Floresa.co – Di tengah tren mengkhawatirkan terkait maraknya kasus-kasus kekerasan seksual di Flores, termasuk yang melibatkan orang dekat korban, upaya penanganan masih mengalami sejumlah kendala.
Berbicara dalam diskusi daring pada 22 Maret yang digelar Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores, para pembicara menyoroti persoalan pada komitmen dan kapasitas aparat penegak hukum.
Di sisi lain, keluarga-entah dari korban maupun pelaku-juga kadang tidak mendukung penanganan kasus-kasus ini hingga tuntas. Seringkali ada upaya intervensi mencabut laporan di kepolisian, kendati hal itu tanpa persetujuan korban.
Karena itu, mereka menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi situasi ini.
Diskusi ini menghadirkan empat narasumber, yakni Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan [Komnas Perempuan], Theresia Sri Endras Iswarini; Direktur Rumah Singgah St. Theresia Labuan Bajo, Suster Frederika Tanggu Hana, SSpS; Kapolres Manggarai Timur, AKBP Suryanto; dan pengajar di Unika St. Paulus Ruteng, Nur Dafiq.
Penyelenggaraannya merespons maraknya kasus kekerasan seksual di Flores dalam beberapa tahun terakhir, yang umumnya melibatkan orang dekat korban, termasuk ayah kandung dan guru.
Di sisi lain, sejumlah kasus juga melibatkan aparat penegak hukum.
Terbaru adalah pencabulan anak di bawah umur dan penyebaran konten porno via internet oleh Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, yang kemudian diberhentikan tidak dengan hormat.
Fenomena Kekerasan Seksual
Merujuk pada Data Komnas Perempuan, selama 2015-2024, jumlah kasus kekerasan seksual di NTT-yang wilayahnya mencakup Flores-menunjukkan tren fluktuatif.
Lonjakan tertinggi terjadi pada 2017, yakni 629 kasus dan penurunan drastis pada 2022, dengan 38 kasus.
Namun, menurut Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Sri Endras Iswarini, penurunan ini lebih mencerminkan minimnya pelaporan dibanding berkurangnya kasus, hal yang menyerupai fenomena gunung es.
“Angka sebenarnya jauh lebih besar dari yang tercatat, karena banyak korban enggan melapor akibat stigma, ketakutan, dan keterbatasan akses layanan,” katanya.
Ia menyatakan, Komnas Perempuan juga mencatat bahwa pada 2024, hanya dua kasus kekerasan seksual yang masuk tahap penuntutan.
Namun, terdapat 489 kasus yang mencapai proses pengadilan. Jumlah yang tinggi ini kemungkinan adalah kasus-kasus yang terjadi pada tahun sebelumnya.
Tantangan bagi penanganan kasus-kasus ini, kata Theresia, adalah minimnya layanan bagi korban, keterbatasan anggaran dan kurangnya perspektif gender dalam sistem hukum, hal yang semakin memperparah situasi.

Problem Kapasitas dan Komitmen Penegak Hukum
Upaya menangani kasus-kasus ini mesti berhadapan dengan problem lemahnya kapasitas dan komitmen aparat penegak hukum, sebagaimana diceritakan Suster Frederika Tanggu Hana, SSpS dari Rumah Singgah St. Theresia Labuan Bajo.
Biarawati Katolik itu sekaligus Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan [Justice, Peace and Integrity of Creation] SSpS Flores Barat.
Lembaga itu yang menangani perempuan dan anak korban kekerasan, kata dia, telah mendampingi setidaknya 44 kasus kekerasan seksual sejak 2018.
Bentuknya adalah pemerkosaan, pencabulan, persetubuhan anak di bawah umur, serta kekerasan seksual berbasis online.
Dari jumlah tersebut, 12 kasus dilaporkan oleh orang tua korban ke rumah singgah, sementara yang lainnya dirujuk oleh sejumlah lembaga lain.
Mirisnya, kata Suster Rita-sapaannya-proses hukum kasus-kasus tersebut tidak berjalan mulus, bisa lama sekali, antara delapan bulan sampai satu tahun.
Ia menyebut hal ini terjadi karena lemahnya komitmen dan kapasitas aparat penegak hukum.
Soal kelemahan kapasitas, Suster Rita mencontohkan kasus yang dilaporkan pada 2022 tentang belasan pelajar di Labuan Bajo yang dibohongi seseorang di internet, di mana mereka diminta mengirim foto tanpa busana.
Pelaku memperdaya para korban dengan mengklaim bahwa ia mengantongi foto mereka saat sedang mandi. Foto-foto itu akan dihapus jika mereka mau mengirim foto baru lagi. Tanpa pikir panjang, para korban mengirim foto, juga video ke pelaku.
Kasus ini terungkap karena ada orang tua salah satu korban yang mengetahuinya, lalu melapor ke rumah singgah.
Sayangnya, kata Suster Rita, saat kasus ini dilapor ke Polres Manggarai Barat, memang diterima, namun polisi beralasan susah mengusutnya karena tidak memiliki tim siber, yang secara khusus menangani tindakan kriminal di dunia maya.
“Polres Manggarai Barat mengakui bahwa mereka belum memiliki ahli siber untuk mengungkap pelaku di balik kejahatan seksual berbasis online,” katanya.
Hingga kini, kata Rita, tidak ada lagi informasi penanganan lebih lanjut.

Theresia Iswarini dari Komnas Perempuan berkata, kendala kapasitas kepolisian yang dihadapi Suster Rita memang tidak hanya terjadi di Manggarai Barat.
Institusi kepolisian di tingkat Polres, jelasnya, memang belum memiliki ahli siber.
“Tim siber lebih banyak terdapat di tingkat Polda. Jika ada kasus yang memerlukan keahlian ini, biasanya Polres berkoordinasi dengan Polda atau langsung ke Mabes Polri,” jelasnya.
Kapolres Manggarai Timur, AKBP Suryanto mengafirmasinya bahwa pihaknya juga tidak memiliki unit siber.
Kendati demikian, “kami selalu berkoordinasi dengan pihak terkait,” merujuk pada Polda dan Mabes Polri.
Suryanto menjelaskan, memang ada kasus-kasus yang pengungkapannya butuh keahlian siber khusus.
Namun, ada kasus kekerasan berbasis online yang bisa juga ditangani langsung oleh Polres.
Ia mencontohkan keberhasilan Polres Manggarai Timur menangani satu kasus tahun lalu, di mana pelaku yang mengantongi video tanpa busana korban melakukan pemerasan, dengan meminta mengirim uang Rp250 ribu ke rekeningnya.
“Polisi berhasil melacak dan menangkap pelaku di kediamannya berdasarkan alamat yang tercatat di bank,” katanya.
Tantangan dari Pihak Keluarga
Selain kendala komitmen dan kapasitas aparat, tantangan lain dalam penanganan kekerasan seksual adalah tekanan yang datang dari keluarga, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan orang dekat korban.
Suster Rita berkata, dalam banyak kasus, pelaku yang masih berada dalam lingkup keluarga memiliki kuasa untuk mengontrol korban dan mempengaruhi keputusan agar kasus diselesaikan dengan mekanisme kekeluargaan.
“Bahkan, sering kali penyelesaian yang ditawarkan adalah menikahkan korban dengan pelaku,” katanya.
Parahnya, kata dia, dalam kasus seperti ini, penasihat hukum pelaku dan polisi juga kadang terlibat.
Ia mencontohkan satu kasus di Manggarai Barat, di mana ada polisi yang menawarkan penyelesaian secara kekeluargaan, meskipun jelas-jelas kasus tersebut melibatkan anak di bawah umur.
AKBP Suryanto mengakui bahwa menangani kasus kekerasan seksual memang menantang, terutama karena sebagian besar pelaku merupakan orang-orang terdekat korban.
Dalam dua tahun terakhir, pihaknya menangani 24 kasus kekerasan seksual pada 2023 dan 16 kasus pada 2024. Selama tahun ini, mereka juga menangani 4 kasus.
Mayoritas korban kasus-kasus ini adalah anak di bawah umur dengan pelaku orang terdekat, termasuk ayah kandung.
“Kami sering menghadapi upaya dari keluarga pelaku yang mencoba mendekati kami agar kasus diselesaikan secara kekeluargaan,” katanya.
Bahkan, jelasnya, ada kasus yang sudah dalam proses persidangan, korban tiba-tiba mencabut Berita Acara Pemeriksaan.
Hal ini terjadi karena intervensi keluarga pelaku yang tentu saja berdampak pada rumitnya proses hukum, kata Suryanto.
Kendati demikian, ia berkomitmen tidak akan menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan anak di bawah umur melalui mekanisme restorative justice atau penyelesaian kasus di luar proses hukum, seperti mediasi dan penanganan secara adat.
“Kami tetap berpegang pada prosedur hukum yang berlaku dan akan menindak tegas setiap kasus kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak di bawah umur,” katanya.

Cermat dan Hati-Hati Menerapkan Restorative Justice
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, meminta polisi untuk cermat dalam menerapkan restorative justice.
Salah satunya adalah dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap orang dewasa.
Menurutnya, kasus semacam itu tidak bisa hanya dipandang dari perspektif suka sama suka, melainkan harus menggunakan spektrum yang lebih luas, termasuk soal relasi kuasa.
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [TPKS], kata Theresia, sebenarnya sudah mengakui adanya kekerasan dalam pacaran.
”Dalam jangka panjang, kasus seperti ini juga bisa masuk dalam kategori eksploitasi seksual,” tegasnya.
Pernyataannya merespons AKBP Suryanto yang menjelaskan bahwa dalam kasus kekerasan seksual yang melibatkan orang dewasa seperti mahasiswa—yang sudah berusia di atas 18 tahun—pihaknya menerapkan Pasal 284 KUHP tentang perzinaan.
“Awalnya kasus ini terjadi karena pemaksaan atau kekerasan seksual. Namun, seiring berjalannya waktu, hubungan tersebut berlangsung lama dan tampak seperti suka sama suka, sehingga akhirnya dianggap sebagai perzinaan,” jelasnya.
Theresia mengingatkan Suryanto untuk lebih mendalami Undang-Undang TPKS agar memiliki pemahaman yang komprehensif dalam menangani kasus kekerasan seksual.
“Undang-Undang TPKS mengatur sembilan jenis kekerasan seksual yang bisa membantu membangun cara pandang yang lebih luas. Kepolisian RI sendiri sudah menerapkan pasal penyiksaan seksual dalam undang-undang ini,” jelasnya.
Theresia menduga bahwa spektrum eksploitasi seksual bisa jadi terjadi dalam banyak kasus, tetapi seringkali luput dari perhatian anggapan dari aparat penegak hukum bahwa hubungan terjadi karena suka sama suka.
Akibatnya, kasus-kasus ini kembali dijerat dengan KUHP, bukan dengan Undang-Undang TPKS yang lebih spesifik dalam menangani kekerasan seksual.
Ia juga mengingatkan aparat penegak hukum untuk tidak memberikan stigma kepada korban yang melaporkan atau mencabut laporannya karena ada tekanan.
“Perubahan sikap korban bukan berarti mereka tidak serius, melainkan mencerminkan kompleksitas situasi yang mereka hadapi,” jelasnya.
Theresia juga menyoroti bahwa banyak korban yang terjebak dalam situasi sulit karena ketakutan akan masa depan, kekhawatiran terhadap anak-anak, hingga ketergantungan ekonomi terhadap pelaku.
Sistem hukum yang kurang responsif terhadap kebutuhan korban, katanya, seringkali memperburuk keadaan.
“Penundaan proses hukum serta kecenderungan menyelesaikan kasus melalui mekanisme adat tanpa mempertimbangkan perlindungan korban menjadi tantangan tersendiri,” kata Theresia.
Ia pun menekankan pentingnya peningkatan kapasitas bagi seluruh jajaran kepolisian agar “memahami secara menyeluruh penerapan Undang-Undang TPKS.”
Menanggapi hal ini, AKBP Suryanto mengakui perlunya “meningkatkan kapasitas dalam memahami dan menerapkan undang-undang ini.”
“Kami akan mengadakan pelatihan untuk memperdalam pemahaman,” katanya.
Ia menegaskan bahwa Polres Manggarai Timur juga berkomitmen untuk melakukan penanganan yang preventif serta menegakkan hukum secara berkeadilan dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Pentingnya Kolaborasi Lintas Elemen
Dosen Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng, Nur Dafiq menekankan bahwa upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak.
“Diperlukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, serta layanan kesehatan dan psikologi untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak,” katanya.
Ia berkata, kolaborasi ini harus mencakup peningkatan kesadaran masyarakat, koordinasi antarinstansi, serta penyediaan layanan komprehensif bagi korban.
Dengan sinergi yang kuat, kata Nur, perlindungan anak dari kekerasan seksual diharapkan bisa lebih efektif dan berkelanjutan.
Ia juga menyoroti pentingnya penyediaan layanan bagi korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, seperti kampus.
“Setiap universitas saat ini telah memiliki peraturan serta unit khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual,” katanya.

Di Unika St. Paulus misalnya, telah dibentuk Unit Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual sejak 2024.
“Sejauh ini, cukup banyak laporan yang masuk, bahkan beberapa kasus melibatkan dosen sebagai pelaku,” katanya.
Salah satu dosen yang terbukti melanggar etika terhadap mahasiswa telah diberhentikan dari jabatannya.
“Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual di lingkungan kampus bukanlah isu sepele dan membutuhkan perhatian serius,” kata Nur.
Sementara itu, dalam konteks Flores di mana Gereja Katolik merupakan institusi agama dominan, Suster Rita menekankan perlunya melibatkan para tokoh agama, selain pemerintah.
Mereka, katanya, perlu diajak untuk terlibat dalam dalam diskusi seperti ini.
“Hal ini penting agar kita bisa mendiskusikan sejauh mana Gereja Katolik bersikap terhadap permasalahan ini,” tegasnya.
Ia menjelaskan, sejumlah isu terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak menuntut upaya refleksi pihak Gereja Katolik terkait posisinya di hadapan soal-soal konkret.
Ia misalnya menyinggung aturan Gereja Katolik yang tidak memperbolehkan perceraian.
“Gereja seharusnya lebih terbuka terhadap kemungkinan anulasi atau pembatalan perkawinan, terutama dalam kasus-kasus yang memang tidak bisa dipertahankan,” jelasnya.
Menurutnya, dalam kasus Kekerasan dalam rumah ranggah, korban tidak seharusnya dipaksa bertahan, dengan dalih bahwa penderitaan mereka adalah bagian dari ‘jalan salib’.
Sementara itu Theresia Iswarini menekankan bahwa “negara melalui aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab untuk memastikan proses hukum yang adil dan berpihak pada korban.”
Kalaupun ada kasus yang diselesaikan dengan restorative justice, seperti dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, katanya, mesti ada mekanisme pengawasan terhadap pelaku agar kekerasannya tidak terulang.
Menurut Theresia, tanpa perbaikan sistem yang komprehensif, perempuan korban kekerasan akan kesulitan mendapatkan keadilan dan perlindungan.
Ia mengingatkan bahwa kekerasan seksual memiliki dampak yang kompleks dan berkepanjangan, yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis, sosial dan ekonomi.
”Banyak korban mengalami trauma mendalam, kehilangan rasa percaya diri, serta menghadapi tekanan sosial akibat stigma yang melekat pada mereka,” katanya.
Laporan ini dikerjakan Adriani Miming dari Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores. Forum ini merupakan inisiatif kolaboratif antara Sunspirit for Justice and Peace, Rumah Baca Aksara dan Floresa yang setiap bulan mengagendakan diskusi tentang isu-isu sosial di Flores
Editor: Ryan Dagur