Floresa.co – Warga adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai di Kabupaten Sikka, NTT memprotes dugaan diskriminasi polisi yang gerak cepat memproses laporan korporasi milik Keuskupan Maumere, sementara laporan mereka terkait pengrusakan lahan dan rumah, serta tindak kekerasan oleh perusahaan itu, mandek sejak awal tahun lalu.
Hal tersebut disampaikan dalam pernyataan pers kuasa hukum warga dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara [PPMAN] yang diterima Floresa pada 19 Maret.
“Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara menyampaikan keprihatinan mendalam [terkait] dugaan perlakuan diskriminatif dalam proses penegakan hukum oleh aparat kepolisian Polres Sikka dalam menangani laporan pidana yang diajukan oleh masyarakat adat dibandingkan dengan laporan dari pihak perusahaan [PT Krisrama],” tulis PPMAN.
PT Krisrama adalah korporasi milik Keuskupan Maumere yang tengah terlibat konflik dengan warga adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai terkait lahan eks Hak Guna Usaha [HGU] perusahaan itu di Nangahale, bagian timur Kabupaten Sikka.
Protes terkait dugaan diskriminasi itu juga disampaikan dalam audiensi dengan Kapolres Sikka, AKBP Moh. Mucshon pada 19 Maret.
Sekitar pukul 11.00 wita, Ignasius Nasi, Kepala Suku Soge Natarmage dan kuasa hukum warga Antonius Yohanes ‘John’ Bala, Syamsul Alam Agus dan Marthen Salu tiba di Polres Sikka.
Kuasa hukum warga menyebut dua laporan yang diajukan ke Polres Sikka, yakni pada 19 Januari 2024 dan 28 Agustus 2024.
Laporan pertama terkait pengrusakan 182 tanaman warga oleh PT Krisrama pada 18 Desember 2023.
Polisi kemudian mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan bernomor SP Lidik/40/I/2024 pada 29 Januari 2024, menyatakan bahwa laporan itu sudah diterima dan akan diselidiki.
Namun, gelar perkara baru dilakukan pada 5 Juli 2024, di mana PT Krisrama menghadirkan saksi ahli yaitu staf ATR/BPN Kabupaten Sikka, yang menegaskan alas hak kepemilikan perusahaan itu di Nangahale.
Terkait gelar perkara itu, kuasa hukum warga menyampaikan keberatan pada 6 Agustus 2024, menyatakan proses itu tidak memberi kesempatan saksi ahli dari pihak warga.
Mereka menuntut gelar perkara ulang dengan menghadirkan saksi ahli dari pihak warga, juga menolak kehadiran ATR/BPN sebagai saksi ahli karena dianggap cenderung memberikan perlindungan terhadap perusahaan.
Namun tuntutan itu tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian.
Beberapa minggu setelah gelar perkara itu, yakni pada 29 Juli 2024, perusahaan kembali melakukan pengrusakan 142 tanaman, yang dilaporkan warga pada 28 Agustus 2024.
Pada hari yang sama dengan pengrusakan tanaman itu, warga juga merusak plang yang dipasang PT Krisrama.
Sementara laporan perusahaan itu pada 4 September langsung diproses, laporan warga yang sebelumnya masuk sudah dinyatakan diselidiki, tetapi tidak ditindaklanjuti lagi oleh polisi.
Alat bukti laporan perusahaan saat itu adalah video rekaman pengrusakan plang yang diambil Romo Robertus Yan Faroka, Direktur Pelaksana PT Krisrama.
Pada 22 Oktober 2024, delapan warga menerima surat panggilan dari polisi, dua di antaranya adalah perempuan. Kedelapan warga itu langsung ditetapkan tersangka dan ditahan setelah memenuhi panggilan pada 25 Oktober 2024.
Kasus ini kemudian bergulir hingga putusan hakim yang dibacakan pada 17 Maret, yang menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara kepada mereka.
Putusan ini lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum yaitu 7 bulan penjara. Hal ini menuai kecaman dari berbagai pihak.
Selain dua laporan pada 2024, warga juga menyerahkan kembali berkas laporan terkait penggusuran pada 23 Januari. Ada dua laporan terkait peristiwa itu, yakni pada 23 Januari oleh Antonius Nasi, dan 18 Februari oleh Ignasius Nasi.
Merespons warga dan kuasa hukum yang menyerahkan kembali berkas laporan, Muchson menyatakan pihaknya berlaku adil atas setiap aduan.
Ia juga menerangkan netralitas kepolisian yang tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun dalam penyidikan.
“Saya menerima semua laporan, tetapi menegaskan bahwa proses penyelidikan ini tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun,” katanya.
Sementara Kepala Satuan Reskrim, Iptu Djafar Alkatiri menjelaskan, dua laporan warga pada 2024 sudah diterima dan memiliki perkembangan masing-masing.
Terkait laporan pada 19 Januari 2024, kata dia, sudah dikeluarkan SP2HP, yang ”isinya adalah mengabarkan tentang bahwa aduan itu sudah diterima oleh pihak Polres.”
“Pak Kapolres telah memerintahkan kami untuk melakukan kegiatan penyelidikan,” lanjutnya.
Untuk laporan pada 28 Agustus dan dua laporan lainnya terkait penggusuran paksa pada 22 Januari, Djafar menjanjikan untuk mengeluarkan SP2HP karena sedang proses pengumpulan keterangan dari para pihak terkait sebagai bahan bukti.
Ia menyatakan tim penyelidikan tengah mengumpulkan pihak-pihak yang terkait seperti ATR/BPN untuk mengumpulkan dokumen terkait alas hak kepemilikan lahan tersebut.
“[Laporan] Kita terima dan juga kita lakukan rangkaian atau tindakan penyelidikan semacam yang saya sampaikan tadi,” ungkapnya.
PPMAN menyatakan “praktik ini tidak hanya mencederai prinsip keadilan dan kesetaraan di depan hukum, tetapi juga memperkuat ketimpangan struktural yang selama ini dialami oleh masyarakat adat dalam mendapatkan perlindungan hukum yang semestinya.”

Pengabaian Asas Pemisahan Horisontal
Syamsul Alam Agus berkata laporan warga terkait pengrusakan rumah dan tanaman seharusnya dapat segera diproses polisi, sesuai asas pemisahan horisontal dalam penanganan kasus.
“Yang dilaporkan oleh warga adalah tindakan pidana yaitu pengrusakan barang. Jelas bahwa ada asas pemisahan horisontal, yang seharusnya menjadi bahan penyelidikan oleh kepolisian,” katanya.
Menurut Widodo Dwi Putro, ahli hukum agraria yang terlibat dalam persidangan kasus perusakan plang, asas pemisahan horisontal menegaskan prinsip yang membedakan kepemilikan tanah dan benda yang ada di atasnya, seperti bangunan atau tanaman.
“Mestinya polisi bisa memproses penghancuran rumah,” katanya kepada Floresa.
Ia menjelaskan ada preseden Putusan Mahkamah Agung Nomor 249/K/Pid/2009 yang memidanakan pemegang hak atas tanah karena menghancurkan rumah orang lain, meski di atas tanahnya sendiri.
Dalam dokumen putusan terhadap delapan warga pada 17 Maret, majelis hakim menyatakan persetujuannya terhadap pendapat ahli terkait asas pemisahan horisontal.
Pada halaman 60 dokumen putusan tersebut, majelis hakim menyetujui bahwa pemilik sertifikat belum tentu mempunyai benda atau properti di atasnya, termasuk tanaman. Jika terjadi sengketa, seseorang tidak boleh menghancurkan atau merusak properti di atasnya.
“Hal ini jelas melanggar Pasal 170 jo 406, kalau bersama-sama jo Pasal 5 KUHP yang diperkuat oleh yurisprudensi Mahkamah Agung yang kasusnya terjadi di PN Dompu Nomor 209 Tahun 2009.”
John Bala menjelaskan, pasal 170 yang digunakan untuk mempidanakan delapan warga seharusnya juga bisa digunakan untuk memproses laporan mereka terkait perusakan tanaman dan rumahnya.
“Kepolisian harus konsisten, tidak bisa mengabaikan hal perdata untuk kasus warga, dan menggunakan hukum perdata untuk membela PT Krisrama,” katanya.
Konflik warga adat Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai dengan PT Krisrama bermula ketika HGU perusahaan itu berakhir pada 2013, setelah sebelumnya menguasai lahan seluas 868.730 hektar itu sejak diperoleh PT Perkebunan Kelapa Diag milik Keuskupan Agung Ende dari perusahaan Belanda pada era kolonial.
Keuskupan Maumere mulai menguasainya setelah keuskupan itu didirikan pada 2005, yang lalu membentuk PT Krisrama.
Kendati warga mengklaimnya kembali sebagai tanah nenek moyang mereka, pada 2023, PT Krisrama memperoleh perpanjangan izin HGU atas tanah itu.
Dari total luas lahan 868,703 hektare, 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama. Sisanya, 543 hektare dikembalikan kepada negara, yang sebagiannya untuk warga adat.
Namun, sengketa terus berlanjut karena menurut John Bala, wilayah HGU PT Krisrama mencakup lahan yang sudah ditempati warga adat sejak 2014, bagian dari pelaksanaan reforma agraria.
Sementara lahan seluas 543 hektare, katanya, “adalah bagian yang tidak produktif, yang dibiarkan, yang sebelumnya disebut sebagai tanah terlantar ketika dikelola oleh PT Diag.”
Eskalasi konflik meningkat pada 2024, di mana PT Krisrama melaporkan delapan warga yang akhirnya divonis penjara pada 17 Maret.
Pada 22 Januari, perusahaan itu juga melakukan penggusuran rumah dan tanaman warga, memicu kecaman berbagai pihak.
Pada 16 Maret, gereja-gereja di Keuskupan Maumere mengumumkan ajakan kepada umat untuk melakukan pemagaran dan penanaman bibit kelapa di lahan konflik tersebut, namun batal karena pengadangan oleh warga adat.
Editor: Anno Susabun