Floresa.co – Warga NTT diaspora mengapresiasi Gubernur Emanuel Melkiades Laka Lena yang mengakomodasi penolakan masyarakat Flores dan Gereja Katolik terhadap proyek geotermal.
Forum Komunikasi dan Advokasi Komunitas Flobamora (FKKF) yang berbasis di Jakarta menyebut gubernur NTT, merespons dengan tepat suara Gereja setelah melihat daya rusak proyek geotermal terhadap warga dan lingkungan.
“FKKF sangat menghargai sikap Gubernur NTT yang mengoreksi proyek pembangunan geotermal di Flores,” kata Marsellinus Ado Wawo, ketua forum itu dalam pernyataan pers yang diterima Floresa pada 9 April.
“Faktanya, proyek tersebut telah mengakibatkan kerusakan lahan pertanian produktif, pencemaran lingkungan, sungai dan sumber air minum warga. Bahkan atap rumah penduduk di sekitar lokasi proyek menjadi rusak,” tambahnya.
Marsel mencontohkan salah satu fenomena ambalasan tanah dan semburan panas yang keluar di di Mataloko, wilayah selatan Kabupaten Ngada.
Fenomena itu patut diduga “erat kaitannya dengan eksplorasi dil lokasi sumber panas bumi, yang berdekatan dengan kampung tersebut.”
Selain itu, ia berkata rencana pengembangan proyek geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
“Proyek geotermal harus dikaji ulang, bahkan jika perlu tidak dilanjutkan karena banyak kekurangan dan masalah sejak awal,” kata Marsel.
Ia pun mendorong pemerintah daerah di NTT mendahulukan kebutuhan primer berupa pengembangan lahan pertanian produktif.
“Kebutuhan listrik bisa dicarikan jalan keluar lainnya, berupa pemanfaatan sinar matahari, angin, biomassa dan sumber energi baru terbarukan lainnya,” kata Marsel.
Ia berkata, dalam tingkatan kebutuhan masyarakat Flores, “pangan merupakan kebutuhan pertama.”
“Kita butuh nasi, ubi-ubian, kelapa, kopi, cengkeh dan produk pangan lainnya. Apabila ketiadaan sumber pangan, bagaimana masyarakat bisa membeli kebutuhan sekunder dan tersier lainnya,” katanya.
Usai bertemu dengan Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden pada 4 April, Gubernur Melki menyatakan proyek-proyek geotermal yang kini sedang berjalan di Flores dihentikan sementara dan yang belum dimulai ditunda dahulu.
“Kami ingin memastikan seluruh aspek yang berkaitan dengan proyek ini ditinjau ulang,” katanya.
Ia mengakui bahwa dalam pelaksanaan proyek-proyek itu “ada dampak yang dirasakan oleh warga lokal yang tinggal di wilayah panas bumi dan suara mereka perlu kita dengar.”
Kunjungan Gubernur Melki ke Ende terjadi setelah para uskup di Provinsi Gerejawi Ende mengeluarkan pernyataan penolakan geotermal dalam sebuah surat yang dipublikasi pada Maret.
Selain Uskup Budi, lima uskup lain yang meneken surat itu adalah Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung; Uskup Maumere, Mgr. Martinus Ewaldus Sedu; Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat; Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus dan Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San.
Pernyataan menolak proyek geotermal muncul dalam poin pertama surat itu, dengan ajakan untuk “memilih masa depan secara bijaksana.”
“Eksploitasi sumber daya alam, termasuk energi geotermal di Flores dan Lembata, menimbulkan pertanyaan: Apakah kita membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?”
Para uskup menyatakan Pulau Flores dan pulau-pulau kecil lainnya memiliki ekosistem yang rapuh dan berisiko besar, sehingga eksploitasi yang tidak bijaksana, termasuk proyek geotermal berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan.
Pada Januari, Uskup Budi juga menyatakan penolakan terbuka terhadap geotermal, setelah “mendengar berbagai kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria dan Mataloko serta usai berdiskusi dengan sejumlah imam.”
Sokoria dan Mataloko merupakan dua dari titik proyek geotermal di wilayahnya.
Ia juga mendorong resistensi umat dan masyarakat dengan memberikan perhatian dan informasi, baik yang “ilmiah maupun (mendengarkan) kesaksian dari orang-orang di Sokoria dan Mataloko.”
Flores yang sudah ditetapkan sebagai pulau panas bumi pada 2017 telah menjadi sasaran berbagai proyek geotermal.
Menurut pemerintah, pulau itu memiliki potensi panas bumi hampir 1000 megawatt, hal yang mendorong penetapan lokasi proyek di 21 titik, bagian dari program nasional peningkatan elektrifikasi 35.000 megawatt.
Proyek-proyek ini telah memicu resistensi dari warga setempat, selain karena melihat dampak buruk yang terjadi, juga karena titik-titiknya yang dekat dengan lahan dan pemukiman mereka.
Editor: Ryan Dagur