Rekomendasi dari camat juga akan dicek oleh DPMD, “pertanda bahwa rekomendasi camat tidak bisa mencairkan uang,” katanya.

Setelah dana dicairkan, kata Agustinus, desa langsung melakukan “eksekusi lapangan dan tidak ke kecamatan lagi.” 

Setelah uang itu habis, kata dia, barulah desa membuat laporan lagi ke kecamatan.

Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah [KPPOD], Arman Suparman mendorong aparat agar menelusuri kembali langkah inspektorat yang justru tetap merekomendasikan Nikolaus Ganus maju lagi dalam pemilihan kepala desa, kendati di periode sebelumnya “ada kasus.”

Aparat, kata dia, harus membongkar lagi rekomendasi itu karena “di sana ada cacat moral dan integritas,” kendati Nikolaus mungkin telah mengembalikan kerugian negara.

Ia juga mengimbau agar “jangan terlalu berharap pada inspektorat karena mereka bekerja sesuai dengan komitmen kepala daerah.”

“Jika kepala daerah mempunyai komitmen untuk menegakkan akuntabilitas penggunaan dana desa, maka inspektorat juga pasti begitu,” katanya, demikian pun sebaliknya.

Floresa meminta tanggapan Pelaksana Tugas Inspektur Daerah Manggarai Timur, Flavianus Gon melalui WhatsApp pada 1 Oktober, soal pernyataan Gregorius.

Namun, hingga artikel ini dipublikasi, ia tak merespons, kendati pesan WhatsApp yang dikirim ke ponselnya bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.

Floresa juga meminta tanggapan Kepala DPMD, Gaspar Nanggar pada 30 Oktober, namun ia tak merespons.

Neo-Korporatisme Negara di Desa

Selain soal lemahnya peran lembaga supra desa, Gregorius juga menyoroti mekanisme kontrol warga desa terhadap kinerja kepala desa.

Ia berkata, otoritas politik di desa memang kuat di mana keputusan ditentukan oleh beberapa elit, tetapi inklusi demokrasi desa sangat rendah, partisipasi masyarakat terbatas dan musyawarah hanya bersifat formalistik.

Hal itu, diperparah oleh kenyataan bahwa “desa tidak memiliki tradisi konstitusionalisme yang kuat.” 

“Konstitusionalisme yang kuat itu misalnya masyarakat melakukan demo dan protes terhadap kepala desa yang korup serta mendiskusikan bagaimana caranya supaya kepala desa tidak korup,” katanya. 

Padahal, “ruang-ruang yang dilakukan secara terbuka atau tradisi konstitusionalisme itu merupakan penopang yang kuat agar mencegah kepala desa melakukan korupsi.”

Gregorius juga menyoroti banyaknya program pemerintah pusat yang masuk ke desa, terutama melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Dalam program-program itu seperti penanganan stunting dan Bantuan Langsung Tunai, desa dipaksa menjalankannya.”

Ia menyebut hal ini sebagai “neo-korporatisme negara” dengan  “membawa banyak program ke desa dan membawa banyak uang ke desa.”

Gregorius berkata, penetrasi pemerintah pusat yang terlalu kuat menyebabkan “desa tidak sibuk dengan program-programnya sendiri” karena “semuanya sudah dijatah dan didesain dari atas.”

Penetrasi itu juga menyebabkan “partisipasi masyarakat untuk menggerakkan desa tidak berjalan, apalagi untuk mengontrol kepala desa.”

Dampaknya, kata dia, musyawarah desa kadang hanya dipakai untuk membahas program-program itu, bukan program di desa.

“Padahal, musyawarah desa merupakan elemen yang bergerak untuk mengontrol perilaku kepala desa yang korup,” katanya.

Gregorius berkata, jika musyawarah desa dijalankan secara deliberatif, maka masyarakat dapat mencium dugaan korupsi yang dilakukan oleh kepala desa serta mengetahui agenda pembangunan desa yang tidak dijalankan karena “mereka bisa membukanya di dalam forum itu.”

Ia berkata, jika pemerintah mempunyai komitmen untuk memperbaiki pelayanan di desa agar makmur dan sejahtera, maka jangan lagi memaksakan program dari pusat ke desa.

Pemerintah desa, kata dia, tidak mempunyai keahlian untuk mengurus program-program itu.

Dalam menangani program stunting misalnya, “pemerintah desa tidak mempunyai tenaga kesehatan.”

“Pemerintah pusat kan punya perangkatnya sampai di kabupaten melalui dinas-dinas, ngapain harus dilakukan oleh orang desa,” katanya. 

“Pemerintah pusat jangan aneh-aneh. Mereka harus membiarkan desa maju dan mandiri dengan partisipasi warganya yang tinggi,” tambahnya.

Karena itu, kata Gregorius, problem di desa mesti dilihat secara lebih luas, termasuk dalam kasus kepala desa yang korup.

“Jangan serta merta hanya menyalahkan kepala desa,” katanya.

Perlunya Pengawasan Kolaboratif

Arman Suparman dari KPPOD menekankan pentingnya pengawasan kolaboratif terhadap desa, termasuk dalam penggunaan anggaran.

Ia berkata, sejak 2016, kasus korupsi di desa terus meningkat bersamaan dengan peningkatan alokasi dana desa. 

Tren peningkatan kasus terjadi karena ada celah pada sisi pengawasan penggunaan dana desa, katanya.

Ia berkata, selama ini pengawasan hanya melibatkan mitra pemerintah seperti inspektorat dan aparat penegak hukum, yang umumnya fokus pada tahap penggunaan anggaran.

Padahal, katanya, pengawasan perlu dimulai dari tahap perencanaan seperti saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa, penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa, sampai pada penyusunan APBDes.

Pengawasan pada tahap ini seringkali diserahkan kepada Badan Permusyawaratan Desa [BPD], padahal lembaga itu juga punya cacat struktural.

“Dia tidak punya taring untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh proses mulai dari perencanaan sampai penggunaan dana desa itu,” katanya kepada Floresa pada 30 September. 

Arman berkata, pengawasan kolaboratif juga perlu untuk meminimalisasi dugaan-dugaan tentang “pemerasan kepada kepala desa.”

Ketika dana desa semakin meningkat setiap tahun, kata dia, tentu potensi-potensi tindakan yang dilakukan oleh “oknum-oknum predator” semakin meningkat juga. 

“Kasus yang terjadi di Desa Golo Wontong sebetulnya memberi alarm terutama kepada pemerintah kabupaten/kota dan juga desa untuk menggerakkan pengawasan yang kolaboratif itu,” katanya. 

“Jangan sampai anggaran dana desa yang setiap tahun semakin naik itu tidak berdampak pada upaya peningkatan pelayanan publik dan daya saing atau peningkatan penghidupan dan ketahanan sosial di level desa,” tambahnya. 

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA