Gerakan Budi Daya Pangan Lokal di Lembata Dinilai Hidupkan Spirit ‘Efek Kupu-Kupu’

Sekecil-kecilnya diversifikasi pangan lokal, upayanya dapat berdampak luas dalam jangka panjang

Floresa.co – Lembata merupakan kabupaten dengan luas sawah terkecil di Nusa Tenggara Timur. Dibutuhkan diversifikasi pangan lokal guna menopang adaptasi warga setempat terhadap perubahan iklim.

Areal sawah Lembata, baik irigasi maupun non irigasi, seluas 65 hektare pada 2022, menurut data terakhir yang disediakan Badan Pusat Statistik. Luasnya menyempit dari 69 hektare pada 2020 dan 2021. 

Sebagian besar sawah Lembata ditanami padi, tetapi tidak cukup memenuhi kebutuhan warga, yang membuat ketergantungan beras tinggi dari luar pulau itu.

Direktur Nimo Tafa institut, Eman Krova menyatakan “masyarakat Lembata masih terus mengkhawatirkan ketiadaan beras pada musim penghujan.”

Namun, “mereka belum tergerak mengonsumsi pangan lokal yang dapat menggantikan beras yang sebagian besar bersumber dari luar daerah.”

Padahal “Lembata kaya akan keanekaragaman sumber pangan, mulai dari tanaman yang tumbuh di hutan hingga sumber daya alam perairan.”

Eman menyebut komunitas di dua desa yang secara konsisten membudidayakan pangan lokal –  Desa Tapobali di Kecamatan Wulandoni dan Desa Hoelea II di Kecamatan Omesuri.

Warga di dua desa itu turut “mengidentifikasi dan menginventarisasi jenis-jenis pangan lokal di sekitar mereka,” upaya yang menurut Eman “memiliki spirit butterfly effect.”

Efek kupu-kupu atau butterfly effect merujuk pada perubahan kecil yang berdampak besar dalam jangka panjang. 

Ucapan Eman tersampaikan dalam diskusi “Makan dan Omong-Omong Pangan Baik Lembata untuk Sistem Pangan yang Berkelanjutan” di aula Perpustakaan Daerah Gorys Keraf, Lewoleba pada 20 Agustus.

Diskusi diinisiasi Yayasan Pembangunan Ekonomi Keuskupan Larantuka [Yaspensel] dan Koalisi Pangan Baik, akronim dari beragam, adaptif, inklusif dan ko-kreasi.

Hendrikus Bua Kilok, seorang warga Tapobali yang terlibat dalam komunitas itu berkata, upaya identifikasi dan inventarisasi pangan lokal merupakan cara warga setempat “mengadaptasi perubahan iklim.”

Di Tapobali, mereka membudidayakan pangan lokal seperti sorgum, jewawut, jali dan kacang-kacangan yang ditanam dengan sistem terasering.

Dalam perawatannya, mereka mengadopsi ola mefa atau penyiangan tradisional tanpa menggunakan bahan kimia.

Andika, sapaannya, berharap cara tradisional yang mereka pilih dapat “mencukupi kebutuhan ekonomi warga setempat.”

Selain menjual panenan mentah, komunitas itu bekerja sama dengan kelompok Leye Leuhoe menginisiasi pembuatan minuman berbahan dasar sorgum yang mereka sebut “kopi sorgum.”

Sementara Yohanes Pulang, anggota komunitas dari Desa Hoelea II membudidayakan jali atau yang dalam bahasa setempat disebut leye.

Salah satu alasan budi daya jali, kata Yohanes, “lantaran kepercayaan akan leye sebagai biji-bijian yang pertama kali ditanam leluhur.”

Selain itu, perempuan beberapa suku di Omesuri, seperti Leuhoe Tubar, Leuhoe Takeq dan Leuhoe Payong diajarkan mengonsumsi leye atas alasan kesehatan.

Secara keseluruhan, “kami mengaplikasikan pengetahuan tradisional akan pangan, air dan pertanian.”

Diskusi pangan Lembata itu turut menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain, bantuan beras miskin yang diganti pangan lokal, serta prioritas penggunaan Dana Desa untuk ketahanan pangan. 

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA