Floresa.co – JPIC-OFM, lembaga advokasi Gereja Katolik yang selama ini terlibat dalam pendampingan warga di Flores berhadapan dengan proyek-proyek pembangunan menyatakan mendukung sikap Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden SVD yang baru-baru ini menegaskan menolak proyek geotermal.
Dalam sebuah pernyataan pada 23 Januari, Pastor Yansianus Fridus Derong, OFM, direktur eksekutif lembaga itu menyatakan mereka “tegak lurus dan mendukung secara penuh sikap Uskup Agung Ende.”
“Sikap ini kami nyatakan berdasarkan hasil investigasi dan advokasi yang telah kami lakukan bersama masyarakat lingkar [proyek] geotermal selama kurang lebih delapan tahun,” katanya.
JPIC-OFM, singkatan dari Justice, Peace and Integrity of Creation – Ordo Fratrum Minorum merupakan bidang karya Gereja Katolik yang fokus pada advokasi, animasi, sosial karitatif dan ekologi.
Lembaga itu telah terlibat dalam pendampingan warga di sejumlah titik proyek geothermal di Flores, seperti di Poco Leok, Kabupaten Manggara; Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat; dan Mataloko, Kabupaten Ngada.
Pernyataan JPIC-OFM merespons sikap Uskup Agung Budi yang disampaikan pada 6 Januari dan memicu reaksi luas dari berbagai kalangan.
Budi berkata, ia menolak kehadiran proyek geothermal di wilayah keuskupannya yang mencakup Kabupaten Ngada, Nagekeo dan Ende setelah mendengar kesaksian umat di berbagai titik proyek, seperti di Mataloko dan Sokoria, Kabupaten Ende.
Ia juga meminta para imamnya mendukung perlawanan warga dan mendampingi mereka.
Pernyataan sikap Budi datang tidak lama setelah munculnya lubang semburan baru yang mengeluarkan lumpur dan uap panas di dekat proyek geotermal Mataloko.
Fridus berkata, sikap Budi merupakan seruan seorang Gembala Umat yang “pertama-tama mempertimbangkan aspek pastoral gereja.”
“Seruan pastoral ini tentu saja lebih berpihak pada manusia dan ekologi, ketimbang hitungan bisnis, kecanggihan teknologi dan kepintaran para ahli geotermal.”
Ia berkata, “mendengar cerita dan keluh kesah mengenai dampak negatif yang konkret dan kasat mata dari umat sudah cukup bagi seorang Gembala Umat untuk menyatakan sikap.”
Dari pengalaman pendampingan warga di Flores, kata Fridus, proyek geotermal bukan sekedar masalah pemenuhan kebutuhan elektrisasi dan transisi energi, juga bukan sekedar masalah transaksi ekonomi dan jual beli tanah.
“Kami melihat ada dampak sosial budaya, ekonomi lokal, ekologi, hak-hak ekosob masyarakat serta keberlanjutan hidup yang melampaui perhitungan untung rugi ekonomi,” katanya.
Ia menjelaskan, “sejak awal, proyek geotermal di Flores tidak direncanakan dengan baik oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait, terutama PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN].”
“Kegagalan proyek geothermal Mataloko, Kabupaten Ngada yang telah terjadi sejak 20 tahun lalu tidak pernah diselesaikan secara serius oleh PT PLN,” katanya.
Ia menyatakan, “kasus Mataloko adalah contoh buruk tata kelola proyek geotermal yang tidak pernah diselesaikan.”
Karena itu, ia juga mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencabut SK Nomor 2268 K/MEM/2017 tentang Penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi.
“Geotermal bukan satu-satunya energi alternatif untuk pemenuhan elektrisasi dan transisi energi di Pulau Flores. Energi matahari, angin, arus laut jauh lebih potensial dan aman, ketimbang geotermal,” katanya.
Perbedaan Sikap di Internal Gereja
Pulau Flores memiliki total potensi panas bumi 902 Megawatt, atau 65 persen dari total kapasitas di NTT, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Pemerintah telah mengidentifikasi 16 titik proyek di sepanjang Flores hingga Pulau Lembata di sebelah timur, yakni Wae Sano, Ulumbu, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Detusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atadei, Bukapiting, Roma-Ujelewung dan Oyang Barang.
Proyek di titik-titik itu yang sebagian sudah dikerjakan mendapat resistensi dari warga setempat.
Sementara warga di titik-titik proyek proyek yang adalah umat Katolik melakukan penolakan, perbedaan sikap terjadi di dalam hierarki gereja.
Budi adalah uskup pertama di Flores yang secara publik menentang proyek geotermal.
Sikapnya berbeda dengan rekan sesama uskup, Msgr. Siprianus Hormat yang telah menyatakan mendukung.
Pada Mei 2020, Uskup Ruteng itu mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo, yang merekomendasikan agar proyek geotermal Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat dilanjutkan.
Surat tersebut menuai protes dari umatnya, menganggap Siprianus mengabaikan suara mereka.
Editor: Ryan Dagur