Hampir Satu Dekade Menanti, Mariance Kabu, Pekerja Migran NTT Penyintas Kekerasan Terus Berharap Dapat Keadilan di Malaysia

Kini Mariance menenun di kediamannya di Kupang, bagian dari ‘memulihkan batin,’ sementara proses hukum kasusnya masih berlangsung di Malaysia, dengan putusan yang dijadwalkan diumumkan pada Juni 

Floresa.co – 14 Maret 2024 semestinya menandai hari putusan kasus dugaan perdagangan orang, penyiksaan dan percobaan pembunuhan terhadap Mariance Kabu, seorang mantan buruh migran asal Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT].

Namun, yang terjadi sebaliknya.

Hakim di Ampang, Negara Bagian Selangor, Malaysia memutuskan menunda putusan hingga 28 Juni.

Ketua Majelis Hakim, Wan Mohd Norisham Wan Yaakob beralasan penundaan untuk menggali kembali fakta-fakta dalam rangkaian persidangan sebelumnya. 

Di depan hakim, pengacara terdakwa menuding Mariance memiliki masalah kejiwaan; tuduhan yang turut menjadi pertimbangan Wan Yaakob menunda putusan.

C.R. Selva, pengacara Mariance membenarkan pernyataan Wan Yaakob soal penundaan putusan.

Sidang pada 14 Maret, katanya seperti disitir dari BBC Indonesia, “pada akhirnya digelar untuk mengklarifikasi pernyataan semua pihak lantaran pergantian hakim dan jaksa yang menangani kasus tersebut.”

Ia menyatakan “sudah tiga kali terjadi pergantian majelis hakim dan tiga atau empat kali pergantian jaksa,” sehingga mereka merasa perlu membaca semua berkas kasus ini “dengan teliti sebelum sampai pada suatu putusan.”

Pendeta Emy Sahertian dari Jaringan Masyarakat Sipil Anti Perdagangan Orang Indonesia menilai penundaan putusan hingga 28 Juni menjadi momentum untuk membuktikan anggapan terkait kondisi kejiwaan Mariance.

“Karena hakim serius [menangani kasus ini], maka mereka meminta pendalaman pembuktian, khususnya uji psikologis dan argumentasi hukum tentang perdagangan orang,” katanya.

Mendengar kabar penundaan putusan, dari kediamannya di Kupang, Mariance–yang hampir satu dekade menanti keadilan–mengaku “kecewa terhadap proses persidangan yang berlarut-larut.”

“Mau sampai kapan ini selesai?” katanya kepada Floresa.

Terdakwa Bantah Semua Tuduhan Jaksa

Dalam persidangan 14 Maret, jaksa mengajukan tiga tuntutan, yakni terkait perdagangan manusia, penyiksaan dan percobaan pembunuhan. 

Preakas Sampunathan, pengacara dua terdakwa, mantan majikan Mariance – Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke Leng – membantah semua tuduhan dan tuntutan itu.

Ia mengklaim tuntutan pertama tidak terbukti, sebab Mariance datang ke Malaysia berbekal journey performed visa [JPV] atau visa tinggal sementara. 

Visa itu, katanya, sah digunakan warga negara asing ketika bekerja di Malaysia.

Emy Sahertian menilai bantahan itu perlu ditelusuri lebih jauh, terutama berkaitan dengan proses perekrutan.

“Perlu pendalaman peran agen perekrut soal ada tidaknya persengkongkolan” dalam perekrutan Mariance, kata Emy kepada Floresa pada 16 Maret.

Pendeta Emy Sahertian dari Jaringan Masyarakat Sipil Anti Perdagangan Orang Indonesia. (Dokumentasi pribadi)

Pengacara terdakwa juga membantah kliennya melakukan penyiksaan terhadap Mariance. 

Ia menuduh Mariance yang menyiksa dirinya sendiri karena mengalami gangguan kejiwaan.

Mengutip seorang dokter gigi yang bersaksi dalam persidangan sebelumnya, pengacara itu mengatakan “tidak ditemukan bukti ‘paksaan’, lantaran tidak ada akar gigi tertinggal sesudah keempat gigi Mariance tanggal.”

Lima Tahun Hiatus

Mariance merantau ke Malaysia setelah direkrut pada pada April 2014 oleh PT. Malindo Mitra Perkasa.

Dengan bujuk rayu dan iming-iming gaji tinggi serta gratis pengurusan administrasi ia akhirnya berangkat, meninggalkan empat anaknya.

Namun, alih-alih mendapat pekerjaan yang baik dan gaji layak, dia mengaku mendapatkan penyiksaan dari majikannya.

Mariance diperlakukan dengan kejam, seperti ditendang dan dipukul bahkan disiksa menggunakan alat rumah tangga seperti setrika. 

Penyiksaan itu membuatnya catat secara fisik pada kedua telinga dan mulutnya. Beberapa giginya juga sempat dicabut menggunakan tang.

Selama delapan bulan bekerja dan hidup dalam penyiksaan, Mariance berharap ada pertolongan.

Beberapa kali dia mencoba kabur, tapi akses keluar dari hunian majikannya ditutup.

Berbekal potongan kertas bertuliskan permintaan pertolongan yang dilemparkannya kepada seorang tetangga, akhirnya polisi setempat datang dan menyelamatkannya.

Kasus ini mulai diproses sejak Januari 2015 di Pengadilan di Ampang, Negara Bagian Selangor, dengan dua terdakwa, Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke Leng. 

Dua tahun kemudian pengadilan memberikan status Discharges Not Amounting to an Acquittal [DNAA] terhadap Ong Su Ping Serene.

Berdasarkan status tersebut, Ong Su Ping Serene dilepas dari tahanan, tetapi tidak bebas. Sewaktu-waktu ia bisa dipanggil ke pengadilan untuk dakwaan yang sama.

Sesudah itu, Malaysia tak sekalipun menggelar sidang lanjutan terhadap kedua majikan Mariance.

Di Indonesia, sejumlah organisasi pemerhati buruh migran terus berkonsolidasi menuntut agar kasus itu tidak didiamkan, termasuk dengan mendesak agar Kementerian Luar Negeri [Kemlu] proaktif.

Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha berkata kepada Floresa pada 16 Maret, sidang kasus ini dimulai kembali pada 2 Maret 2023 “sesudah Kedutaan Besar Republik Indonesia [KBRI] Kuala Lumpur bersama Gooi & Azura bersurat ke Jaksa Penuntut Umum” pada September 2022.

Oleh KBRI Kuala Lumpur, Gooi Azura–firma hukum berbasis Kuala Lumpur–ditunjuk sebagai perwakilan legal yang bertugas memonitor perjalanan persidangan [watching brief lawyer] kasus Mariance.

Judha mengatakan kementeriannya “terus mengawal proses persidangan dan upaya pembuktian bersama melalui watching brief lawyer tertunjuk.”

Terkait upaya pembuktian, Judha mengatakan “hal itu merupakan ranah Jaksa Penuntut Umum di Malaysia.” 

Yang jelas, katanya, “kami akan memberikan pembelaan hukum terbaik untuk memperjuangkan hak-hak Mariance.”

Disamping upaya yang dilakukan KBRI Kuala Lambur, pihaknya, kata dia, juga terus “berkomunikasi dengan wakil Mariance di NTT melalui family engagement dan audiensi, untuk menyampaikan perkembangan kasus.”

Beda UU TPPO

Sementara di Malaysia kasusnya masih bergulir, di Indonesia perekrut Mariance sudah divonis penjara.

Pada 2018, Pengadilan Negeri Kupang memvonis perekrut Mariance, Theodorus “Tedy” Moa lima tahun penjara dengan denda Rp120 juta. Rekannya, Piter Boki divonis tiga tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp120 juta.

Sementara dua orang lainnya, Asnat Tafuli dan Lisa To, yang dinyatakan terlibat dalam perekrutan Mariance, hingga kini juga juga dinyatakan terlibat masih buron.

Piter sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung [MA]. Dalam putusan pada 3 Juli 2019, MA memperberat hukumannya menjadi delapan tahun, subsider tiga bulan kurungan.  

Ia juga diwajibkan membayar sepertiga atau Rp28.186.666 dari keseluruhan restitusi sebesar Rp84.560.000. Bila tak mampu membayar sepertiganya, ia akan dikenai hukuman penjara selama setahun dan 14 hari.

Dalam amar putusan, MA menyatakan Piter “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan TPPO atau membantu melakukan percobaan TPPO.”

Kendati putusan menegaskan kasus Mariance merupakan TPPO, tetapi Indonesia dan Malaysia memberlakukan aturan yang berbeda terhadap korbannya. 

Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] Anis Hidayah menyatakan perbedaan pemberlakukan hukum tersebut dipicu “unsur-unsur pembentuk TPPO yang dianut masing-masing negara.”

Ia menyebutkan salah satu perbedaannya adalah menyangkut penegakan aturan kemigrasian. 

Di Malaysia, “aturan keimigrasian tetap ditegakkan terhadap seseorang sekalipun yang bersangkutan merupakan korban TPPO,” kata Anis kepada Floresa pada 18 Maret.

Hal itu, jelasnya, berbanding terbalik dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau UU TPPO yang dalam pasal 18 mengatur penghapusan pidana bagi korban TPPO ketika terbukti melanggar hukum.

Anis berkata Komnas HAM merupakan salah satu lembaga pemantau persidangan kasus Mariance dan sudah memanggil beberapa pihak untuk dimintai keterangan.

Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM. (Dokumentasi pribadi)

“Kami sedang menyiapkan satu rekomendasi yang nanti diberikan kepada para pihak untuk ditindaklanjuti. Salah satunya terkait proses hukum dan pemenuhan hak korban,” katanya.

Anis menilai penanganan kasus Mariance memang memakan waktu lama dan berlarut-larut. 

“Ada indikasi kuat akan penundaan proses hukum demi memperjuangkan keadilan atau delay injustice bagi pekerja migran,” katanya.

Kondisi inilah yang kemudian, kata Anis, “menjadi tantangan bagi Indonesia dalam upaya menuntut keadilan bagi pekerja migran yang menjadi korban TPPO di Malaysia.”

Perempuan adalah Paling Rentan

Anis menyatakan pekerja migran perempuan paling banyak menjadi korban kekerasan dan TPPO pada setiap tahap migrasi.

Pernyataannya juga terkonfirmasi oleh data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] yang mencatat 257 kasus kekerasan terhadap pekerja migran perempuan sepanjang 2023. 

Jumlahnya lebih dari seperempat dari keseluruhan 813 kasus serupa sepanjang periode 2016-2022.

Terkait TPPO terhadap pekerja migran perempuan, Anis menilai “pemerintah perlu mengatasi lewat tata kelola migrasi yang berperspektif HAM, sekaligus memperkuat perlindungan bagi perempuan yang bermigrasi.”

Dengan begitu, “kerentanan mereka terhadap TPPO dapat dicegah sejak sebelum berangkat ke luar negeri.”

Tata kelola tak hanya menjadi “urusan pemerintah pusat, melainkan harus membujur hingga tingkat desa.”

Mengacu amanat Pasal 41 UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, katanya, “negara harus menyediakan informasi yang komprehensif, mendata setiap warga yang hendak bepergian ke luar negeri serta memantau keberadaan warga mereka yang menjadi pekerja migran di negara penempatan.”

Sementara itu, Emy Sahertian mengaku terus berkoordinasi dengan Komnas HAM dan Komnas Perempuan guna “memperkuat argumentasi unsur-unsur TPPO dalam kasus Mariance” meski, katanya, “agak sulit.”

Ia tidak menjabarkan lebih lanjut maksud “agak sulit.”

Kolaborasi antarorganisasi itu termasuk “mendorong penegak hukum di Kupang lekas menangkap dua terduga pelaku dalam kasus TPPO terhadap Mariance,” merujuk pada Asnat Tafuli dan Lisa To yang masuk dalam daftar pencarian orang sejak 2018.

Memulihkan Batin Lewat Menenun

Mariance kini menetap di Kupang. Sehari-hari ia menenun yang hasil penjualannya “buat memenuhi kebutuhan dapur dan biaya sekolah anak-anak.”

Ia menjual selembar sarung tenun seharga minimal Rp1 juta, sedangkan sehelai selendang dibanderol sekitar Rp150 ribu.

Anak sulungnya “tidak mau kuliah selepas lulus Sekolah Menengah Atas pada tahun silam. Maunya kerja di bengkel.” 

Anak keduanya berkuliah di Universitas Nusa Cendana, Kupang. 

Terlepas dari biaya-biaya yang mampu terpenuhi dari hasil menenun, “keseharian memintal benang menjadi cara terbaik saya memulihkan batin.”

Mariance Kabu sedang menenun di rumahnya di Kupang. (Dokumentasi pribadi)

Ia mengaku tak ingin lagi menjadi asisten rumah tangga, apalagi jika harus bekerja di luar negeri.

“Saya tidak ingin lagi diganggu dengan tawaran pekerjaan semacam itu,” katanya melalui sambungan telepon kepada Floresa pada 18 Maret.

“Hati saya cukup terobati dengan menenun begini.”

Ia mengaku siap jika harus hadir dalam sidang putusan di Malaysia pada 28 Juni.

“Selama masih hidup, saya harus menyuarakan hak dan memperjuangkan kehidupan saya,” kata perempuan 43 tahun itu.

Bagi Mariance, “perjuangan ini bukan hanya untuk saya, melainkan juga teman-teman pekerja migran yang meninggal karena disiksa.”

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA