Oleh: Ryan Dagur
Salah satu sorotan utama terhadap kunjungan Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena ke Poco Leok, Kabupaten Manggarai pada 16 Juli adalah kehadiran aparat bersenjata laras panjang.
Foto dan video saat ia berjalan diikuti dua aparat berkemeja putih dengan menenteng senjata itu viral dan ramai dibahas di media sosial.
Hal itu memicu banyak kritik, termasuk dari Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Geotermal di Flores-Lembata. Koalisi yang mencakup beberapa lembaga advokasi tersebut menyebut Laka Lena sedang unjuk kekuasaan di hadapan masyarakat adat.
Dalam berita Floresa, gubernur dari Partai Golkar tersebut membela hal itu. Ia menyebutnya sebagai protap dari pihak keamanan. Sebagai pejabat negara, ia mengikuti saja karena pihak keamanan punya pertimbangan tersendiri, termasuk bila terjadi sesuatu selama kunjungannya.
Ada pertanyaan penting terkait hal ini: Sebegitu mengancamkah warga Poco Leok? Sebegitu membahayakankah mereka bagi seorang gubernur?
Sebelum mengulas alasan-alasan mengapa unjuk senjata laras panjang itu menurut saya berlebihan, pilihan Laka Lena ke Poco Leok penting diapresiasi.
Kunjungan itu, dalam bahasanya, adalah upaya untuk mendengarkan aspirasi warga yang pro dan kontra dengan proyek geotermal.
Tentu saja, ada penafian, sebagaimana yang diwanti-wanti berbagai elemen. Jangan sampai kunjungannya hanya jadi stempel administratif untuk mengklaim bahwa suara warga yang kontra sudah didengar.
Kehadiran Laka Lena terjadi tak lama usai ia mendapat laporan dari Satgas yang dibentuknya untuk menginvestigasi polemik di lokasi-lokasi proyek di Flores dan Lembata. Salah satunya adalah Poco Leok, yang merupakan proyek pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu.
Dalam laporannya, kendati tidak hadir di Poco Leok dan menemui warga yang kontra, Satgas itu mengungkap ada hambatan komunikasi dalam implementasi proyek ini.
Tampaknya, untuk mengatasi hambatan komunikasi itulah Laka Lena menyempatkan waktu, meski dari agenda resmi kunjungannya ke Manggarai tidak tercantum rencana ke Poco Leok.
Ia bertemu dengan warga selama 35 menit, beralasan harus segera kembali ke Ruteng untuk mengikuti acara ulang tahun Uskup Siprianus Hormat.
Kehadirannya tanpa ditemani Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit. Kendati sama-sama berangkat dari Ruteng, Nabit hanya ke Desa Wewo, lokasi PLTP Ulumbu dan tempat tinggal mayoritas warga yang pro dengan proyek ini.
Apresiasi lain adalah dengan kunjungan itu Laka Lena yang tinggal jauh di ibu kota provinsi di Kupang rupanya mendengarkan suara warga Poco Leok.
Sebagai kepala daerah yang memberi perhatian serius pada polemik proyek ini selama beberapa bulan terakhir, hal ini beralasan. Namun, sikap ini kontras dengan Uskup Ruteng – sama-sama sebagai pemimpin – yang hari itu harus ia ikuti acara ulang tahunnya.
Kendati tinggal tak jauh dari Poco Leok dan warga di 10 kampung adat yang menentang proyek adalah umatnya, uskup tersebut belum pernah menyempatkan waktu melawat mereka.
Ia juga diam ketika beberapa kali umat Poco Leok direpresi oleh aparat keamanan dan mereka berkali-kali meminta agar ia menunjukkan kepedulian.
Benar bahwa ia ikut meneken surat penolakan terhadap proyek geotermal bersama para uskup di Provinsi Gerejawi Ende pada Maret lalu.
Namun, sikap diamnya pada soal yang begitu penting bagi masa depan umatnya mengundang pertanyaan lain; apakah memang pilihannya meneken pernyataan itu lahir dari hati? Atau hanya karena tidak enak jika ia satu-satunya uskup yang tidak tercatat namanya pada lembar surat pernyataan itu? Apalagi, Mgr. Paulus Budi Kleden sebagai uskup agung yang memimpin paduan suara penolakan.
Pertanyaan-pertanyaan ini punya alasan historis. Kita perlu mengingat kontroversi yang dilakukan uskup ini pada 2020 saat ia menyurati presiden menyatakan dukungan melanjutkan proyek geotermal di Wae Sano, kendati berseberangan dengan aspirasi umatnya.
Saya hanya berharap, dalam obrolan acara ulang tahun usai kembali dari Poco Leok, mungkin sembari minum bir atau wisky, gubernur tak lupa memberi bocoran sedikit ke Uskup Ruteng soal apa yang dia alami, amati, dengar dan rasakan saat bersama warga, yang juga domba-domba uskup itu.
Semoga Roh Kudus kemudian bisa menggerakkannya untuk suatu saat nanti bisa hadir di sana.
Kembali ke pertanyaan tadi, mengapa gubernur harus dengan kawalan aparat bersenjata laras panjang ke Poco Leok?
Asumsi dari hal itu adalah warga menjadi ancaman, bahwa kehadiran gubernur bisa membahayakan nyawanya.
Lantas, butuh pengawalan ekstra ketat, sesuatu yang tidak terjadi saat Laka Lena berkunjung ke wilayah lain di NTT, termasuk saat beberapa hari sebelumnya ke lokasi proyek geotermal di Mataloko, Kabupaten Ngada.
Asumsi demikian tentu saja tidak punya basis alasan yang kuat jika kita melihat kembali rangkaian polemik geotermal di Poco Leok.
Sejak empat tahun lalu, saat proyek yang dikerjakan PT PLN dan didanai Bank Pembangunan Jerman itu diluncurkan, perwakilan pemerintah dan perusahaan selalu datang ke wilayah itu.
Mereka selalu dikawal oleh aparat keamanan. Dan kita tahu rentetan peristiwa yang kemudian terjadi. Warga berhadap-hadapan dengan mereka. Ada yang direpresi karena berjuang mempertahankan hak dari gempuran proyek itu.
Ada beberapa warga yang harus dirawat di rumah sakit karena dipukul aparat, termasuk dalam kejadian terakhir pada 2 Oktober 2024.
Dalam beberapa peristiwa tersebut, jelas warga tidak bersenjata, meski tentu saja mereka punya beragam macam perkakas pertanian yang bisa saja disulap jadi senjata. Namun, mereka tidak melakukannya.
Senjata warga adalah protes, bersuara, meminta jawaban atas keresahan, kecemasan mereka tentang ancaman kehilangan ruang hidup, tercerabut dari adat dan budaya, juga kerusakan lingkungan yang mengintai – bercermin pada situasi yang terjadi di wilayah proyek lain.
Mereka juga tidak punya kapasitas untuk mengerahkan massa lain, seperti halnya yang dilakukan Bupati Nabit saat membubarkan aksi unjuk rasa warga Poco Leok di Ruteng pada 5 Juni.
Dalam lebih dari 20 kali aksi “Jaga Kampung,” mereka berjuang sekuat tenaga, membentuk barisan mengadang aparat, dengan upaya sebisanya mendokumentasikan setiap peristiwa agar publik bisa mengetahui apa yang terjadi.
Dengan sejumlah catatan ini, sudah seharusnya kehadiran gubernur itu tidak perlu dengan pengawalan berlebihan.
Ia cukup datang sebagai pemimpin dengan hati terbuka untuk dialog.
Apalagi, dalam proyek ini ia tidak dalam posisi berhadap-hadapan langsung dengan warga seperti halnya Bupati Nabit yang jadi sasaran utama protes karena izin penetapan lokasi proyek yang ia terbitkan.
Masyarakat Poco Leok tentu sudah trauma menghadapi aparat keamanan.
Kalaupun mereka menyampaikan pernyataan keras untuk menyatakan perlawanan, yang bisa jadi dianggap sebagai ancaman, seperti yang juga mereka sampaikan saat kunjungan gubernur, hal itu dibentuk oleh pengalaman berulang kali berhadapan dengan pendekatan kekuasaan yang represif.
Karena itu, gubernur seharusnya bisa memberi contoh menghentikan pola-pola pendekatan intimidatif yang selama ini terus dipertontonkan.
Apalagi, di Poco Leok ia menyebut bahwa “proyek geotermal tidak lebih hebat dari persaudaraan dan kekeluargaan.” Ia juga berkata, “jauh sebelum barang ini ada, kita semua adalah keluarga besar.”
Satu hal lain yang juga penting. Ia juga perlu menegur Bupati Nabit untuk menghentikan cara-cara tidak sehat merespons protes warga, cara-cara yang anti-demokrasi.
Selain mengadang massa aksi pada 5 Juni, bupati tersebut juga telah melapor warga yang dituding merusak pagar kantornya saat aksi pada 3 Maret. Kasus ini masih ditangani Polres Manggarai, tanpa ada kejelasan apakah akan diteruskan atau tidak. Ini bisa jadi digunakan sebagai alat untuk menekan warga.
Saya mengamati video sambutan warga yang berorasi di Poco Leok pada 16 Juli dan gubernur hanya memilih diam.
Saya tidak tahu kalau Nabit yang mendapat sambutan seperti itu. Mungkin, peristiwa seperti pada 27 Februari 2023 akan terjadi lagi, saat ia berkata “Bupati Kaku, Bupati Kaku, Bupati Kaku” merespons warga yang menyambutnya dengan unjuk rasa.
Ungkapan itu menegaskan bahwa ia adalah bupati yang seharusnya dihormati, kendati kebijakannya mengangkangi aspirasi warganya sendiri.
Selagi pemerintah dan korporasi mengabaikan aspirasi warga dan tidak memberi jawaban yang meyakinkan terhadap pertanyaan-pertanyaan bernada kecemasan tentang apa yang terjadi hari esok jika proyek itu dipaksakan, agaknya polemik ini akan terus panjang.
Kita pun akan terus menyaksikan luka sosial yang kian menganga, dengan gerakan perlawanan yang makin kencang.
Ryan Dagur adalah editor Floresa
Editor: Herry Kabut