Oleh: RYAN DAGUR
Tanggal 2 Oktober 2024 menjadi kelam bagi Floresa, saat pemimpin redaksi Herry Kabut ditangkap oleh aparat.
Ia ditangkap ketika meliput aksi penolakan proyek geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai.
Saya memilih diksi ditangkap, bukan diamankan, sebagaimana bahasa Polres Manggarai.
Alasannya sederhana.
Penggunaan istilah diamankan dalam kasus Herry sama sekali tidak pas dengan artinya versi polisi, yaitu ia berpotensi menjadi korban dan pelaku tindak pidana.
Tidak butuh analisis panjang untuk mempertanyakan ketidaklogisan argumentasi polisi.
Pertama, bagaimana bisa aktivitas meliput aksi membuat Herry berpotensi jadi korban dan pelaku tindak pidana?
Kedua, dengan diamankan, seharusnya dia aman saat bersama aparat.
Faktanya, ia mengalami sejumlah bentuk kekerasan saat peristiwa itu, sebagaimana yang ia tulis dalam kronologinya.
Ia dianiaya, ponsel dirampas, hingga barang pribadinya rusak.
Peristiwa ini makin memilukan karena seorang jurnalis juga ikut memukul Herry.
Jurnalis itu, kata Herry, ikut dalam mobil polisi pas kembali dari Poco Leok.
Usai dibebaskan pada 2 Oktober sore, butuh waktu bagi kami untuk bisa mendapat cerita Herry.
Mempertimbangkan kondisi psikologisnya, kami baru memintanya bercerita pada 3 Oktober.
Itupun tidak rinci, karena kami tidak ingin mengganggunya dengan pengalaman traumatik itu.
Kami lalu memintanya mengisahkan kronologi lewat tulisan, agar ia bisa merekam dengan baik setiap momen saat penangkapan itu.
Kronologi itulah yang kemudian kami publikasikan, untuk menjawab pertanyaan berbagai pihak tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Dari sejumlah penjelasan polisi, alasan Herry “diamankan” karena ia tidak membawa kartu pers saat meliput.
Kami meyakini bahwa alasan itu dipaksakan dan terus-menerus digunakan polisi karena memang hanya itu satu-satunya alasan yang bisa dipakai untuk membenarkan tindakan mereka.
Padahal, kartu pers hanyalah salah satu penanda bahwa ia memang jurnalis.
Dari kronologi Hery, ia juga berusaha menjelaskan statusnya sebagai pemimpin redaksi, dengan mengecek surat tugas yang dia tandatangani untuk jurnalis Floresa lainnya.
Ia juga menunjukkan statusnya sebagai pemimpin redaksi di web Floresa.
Namun, ia tetap saja ditahan, ponselnya tetap dikuasai polisi, lalu dipaksa berbicara dalam sebuah video dengan kata-katanya yang didikte polisi sebagai alasan untuk bebas.
Mengapa itu semua bisa terjadi? Dari kronologi Herry, kita bisa tahu alasannya.
Tampaknya polisi hanya mencari-cari alasan untuk membenarkan aksi kekerasan terhadapanya.
Dari kronologi itu, ada polisi yang mengaku sering baca tulisan Herry dan berkata “saya sudah memantau kau punya pergerakan selama ini.”
Dari sini, bisa terbaca bahwa penangkapannya adalah upaya yang patut diduga disengaja.
Mengapa Herry Jadi Target?
Jawaban atas pertanyaan itu kiranya berkaitan dengan sikap Floresa dalam kasus Poco Leok.
Dalam kronologinya, Herry menulis aparat memberitahunya bahwa “Floresa selalu membuat berita miring tentang proyek geotermal.”
Floresa memang mengambil sikap untuk mengawal proyek perluasan PLTP Ulumbu itu, salah satu proyek strategis nasional di Flores.
Kami telah rutin memberitakan polemik proyek itu. Herry termasuk salah satu jurnalis yang terlibat aktif, termasuk dengan berulang kali mengunjungi Poco Leok.
Proyek itu, sebagaimana juga proyek-proyek lainnya di Flores, termasuk di sektor pariwisata, hadir bersamaan dengan narasi-narasi bahwa itu akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat setempat, membuka lapangan kerja dan seterusnya.
Geotermal pun terus-menerus dinarasikan sebagai sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, aman, dan tidak berisiko bagi masyarakat setempat. Geotermal juga digadang-gadang akan mensejahterakan mereka.
Narasi-narasi itu digaungkan lewat media yang patut diduga bekerja sama dan disokong pemerintah dan korporasi, BUMN PT PLN Persero tbk, yang mengerjakan proyek itu.
Di sisi lain, warga Poco Leok menentangnya dengan alasan mengganggu ruang hidup mereka, karena titik-titik proyek di kampung dan lahan mereka.
Dengan perspektif relasi kuasa, kita bisa dengan mudah mengidentifikasi posisi asimetri antara pemerintah plus korporasi di satu sisi dan warga di sisi lain.
Pemerintah dan korporasi memiliki segala-galanya untuk mewujudkan tujuannya, bahkan bisa membiayai wartawan dan media untuk menyebarluaskan narasinya, termasuk memproduksi pengetahuan-pengetahuan dengan klaim berbasis riset dan seterusnya.
Sementara di sisi lain warga hanya bisa memilih menyuarakan protes dan bertahan di lahan.
Dalam kondisi ini, dengan komitmen untuk memperjuangkan demokratisasi dan pembangunan berkeadilan, Floresa memberikan ruang yang luas bagi warga untuk terlibat dalam wacana dan diskursus soal proyek ini.
Kami melakukan itu dengan selalu menguji klaim-klaim pemerintah dengan fakta empirik, juga mengangkat pertanyaan kritis warga; apakah proyek ini benar-benar aman bagi mereka, apa saja keuntungan yang mereka dapat, siapa yang menjamin keselamatan mereka jika proyek ini akan menimbulkan masalah seperti yang terjadi dengan proyek geotermal di wilayah lain.
Dalam rangka membantu memperkuat suara-suara mereka, kami misalnya pernah melaporkan pengakuan dari warga sekitar PLTP Ulumbu yang sudah beroperasi sejak 2012 bahwa realisasi janji-janji pemerintah dan perusahaan dulu adalah nol. Hal itu disampaikan warga dalam sosialisasi pada Juni.
Contoh lain yang ditulis Herry adalah sebuah wawancara khusus dengan seorang mama di Poco Leok yang aktif dalam penolakan proyek, soal apa-apa saja kekhawatirannya, sehingga ia selalu rela meninggalkan pekerjaan saat ada aksi demonstrasi.
Kami juga melakukan peliputan khusus dengan mengunjungi lokasi proyek geotermal lain di Flores, seperti di Sokoria, Kabupaten Ende dan Mataloko, Kabupaten Ngada.
Ini adalah upaya kami untuk membuka kepada publik, seperti apa fakta yang terjadi di lapangan.
Dengan mengangkat soal-soal ini, tentu dengan ikut memasukkan respons pemerintah dan PT PLN, kami sedang berupaya agar proyek-proyek ini bisa dijalankan dengan pelibatan aktif masyarakat dan mendengarkan suara mereka.
Narasi-narasi surga dari pelaksanaan proyek-proyek ini, menurut kami, perlu diuji, tidak diamini begitu saja, agar kemudian bisa dipertanggungjawabkan.
Bagi kami, itu adalah posisi yang sudah seharusnya diemban media sebagai pilar demokrasi.
Media tidak bisa hanya menyalin siaran pers pemerintah dan korporasi, lalu mempublikasinya, tanpa ada upaya mempertanyakan apakah isinya benar, sesuai fakta atau hanya propaganda, sekedar untuk meloloskan proyek atau memastikan dukungan dana akan cair.
Pilihan sikap seperti ini sah-sah saja dalam jurnalisme, tentu dengan tetap patuh pada kode etik jurnalistik.
Kami menerapkan prinsip seperti ini tidak hanya dalam kasus Poco Leok, tetapi juga dalam kasus-kasus lain, di mana kami memilih berpihak pada kepentingan publik, khususnya korban.
Pembaca dapat menyimaknya dalam laporan-laporan kami lainnya.
Hanya beberapa jam sebelum Herry ditangkap misalnya, kami menyoroti kelambanan penanganan kasus kekerasan terhadap seorang perempuan oleh terlapor yang adalah anak angkat seorang petinggi di Polres Manggarai Barat.
Sayangnya, pilihan sikap dan posisi jurnalistik seperti ini justru dibungkam.
Kami melihat apa yang dialami Herry adalah bagian dari upaya pembungkaman itu, dengan harapan narasi-narasi yang muncul di publik dalam kasus geotermal Poco Leok hanyalah versi penguasa dan korporasi.
Karena itu, bagi kami kasus ini menjadi ancaman yang sangat serius pada kebebasan pers, juga terutama pada masyarakat yang berjuang mempertahankan haknya.
Penting dicatat bahwa Poco Leok hanyalah salah satu dari lokasi proyek investasi geotermal di Flores.
Saat ini sejumlah proyek lain juga dikerjakan seperti di Atadei, Kabupaten Lembata; Mataloko dan Nage di Kabupaten Ngada dan Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat.
Jika kasus kekerasan ini didiamkan, maka yang dipertaruhkan adalah soal masa depan kita semua.
Membawa kasus ini ke ranah hukum adalah bagian dari upaya mendorong akuntabilitas aparat keamanan agar tidak berlaku semena-mena.
Kami juga berharap bahwa langkah ini bisa membuat aparat mengubah pendekatannya terhadap masyarakat.
Dalam konteks demikianlah, kasus ini bukan hanya kasus Herry, warga Poco Leok, tetapi kita semua yang berpotensi jadi korban.
Butuh Solidaritas
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan cerita Herry soal alasan yang membuat dia kuat saat berjam-jam berada di bawah penguasaan polisi; ada warga Poco Leok yang menantinya hingga ia dibebaskan.
Bahkan, warga Poco Leok sudah siap-siap ke Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai jika hari itu Herry dibawa ke Polres.
Saat ia kemudian dibebaskan, sambil menangis, warga memeluk dan meminta maaf kepadanya.
Mereka menangis karena meyakini bahwa ia ditangkap karena menyuarakan suara mereka.
Hari-hari ini, kami bersyukur bahwa solidaritas seperti yang ditunjukan warga itu rupanya terus meluas.
Kami mendapat dukungan dari berbagai pihak; masyarakat umum, sesama jurnalis, organisasi jurnalis dan pers, organisasi masyarakat sipil, hingga lembaga negara seperti Komnas HAM dan Kompolnas.
Bagi kami, dukungan itu adalah sekaligus bentuk penguatan untuk praktik jurnalisme yang berpihak pada kepentingan publik, terutama kelompok yang paling rentan.
Alasan-alasan ini pula yang membuat kami menolak takluk dengan peristiwa ini; kami tidak sendirian.
Sikap diam terhadap kekerasan hanya akan membunuh kita semua. Kami tidak mau memilih itu. Kami memilih melawannya.
Ryan Dagur adalah editor sekaligus pemimpin umum Floresa