Oleh: Lund Mila E.B Teme
Saat mendengar kata “kanker serviks” seringkali muncul rasa takut, terutama di kalangan perempuan. Hal itu memang beralasan. Sebagaimana kanker pada umumnya yang kerap dianggap paling mematikan, kanker serviks menyerang dan dapat menyebar di berbagai area tubuh.
Secara spesifik, kanker serviks terjadi pada leher rahim, yaitu bagian yang menghubungkan rahim dengan vagina.
Berdasarkan data World Health Organisation (WHO) pada 2022, kanker serviks merupakan kanker keempat yang umum terjadi pada perempuan di seluruh dunia.
Di Indonesia, kanker serviks menempati peringkat kedua yang paling banyak ditemukan, serentak paling rentan menyebabkan kematian pada perempuan setelah kanker payudara.
Merujuk dokumen Profil Kesehatan Indonesia 2021, seperti dikutip dari data Standar Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, terdapat 36.633 kasus baru kanker serviks pada tahun itu atau 17,2 persen dari total kanker pada perempuan.
Sementara merujuk data World Cancer Research Fund (WCRF), terdapat 20.708 perempuan Indonesia yang meninggal karena kanker serviks pada 2022.
Secara medis, kanker serviks disebabkan oleh infeksi virus HPV (Human Papiloma Virus), terutama yang bertipe 16 dan 18.
Kendati hanya beberapa dari lebih dari 200 tipe HPV yang sering dikaitkan dengan masalah kesehatan, tipe 16 dan 18 mengarah pada kanker serviks dan kanker lainnya. Sementara HPV tipe 6 dan 11 umumnya menyebabkan kutil kelamin.
HPV dapat ditularkan melalui kontak hubungan seksual, sementara kanker serviks yang disebabkannya mampu berkembang perlahan dan seringkali tidak menimbulkan gejala di tahap awal.
Kanker serviks berisiko pada semua perempuan yang aktif melakukan hubungan seksual, berganti-ganti pasangan seksual terutama dengan yang terinfeksi virus HPV, merokok atau penderita HIV/AIDS atau penyakit menular seksual lainnya.
Risiko lainnya pada pengguna kontrasepsi oral (Pil KB) jangka panjang, kehamilan pertama di usia kurang dari 20 tahun dan perempuan yang melahirkan lebih dari tiga anak.
Mengapa Pap Smear dan IVA Penting?
Data SKI 2023 menyatakan, cakupan skrining atau deteksi dini kanker serviks dengan mekanisme Pap Smear dan IVA masih sangat rendah, yaitu sekitar 7,02 persen dari target pencapaian yang seharusnya 70 persen untuk perempuan berusia 30-69 tahun.
Sementara itu 92,2 persen perempuan berusia kurang dari 15 tahun yang sudah menikah, belum pernah melakukan skrining dengan Pap Smear dan IVA test. Hanya 3,7 persen yang melakukan skrining setahun sekali dan 4,1 persen pernah melakukan tapi tidak rutin.
Pap Smear dan IVA adalah dua jenis pemeriksaan penting sekaligus sederhana yang bisa dilakukan untuk mendeteksi dini kanker serviks dengan cara melihat ada atau tidaknya perubahan sel pada serviks.
Sementara Pap Smear merupakan pemeriksaan dengan cara mengambil sampel sel dari serviks dan memerlukan fasilitas laboratorium Patologi Anatomi, IVA atau Inspeksi Visual dengan Asam Asetat lebih sederhana. Caranya hanya dengan mengolesi 3-5 persen asam asetat pada area serviks, kemudian hasilnya dapat dilihat secara langsung.
Pap Smear mengharuskan penggunaan mikroskop oleh dokter spesialis Patologi Anatomi, sehingga memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Namun hasilnya lebih akurat dan mendalam karena bisa mendeteksi perubahan sel pada serviks secara lebih detail. Hasil tersebut juga lebih akurat sebagai dasar untuk deteksi dan konfirmasi lanjutan, apalagi jika secara paralel hasil tes IVA positif.
Pada IVA, hasil positif ditandai dengan munculnya bercak putih pada serviks dalam waktu satu menit setelah pemberian asam asetat. Karena itu, pemeriksaan IVA sangat praktis, cepat, murah dan hasilnya segera terlihat saat itu juga.
Pemeriksaan ini juga bisa diakses secara gratis di semua Puskesmas yang ada di Indonesia, tanpa memerlukan fasilitas laboratorium. Dengan kata lain, pemeriksaan IVA ini sangatlah terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, terutama pada daerah dengan fasilitas terbatas.
Pemeriksaan dengan Pap Smear dan IVA bisa mendeteksi sel yang tidak normal atau lesi (kerusakan atau kelainan pada jaringan tubuh) sebelum terjadinya kanker. Deteksi seperti ini mempermudah penanganan yang lebih dini, dan jika terdapat kasus atau potensi kanker, peluang untuk sembuh akan lebih besar.
Karena itu, kedua mekanisme ini seharusnya wajib dilakukan pada semua wanita yang aktif melakukan hubungan seksual, baik yang ada keluhan maupun tanpa keluhan.
Kapan Menjalani Pemeriksaan?
Semua perempuan yang sudah aktif berhubungan seksual disarankan untuk wajib menjalani pemeriksaan Pap Smear dan IVA.
Secara usia, mekanisme skrining cocok menyasar perempuan 30 sampai 50 tahun, namun khusus untuk pemeriksaan Pap Smear bisa dimulai dari usia 21 tahun atau tiga tahun setelah kontak seksual pertama.
Syarat lainnya sebelum pemeriksaan Pap Smear dan IVA adalah tidak sedang menstruasi dan tidak sedang menggunakan obat-obatan intra-vagina selama dua hari terakhir.
Selain itu, tidak melakukan hubungan seksual minimal 24 jam sebelum pemeriksaan.
Skrining dapat dilakukan setiap 3 sampai 5 tahun sekali, bergantung pada metode, fasilitas pemeriksaan dan hasil pemeriksaan pertama. Dokter atau bidan pada fasilitas kesehatan akan mengarahkan waktu yang tepat untuk pemeriksaan kembali.
Bagi semua perempuan yang berisiko, beranilah untuk periksakan diri Anda sebelum terlambat. Mari kita cegah kanker serviks sejak dini!
Lund Mila E.B Teme adalah Dokter Umum di Puskesmas Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat
Editor: Anno Susabun