Floresa.co – Suara Agnes Sela Soge, 57 tahun, sesekali tenggelam saat bercerita melalui sambungan telepon dengan Floresa pada 2 Desember.
Ia masih diliputi kesedihan usai ditinggal suaminya Yoseph Lelang Waiwejak yang meninggal empat hari sebelumnya.
Yoseph, 57 tahun, memang menderita stroke ringan sejak delapan tahun lalu, katanya.
Namun, ia “masih beraktivitas seperti biasa, bisa jalan sendiri, bicara juga jelas dan bisa kerja kebun.”
Situasi panik saat erupsi Lewotobi Laki-Laki pada 3 November malam membuat “kondisi kesehatannya menurun.”
“Letusan itu terjadi saat kami sedang tidur nyenyak. Bayangkan saja bagaimana kagetnya kami waktu itu.”
Apalagi, katanya, “melihat orang berlari selamatkan diri dan berteriak sana-sini.
“Suasana jadi sangat menakutkan. Itu yang membuat dia drop.”
Bersama warga lainnya dari Podor, Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang, keluarga Agnes menumpang sebuah mobil pikap yang membawa mereka menuju Desa Nebe, Kecamatan Talibura.
Wulanggitang adalah kecamatan di ujung barat Kabupaten Flores Timur yang paling terdampak erupsi Lewotobi Laki-Laki.
Kecamatan itu berbatasan langsung dengan Talibura di ujung timur Kabupaten Sikka.
Bagi Agnes, “waktu itu tidak ada pilihan lain selain mengungsi ke Nebe.”
Mereka mengungsi mandiri di rumah warga yang berjarak 55 kilometer dari kaki Lewotobi Laki-Laki.
“Waktu itu kami ikuti saja sopirnya yang membawa kami ke Nebe,” kata Agnes.
Selama di pengungsian, kesehatan Yoseph terus menurun.
“Saya perhatikan kondisi suami saya berubah, sama seperti pertama kali ia terkena stroke. Tidur saja, jalan juga kaku, begitupun saat bicara.”
Karena situasi demikian, Agnes memilih tetap bertahan di Nebe ketika pemerintah Flores Timur mengevakuasi masyarakatnya ke posko di kabupaten itu pada 10 November.
Seminggu terakhir sebelum meninggal kondisi Yoseph menurun kian drastis, kata Agnes.
Ia sempat membawanya ke Puskesmas Watubaing di Kecamatan Talibura.
“Setelah di Puskesmas Watubaing, kami minta rujuk ke rumah sakit TC Hillers Maumere.
Usai beberapa hari dirawat di sana, “suami saya meninggal pada Kamis, 28 November, jam lima sore.”
10 Orang Meninggal di Pengungsian
Yoseph merupakan salah satu dari 10 pengungsi bencana tersebut yang meninggal dunia di lokasi pengungsian.
Dinas Komunikasi dan Informatika [Kominfo] Flores Timur mencatat sembilan lainnya juga meninggal saat tengah mengungsi, baik di posko maupun rumah warga.
“Semuanya karena penyakit bawaan seperti sakit parkinson, penyakit gagal jantung kongestif, asma kronis juga kanker,” kata Heronimus ‘Hery’ Lamawuran, Kepala Kominfo Flores Timur kepada Floresa pada 3 Desember.
Sembilan warga itu adalah Theresia Bogin Puka, Imelda Meri Boruk, Hendrikus Boli Aran, Blasius Jogo Kedang, Rofinus Beda Tour, Etalia Eni Tapun, Bartolomeus Bedi Liwu, Paulus Nuba Groma dan Aloysius Bala Uran.
Pada 30 November, kata dia, “ada tiga orang warga yang mempunyai penyakit bawaan selama bertahun-tahun meninggal dunia setelah dirawat di Puskesmas Lewolaga, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur.”
Dua di antaranya sempat dirujuk ke RSUD Hendrikus Fernandez Larantuka dan meninggal di sana, kata Hery, sedangkan satu orang meninggal di rumah warga.
Dua warga lainnya meninggal pada 3 Desember pagi. Mereka adalah Imelda Meri Boruk dan Hendrikus Boli Aran yang selama ini mengungsi di Posko Lapangan Eputobi, Desa Lewoingu, Kecamatan Titehena, Flores Timur.
Hery berkata, pemerintah daerah mengurus biaya pemakaman warga yang meninggal selama mengungsi.
Hingga 3 Desember, pengungsi berkurang menjadi 10.375 jiwa, menurun dari 12.212 jiwa pada dua hari sebelumnya.
Penurunan terjadi karena “sebagian warga yang sebelumnya mengungsi ke Kabupaten Sikka kini sudah kembali ke Flores Timur,” kata Hery.
Saat ini Pemerintah Kabupaten Flores Timur sedang mengecek keberadaan pengungsi dan sedang melakukan pendataan.
“Jika sudah rampung, mereka diarahkan ke posko yang disediakan,” kata Hery.
Lewotobi Laki-Laki masih terus erupsi selama sebulan terakhir. Erupsi terakhir terjadi pada 3 Desember dini hari, dengan tinggi jangkauan abu antara 500-1.000 meter di atas puncak kawah, menurut petugas pos pengamatan, Anselmus Bobyson Lamanepa.
Hadapi Situasi Sulit di Posko Pengungsian
Sejak suaminya kritis, Agnes mengaku “pikiran saya sudah ke mana-mana.”
Pikirannya dihantui pertanyaan, “di mana saya akan menguburkannya, siapa yang akan mengurus peti, uang dari mana, dan apakah keluarga yang sebagian besar ada di pengungsian akan datang melayat.”
Ia juga berpikir tentang “apakah ada Misa untuk menghantar suami saya?” merujuk ke ibadah dalam Gereja Katolik, agama yang dianutnya.
“Hidup di tempat pengungsian sangat susah, keluarga saling berjauhan, tidak ada penghasilan, tinggal di rumah orang dan berharap pada bantuan pemerintah,” lanjutnya.
“Saya pasrah saat itu. Bahkan, berpikir pun rasanya tidak mampu lagi.”
Usai Yoseph meninggal, kata Agnes, keluarganya yang berada di posko pengungsian di Kanada, Desa Kobasoma, Kecamatan Titehena bergantian menelpon dan menguatkannya.
Yoseph dimakamkan pada 29 November dini hari, pukul 01.30 Wita, kendati ia sempat meminta agar ditunda saat hari sudah terang.
“Namun pemerintah bilang kita masih level Awas, situasi gunung berapi belum stabil. Jadi, harus segera kubur,” katanya.
Pada pagi itu, Agnes dan keluarganya berdoa bersama, tanpa ada imam Katolik yang memimpin ibadah, sebagaimana tradisi di kampungnya.
Sehari setelah pemakaman, Agnes langsung dievakuasi ke posko pengungsian di Kanada, berkumpul bersama keluarganya yang lain.
Kini hidup bersama tiga anaknya, ia masih terus mengenang Yoseph, sembari berharap tetap sehat hingga saat nanti tiba untuk kembali ke rumah.
Setiap pagi, ditemani keponakannya yang mengendarai motor, Agnes selalu ke makam Yoseph untuk membakar lilin dan berdoa.
Editor: Anno Susabun dan Ryan Dagur