Labuan Bajo, Floresa.co – Letak persis lokasi lahan 30 ha di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) yang kini menjadi polemik, menjadi salah satu yang dipersoalkan sejumlah pihak.
Dalam sejumlah dokumen yang diperoleh Floresa.co, memang ada dua nama untuk lokasi itu, yang dipisahkan dengan garis miring, Kerangan dan Toroh Lemma Batu Kalo.
Kini, viral di media sosial Facebook, gambar peta lokasi tersebut, yang memperlihatkan bahwa keduanya berada di lokasi berbeda.
Gambar itu muncul menyusul adanya pernyataan dari Haji Ramang, anak dari Haji Ishaka, Fungsionaris Adat Nggorang sebagai pihak yang menyerahkan lokasi itu. Dalam pernyataannya, Haji Ramang memang hanya menyebut Kerangan untuk tanah 30 ha itu.
BACA: Anak Haji Ishaka: Pemerintah Harus Konsisten, Pertahankan Tanah Itu!
Di mana sebenarnya letak persis lokasi itu dan apa sebenarnya nama yang tepat?
Diwawancarai Kamis, 8 Februari 2018, Ambros Syukur dari Bagian Pemerintahan Umum Mabar mengatakan, soal nama, sebenarnya tidak perlu dirisaukan.
Ia pun mengakui adanya penyebutan dengan dua nama di lokasi itu.
“Di mana Toroh Lemma Batu Kalo-nya, di mana Kerangan-nya? Bagi kami (Pemda), kami berpegang pada dokumen,” katanya.
Ia menjelaskan, pihak Pemda berpatokan pada apa yang diperlihatkan oleh pihak Fungsionaris Adat Nggorang saat penyerahan tahun 1997 dan pengukuran pada 2015.
“Itu saja objek tanah yang diserahkan. Yang menunjuk ini adalah ahli waris,” kata Ambros.
Ia menjelaskan, dirinya hadir saat pengukuran lahan itu, di mana yang mewakili Fungsionaris Adat Nggorang adalah Haji Ramang dan saudaranya Haji Umar serta Muhammad Syair, cucu dari Wakil Dalu Nggorang.
Pemda, kata Ambros, tetap berpegang pada apa yang tertera dalam dokumen, walaupun ada pihak yang mempersoalakannya.
“Silahkan mereka beri nama apa saja terhadap lokasi itu. Yang penting bagi kami, lahannya yang ditunjuk oleh ahli waris, di situ tempatnya,” terangnya.
Dugaan Ambros, perbedaan nama itu terjadi karena kepentingan masing-masing pihak.
“Ya, orang mungkin saja karena kepentingannya, dia taruh nama lain-lain lagi,” ujarnya.
Ia menambahkan, dari hasil pengukuran pada 2015, juga sudah dibuatkan gambar situasi (GS) tanah itu. “GS itu, saya sudah tanda tangan,” katanya.
Namun, tambahnya, pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Mabar belum memproses lebih lanjut pengurusan sertifikat yang diminta oleh Pemda karena ada sanggahan dari pihak lain, termasuk dari Haji Muhammad Adam Djudje.
Djudje adalah pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan yang sama, dengan alas hak penyerahan dari Fungsionaris Adat Nggorang pada tahun 1990.
Ambros mempersoalkan klaim Djudje, karena kata dia, Djudje ikut menandatangani surat penyerahan lahan itu ke Pemda pada tahun 1997.
“Petanya dia yang buat. Dan ada tanda tangannya. Ia sebagai penata,” kata Ambros.
“Kita jadi bingung, dia yang tata, dia yang menyatakan, ‘Tidak, itu saya punya tanah,’” lajutnya.
Ia juga menambahkan, Djudje tidak pernah menghadiri undangan Pemkab untuk membicarakan masalah tanah itu.
“Tidak pernah datang sama sekali. Saya kira lebih dari lima kali (diundang) dan tidak pernah datang,” katanya.
YS/ARJ/ARL/Floresa