Floresa.co – Berulangnya kasus kecelakaan kapal wisata di perairan Labuan Bajo harus menjadi bahan evaluasi bagi Kantor Syahbandar, baik dalam pengawasan terhadap kapal, maupun kontrol terhadap perilaku di atas kapal, kata Komite Nasional Keselamatan Transportasi [KNKT].
Kecelakaan kapal terakhir terjadi pada 1 Agustus di Long Pink Beach. Kapal wisata Refiero itu mengangkut 16 penumpang, yang semuanya berhasil dievakuasi.
Berbicara dengan Floresa pada 4 Agustus, Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono berkata, di dalam kawasan TN Komodo terdapat beberapa titik yang telah dinyatakan rawan kecelakaan.
Hal itu membutuhkan langkah antisipasi dari pihak Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan [KSOP] Kelas III Labuan Bajo.
“Pada beberapa titik yang rawan itu, harus ada pos yang ditempatkan oleh orang yang merupakan bagian dari tim KSOP,” katanya.
Ia menjelaskan, dari data KNKT, tantangannya memang pada kemampuan personel KSOP Labuan Bajo yang hanya memiliki tujuh pegawai.
Jumlah tersebut tidak efektif dalam mengurus ratusan kapal yang beroperasi di Labuan Bajo, katanya. Jumlah kapal wisata di Labuan Bajo 738, menurut Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi pada 2023.
“Kami sudah mengusulkan agar KSOP mengajukan penambahan pegawai, sehingga tidak menjadi alasan kekurangan anggota untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayaran,” kata Soerjanto.
Ia berkata keberadaan pos di titik rawan seperti itu penting karena mempertimbangkan jarak yang jauh dengan Pelabuhan Marina Labuan Bajo bila terjadi kecelakaan.
Pos itu, tambahnya, juga krusial demi memudahkan koordinasi dengan pihak terkait seperti Basarnas untuk evakuasi korban kecelakaan.
Perlunya Pengawasan terhadap Kapal
Soerjanto menyayangkan kecelakaan kapal yang tidak hanya karena faktor alam, tetapi juga kondisi kapal yang tidak memadai untuk berlayar.
Ia menyebut, pengawasan oleh KSOP harusnya bukan hanya soal izin, tapi sampai pada aspek lainnya untuk penerapan standar keamanan.
Ia dan timnya telah melakukan kajian terhadap upaya keselamatan transportasi laut di Labuan Bajo.
Salah satu temuannya soal praktek pengisian Bahan Bakar Minyak atau BBM yang tidak mempertimbangkan keselamatan pelayaran.
“Tumpahan atau rembesan BBM di beberapa tempat di dalam kapal memicu terjadinya kebakaran,” katanya.
Budaya keselamatan penumpang yang ada dalam kapal juga sangat minim, katanya.
“Salah satunya merokok saat di atas kapal.”
Soerjanto juga menyoroti sejumlah kapal pinisi yang kecelakaan agar KSOP melakukan evaluasi ketat, termasuk untuk pinisi yang masih beroperasi.
“Kapal pinisi itu kan seharusnya untuk muat barang,” katanya, “pinisi tidak kuat terhadap arus yang tinggi.”
Karena itu, kata dia, KSOP mesti mengecek soal ketahanan dan kestabilan kapal dalam menghadapi arus kuat di tengah pelayaran.
Kasus Terus Berulang
Kecelakaan kapal pada 1 Agustus merupakan yang kelima pada tahun ini.
Pada tahun lalu terjadi delapan kecelakaan, yang menyebabkan wisatawan domestik dan mancanegara mengalami cedera hingga ada yang meninggal.
Kepala KSOP Labuna Bajo, Stephanus Risdiyanto berkata, pemicu kecelakaan kapal pada 1 Agustus karena faktor alam.
“Ketika kapal mendekati Pink Beach terjadi arus kuat akibat pasang surut yang menyebabkan pusaran air dan membuat kapal miring hingga terbalik, namun tidak tenggelam” katanya.
Dalam catatan Floresa, pemicu kasus-kasus ini tidak semuanya karena faktor alam.
Dalam beberapa kasus, kapal-kapal yang kecelakaan diketahui melanggar aturan.
Kapal wisata KM King Fisher De Seraya yang mati mesin di perairan Labuan Bajo pada 1 Januari 2023 misalnya tidak mengantongi izin berlayar dari KSOP.
Hal serupa juga terjadi dengan kapal wisata Carpe Diem yang terbakar di perairan antara Pulau Siba dan Pulau Mawan pada 4 Februari 2024 misalnya tidak mengantongi izin berlayar.
Sementara itu, kapal KM Budi Utama yang kecelakaan di perairan Pulau Padar pada 22 Juni 2024 melanggar ketentuan karena lima dari total 15 penumpang tidak tercatat dalam manifes.
Hal ini memicu protes dari korban yang menuding buruknya manajemen kapal dan pengawasan oleh KSOP.
Mereka juga mengklaim tidak mendapat ganti rugi yang layak dari pihak kapal karena insiden itu dan mempersoalkan pihak kapal yang tidak mau merespons saat dihubungi.
Kasus seperti ini hanyalah contoh kecil dari model penanganan kecelakaan kapal wisata di Labuan Bajo yang memicu protes korban.
Tahun lalu, Yves de Ryckel, seorang wisatawan asal Belgia mengadukan penanganan kasus kecelakaan yang dia dan keluarganya alami bersama KM Dunia Baru Komodo.
Selain mempersoalkan penanganan insiden kebakaran kapal pada 16 Januari 2023 itu oleh pemilik kapal, ia juga mengkritik cara otoritas, termasuk KSOP Labuan Bajo, menanganinya, yang ia sebut tidak akuntabel.
Ia mempersoalkan klaim KSOP dan polisi bahwa kecelakaan itu berasal dari tabung gas elpiji di dapur kapal, yang menurutnya sebagai kesimpulan prematur karena tanpa melakukan investigasi secara serius.
Editor: Ryan Dagur