Oleh: Hari Sucahyo
Pada September 2023, Pemerintah Kabupaten Flores Timur meluncurkan kampanye “Nona Sari Setia” yang berarti “No Nasi Satu Hari Sehat Bahagia dan Aman.”
Ajakan untuk tidak mengonsumsi nasi satu hari dalam seminggu itu bertujuan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras, sekaligus mengangkat kembali pangan lokal seperti jagung, ubi, sukun dan sorgum.
Kampanye itu tampak sebagai inovasi lokal yang kreatif. Namun, di balik ajakan yang terdengar patriotik ini, tersembunyi sebuah ironi yang menyayat: Flores Timur mengalami defisit beras kronis hingga 15.000 ton setiap tahun.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan sekitar 80% masyarakat Flores Timur masih bergantung pada sektor pertanian. Namun, produktivitas lahan sangat rendah.
Rata-rata hasil panen padi misalnya hanya sekitar 2-3 ton per hektare, jauh di bawah standar nasional 5,29 ton per hektare.
Artinya, bahkan dengan kerja keras petani sepanjang tahun, hasilnya tidak akan cukup menyuplai kebutuhan masyarakat sendiri.
Di sisi lain, masih ada soal pada ketersediaan pangan lokal yang menjadi target kampanye itu.
Maka, pertanyaannya bukan hanya soal partisipasi terhadap kampanye Nona Sari Setia, melainkan apakah gerakan ini betul-betul solusi jangka panjang atau justru sinyal bahaya atas krisis ketahanan pangan yang lebih dalam?
Persoalan Struktural
Flores Timur memang bukan satu-satunya daerah di Nusa Tenggara Timur [NTT] yang mengalami krisis pangan.
Secara geografis, NTT berada dalam zona agroekologi kering. Sebagian besar lahan pertanian adalah tadah hujan, dengan curah hujan yang semakin tidak menentu akibat perubahan iklim.
Namun, mengarahkan sorotan hanya pada iklim dan kondisi alam semata tentu akan membuat kita luput melihat masalah struktural yang jauh lebih penting: kegagalan tata kelola pertanian dan kebijakan pangan yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Ketahanan pangan bukan hanya persoalan ketersediaan, tetapi juga akses, stabilitas harga dan keberlanjutan produksi.
Di Flores Timur, distribusi pupuk subsidi yang tidak merata, minimnya irigasi, lemahnya dukungan teknis bagi petani hingga terbatasnya akses terhadap pasar menjadi kendala mendasar yang belum terpecahkan hingga kini.
Defisit beras dan lemahnya produksi pangan lokal membuat Flores Timur sangat tergantung pada pasokan dari luar daerah, seperti dari Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, hingga Sulawesi dan Jawa.
Ketergantungan ini menciptakan kerentanan ganda; pertama, fluktuasi harga pangan nasional dan kedua, gangguan logistik akibat bencana atau krisis nasional seperti pandemi.
Jika satu mata rantai pasokan terganggu, masyarakat lokal langsung terdampak.
Dari sisi ekonomi, persoalan ini juga memperlihatkan ketimpangan. Ketika pasokan beras sangat tergantung dari luar, maka uang masyarakat daerah mengalir keluar.
Ini artinya, potensi ekonomi lokal tidak berkembang.
Nasi Simbol Status
Lebih jauh, problem kampanye mengganti nasi ini ini juga berkaitan dengan persoalan sosial budaya.
Kendati pangan lokal justru lebih adaptif terhadap iklim, lebih sehat dan berpotensi ekonomi tinggi jika dikelola dengan tepat, nasi sudah menjadi simbol status di banyak daerah di Indonesia, termasuk di Flores Timur.
Bagi masyarakat yang sejak dulu mengandalkan jagung dan umbi sebagai pangan utama, konsumsi nasi diasosiasikan dengan modernitas, kemajuan dan peningkatan status sosial.
Maka, mengajak masyarakat kembali pada pangan lokal tanpa menyentuh aspek nilai dan persepsi sosial yang telah terbentuk adalah seperti mengajak kembali ke masa lalu yang dianggap sebagai tanda kemiskinan.
Kedaulatan Pangan Berbasis Potensi Lokal
Lantas apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini?
Flores Timur dan NTT secara umum memiliki potensi besar untuk membangun sistem pangan lokal yang mandiri dan berkelanjutan.
Namun, itu semua mensyaratkan keberanian politik untuk tidak lagi menjadikan nasi sebagai satu-satunya indikator ketahanan pangan, serta komitmen untuk membalikkan ketergantungan menjadi kemandirian.
Karena itu, hal yang mendesak untuk dilakukan adalah penyusunan peta jalan kedaulatan pangan lokal berbasis potensi wilayah.
Ini mencakup pemetaan zona-zona produksi pangan alternatif, revitalisasi irigasi, penguatan koperasi petani dan kolaborasi dengan lembaga riset untuk mengembangkan varietas unggul yang tahan kekeringan.
Pada sisi lain, pemerintah seharusnya tidak hanya mengimbau konsumsi pangan lokal, tetapi juga mendorong hadirnya ekosistem produksi dan distribusi yang berpihak pada petani lokal: mulai dari bibit unggul, pelatihan teknik pertanian modern, sarana pascapanen hingga penyerapan hasil dengan harga yang layak.
Petani jagung dan ubi, misalnya, tetap tidak sejahtera karena kurangnya dukungan insentif produksi dan pembukaan pasar yang mendukung.
Ketika masyarakat diajak untuk mengganti nasi dengan pangan lokal, namun pangan lokal tidak tersedia secara merata, murah dan mudah diakses, maka yang terjadi adalah sekadar pengalihan beban tanpa penyelesaian masalah.
Selain itu, pendidikan gizi dan kampanye budaya makan sehat berbasis pangan lokal perlu digalakkan, bukan hanya di level pemerintah, tapi juga sekolah-sekolah, gereja dan komunitas akar rumput.
Jangan Lagi Sebatas Kosmetik
Program “Nona Sari Setia” sejatinya bisa menjadi bagian dari diversifikasi pangan nasional jika lahir dari kekuatan, bukan dari kekurangan.
Kampanye ini akan terasa sebagai beban moral tambahan bagi masyarakat kelas bawah yang sebenarnya sudah berjuang untuk sekadar bertahan hidup.
Inilah saatnya pemerintah daerah berhenti melihat pangan hanya sebagai komoditas konsumsi, tetapi sebagai alat pemberdayaan dan kedaulatan.
Ketahanan pangan adalah tentang siapa yang memproduksi, siapa yang menguasai distribusi, dan siapa yang menikmati hasilnya.
Ketika seluruh proses ini tidak dikuasai oleh masyarakat lokal sendiri, maka kampanye seperti “Nona Sari Setia” akan menjadi kosmetik semata: tampak progresif di permukaan, namun menghindar dari akar masalah.
Selama beras masih menjadi “raja” tunggal dan pangan lokal hanya jadi cadangan dalam keadaan darurat, maka “sehari tanpa nasi” bukanlah solusi, melainkan alarm bahaya dari sebuah sistem yang rapuh.
Jika saat ini kita menerima kampanye tersebut dengan pasrah, maka kelak kita akan terbiasa dengan kondisi darurat yang dijadikan norma.
Flores Timur tidak butuh ajakan untuk bertahan; ia butuh kebijakan untuk bangkit.
T.H. Hari Sucahyo adalah peminat masalah sosial, budaya dan humaniora; penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan Kelompok Studi Pusaka AgroPol
Editor: Anno Susabun