Floresa.co – Maraknya kasus kecelakaan kapal wisata di perairan Taman Nasional Komodo sementara tidak ada upaya serius dari berbagai instansi, termasuk Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores [BPO-LBF], menjadi sorotan.
Komisi Nasional Keselamatan Transportasi [KNKT] mengkritisi lembaga itu, yang dinilai sama sekali tidak merespons banyaknya kasus kecelakaan kapal di Labuan Bajo, wilayah yang ditetapkan sebagai destinasi super prioritas.
Ketua KNKT, Soerjanto berkata, BPO-LBF mestinya menjadi pihak yang mempunyai andil besar dalam melakukan pembenahan tata kelola pelayaran di Labuan Bajo.
Selama ini, kata Soerjanto, BPOP-LBF hanya mempromosikan destinasi wisata, tetapi diam ketika ada kasus kecelakaan kapal.
“BPO-LBF harus tampak fungsinya untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas pariwisata. Ke mana selama ini?” katanya.
Lembaga itu dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2018 dan mengemban peran sebagai akselerator pembangunan pariwisata melalui fungsi koordinatif dan otoritatif di kawasan Labuan Bajo dan 10 kabupaten lainnya di Pulau Flores.
Menurut Soerjanto, BPO-LBF mesti menjalankan fungsi koordinasi sebagai upaya untuk memperbaiki mutu pariwisata di Labuan Bajo, baik dengan pemerintah daerah maupun pihak terkait lainnya.
“Destinasi wisata super prioritas yang seharusnya memiliki ciri keselamatan pelayaran yang memadai, tetapi yang terjadi malah sebaliknya,” katanya.
Ia berkata, dengan adanya koordinasi yang aktif antarpihak, persoalan bisa segera diselesaikan melalui evaluasi bersama.
Soerjanto mengatakan peran Pemerintah Manggarai Barat juga dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan pariwisata, terutama dalam menyediakan sumber daya manusia sebagai salah satu penunjang dalam mencapai sistem pelayaran yang memadai.
Ia menyoroti disfungsi koordinasi antara pemerintah dan pihak terkait termasuk Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan [KSOP] Kelas III Labuan bajo.
Pemerintah, kata dia, mestinya melihat kasus kecelakaan kapal sebagai persoalan serius yang harus diselesaikan bersama.
Floresa meminta tanggapan Direktur BPOP LBF, Frans Teguh terkait kritikan Soerjanto melalui sekretarisnya Tanto Turuk pada 15 Agustus.
Tanto hanya mengatakan “akan saya konfirmasi ke Kepala Divisi Komunikasi Publik.”
Pernyataan Soerjanto merespons kasus Kecelakaan kapal berulang di perairan Taman Nasional Komodo. Terbaru, Kapal Pinisi Monalisa I tenggelam usai diterjang gelombang tinggi di perairan antara Pink Beach dan Batu Tiga pada 8 Agustus.
Kapal itu mengangkut lima orang penumpang dengan rincian dua wisatawan mancanegara, sisanya wisatawan domestik.
Saat kecelakaan, Kapal Pinisi Monalisa I berada dekat dengan Kapal Tsamara, sehingga “korban langsung dievakuasi dan tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut.”
Seminggu sebelumnya, kapal wisata Refiero yang mengangkut 16 penumpang mengalami kecelakaan di Long Pink Beach.
Kecelakaan kapal pada 8 Agustus merupakan yang keenam pada tahun ini.
Pada tahun lalu terjadi delapan kecelakaan, yang menyebabkan wisatawan domestik dan mancanegara mengalami cedera hingga ada yang meninggal.
Dalam catatan Floresa, pemicu kasus-kasus ini tidak semuanya karena faktor alam.
Dalam beberapa kasus, kapal-kapal yang kecelakaan diketahui melanggar aturan.
Kapal wisata KM King Fisher De Seraya yang mati mesin di perairan Labuan Bajo pada 1 Januari 2023 misalnya tidak mengantongi izin berlayar dari KSOP.
Hal serupa juga terjadi dengan kapal wisata Carpe Diem yang terbakar di perairan antara Pulau Siba dan Pulau Mawan pada 4 Februari 2024 misalnya tidak mengantongi izin berlayar.
Sementara itu, kapal KM Budi Utama yang kecelakaan di perairan Pulau Padar pada 22 Juni 2024 melanggar ketentuan karena lima dari total 15 penumpang tidak tercatat dalam manifes.
Hal ini memicu protes dari korban yang menuding buruknya manajemen kapal dan pengawasan oleh KSOP.
Mereka juga mengklaim tidak mendapat ganti rugi yang layak dari pihak kapal karena insiden itu dan mempersoalkan pihak kapal yang tidak mau merespons saat dihubungi.
Kasus seperti ini hanyalah contoh kecil dari model penanganan kecelakaan kapal wisata di Labuan Bajo yang memicu protes korban.
Tahun lalu, Yves de Ryckel, seorang wisatawan asal Belgia mengadukan penanganan kasus kecelakaan yang dia dan keluarganya alami bersama KM Dunia Baru Komodo.
Selain mempersoalkan penanganan insiden kebakaran kapal pada 16 Januari 2023 itu oleh pemilik kapal, ia juga mengkritik cara otoritas, termasuk KSOP Labuan Bajo, menanganinya, yang ia sebut tidak akuntabel.
Ia mempersoalkan klaim KSOP dan polisi bahwa kecelakaan itu berasal dari tabung gas elpiji di dapur kapal, yang menurutnya sebagai kesimpulan prematur karena tanpa melakukan investigasi secara serius.
Pembentukan Satgas
Sementara itu, merespons insiden berulang ini, Wakil Bupati Manggarai Barat Yulianus Weng berkata pihaknya baru-baru ini membentuk tim satuan tugas atau satgas yang terdiri dari Dinas Perhubungan, Satuan Polisi Pamong Praja serta KSOP.
Ia mengklaim ini adalah “persoalan serius yang mesti harus ditangani serius pula.”
Namun, ia mengakui “pembentukan tim satuan tugas ini belum sampai pada pembahasan hal teknis.”
“Baru pada pembentukan tim, setelah itu baru masuk pada poin apa saja yang harus dilakukan oleh tim satgas ini,” katanya kepada Floresa pada 14 Agustus.
Kepala Dinas Perhubungan Manggarai Barat, Adrianus Gunawan mengatakan “tim satgas dibentuk untuk membahas langkah yang harus diambil dalam menangani masalah pelayaran di Labuan Bajo.”
Namun, sama seperti kata Weng, pembahasan antarpihak belum sampai pada keputusan final terkait langkah apa yang harus diambil.
“Tentunya, ada pilihan kebijakan yang akan diambil antara pemerintah dan KSOP,” katanya kepada Floresa pada 15 Agustus.
Ia berkata, tim satgas sudah menyiapkan draf terkait kebijakan sebagai upaya mitigasi kecelakaan kapal.
“Kami perlu berdiskusi lagi untuk memfinalkan draft kebijakan itu.”
Editor: Ryan Dagur