Oleh: Christopher Hulshof
Memori suara kekerasan otoriter bergema di jalanan Jakarta: gemerincing tameng berdenting, ban kendaraan lapis baja berukuran besar meluncur di trotoar dan desingan tabung gas air mata di atas kepala saat mikrofon mengumandangkan perintah dari balik barisan seragam dan wajah bermasker yang terus bergerak maju.
Bagi Affan Kurniawan, pria berusia 21 tahun, suara-suara itu memudar selamanya ketika ia dibunuh Brigade Mobil (Brimob) dalam demonstrasi pada 28 Agustus. Namun, bagi rakyat Indonesia lainnya, tangisan kesedihan keluarga Affan mengingatkan pada kekerasan rutin yang dilakukan negara terhadap warga sipil di bawah pemerintahan Orde Baru Soeharto—kediktatoran militer yang memerintah negara ini pada 1966-1998.
Seiring dengan terus berlanjutnya remiliterisasi masyarakat Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto, Affan Kurniawan menjadi korban tewas pertama dari kebijakan negara yang memerintahkan aparat turun ke jalan untuk meredam protes, menandai kembalinya ke masa ketika rakyat jelata harus membayar dengan nyawa karena berusaha menuntut harga diri sebagai manusia.
Respons keras terhadap protes warga sipil dimulai pada 25 Agustus, ketika massa berkumpul di sekitar gedung DPR di Senayan, Jakarta setelah berminggu-minggu berunjuk rasa secara online untuk menolak serangkaian tunjangan mewah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).[1] Tunjangan itu untuk perumahan, beras dan penggantian biaya perjalanan dinas yang menghasilkan kenaikan gaji hampir 35% sejak 2024 bagi 580 anggota DPR. Hal itu membuat total potensi pendapatan bulanan (gaji + tunjangan) mereka mencapai Rp 230 juta.[2]
Sebagai perbandingan, Upah Minimum Provinsi di Jakarta adalah Rp 5,4 juta per bulan, sementara guru sekolah negeri di Indonesia jika benar mendapatkan kenaikan gaji 100%, maka maksimal mereka hanya dibayar Rp 7-11 juta per bulan—tidak seberapa jika dibandingkan dengan tunjangan perumahan baru DPR Rp 50 juta per bulan.[3]
Namun gelombang protes yang meledak di akhir pekan tersebut bukan semata-mata manifestasi kemarahan terhadap tunjangan dan gaji untuk para elit politik, melainkan masalah yang jauh lebih besar yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Biaya hidup di Indonesia meningkat drastis beberapa tahun belakangan karena tingginya inflasi dan naiknya harga sembako.[4] Di tengah wacananya untuk menghemat anggaran, pemerintah Indonesia melakukan pemborosan untuk mendukung rencana jangka panjang Presiden Prabowo Subianto dalam memiliterisasi kembali negara demokrasi terbesar ketiga di dunia tersebut— melalui anggaran untuk militer senilai triliunan rupiah, bagi-bagi insentif untuk kawan politik, perlindungan terhadap tindak kriminal yang dilakukan petugas berseragam, serta upaya pembungkaman kritik dan media yang bersuara menentang kebijakan-kebijakan tersebut.
Remiliterisasi Indonesia di bawah kepresidenan Prabowo mungkin bukanlah hal yang mengejutkan, sebab mantan jenderal ini memang dikenal karena riwayat kemiliterannya. Ia dikenal sebagai komandan peleton di Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat pada 1970-an, ketika unitnya mengambil bagian dalam pendudukan berdarah di negara tetangga Timor-Leste.
Prabowo serta unitnya terlibat dalam pembantaian ratusan warga sipil tak bersenjata di Kraras pada 1983, beberapa bulan setelah menikahi Siti Hediati Hariyadi, putri sang diktator militer Soeharto.[5] Karirnya yang sangat pesat di jajaran militer dikaitkan dengan posisi istimewanya sebagai menantu presiden, dan puncaknya Prabowo diangkat sebagai kepala Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat pada Maret 1998.
Dua bulan kemudian, ketika demonstrasi yang akhirnya menggulingkan kediktatoran Soeharto terjadi, Prabowo menggunakan pasukan berpakaian preman untuk menculik dan menyiksa setidaknya sembilan aktivis mahasiswa, di samping belasan lainnya yang masih dinyatakan hilang hingga kini.[6]
Hanya beberapa hari setelah pelantikannya, Prabowo mengirim seluruh kabinetnya ke Akademi Militer Indonesia di Magelang, Jawa Tengah untuk menjalani pelatihan-yang disebut retret-ala militer.[7] Sejak militerisasi pemerintah secara simbolik ini dilaksanakan, melalui kawan-kawannya di DPR, pemerintahannya mendorong disahkannya beberapa amandemen untuk meningkatkan kontrol militer dalam birokrasi sipil.
Yang paling kentara adalah amandemen terhadap UU No. 34 tahun 2004 (yang sering disebut dengan UU TNI) melalui UU No. 3 tahun 2025. UU tahun 2004 mengatur tentang pembatalan kebijakan dwifungsi di era Soeharto, di mana perwira militer dapat ditempatkan di semua tingkat pemerintahan, termasuk bupati dan gubernur, petinggi BUMN, lembaga peradilan, duta besar dan kabinet. UU tahun 2004 membatasi peran militer hanya pada pertahanan dan keamanan negara sesuai dengan prinsip demokrasi sipil.
Jadi, sah saja jika para pendukung demokrasi Indonesia merasa khawatir ketika para anggota dewan melaksanakan rapat tertutup untuk merevisi UU ini di hotel mewah Fairmont di Jakarta pada 14-15 Maret 2025. Apalagi, para aktivis yang datang ke hotel bintang lima ini diusir dari lokasi.[8]
Sebagai tanggapan terhadap kontroversi tersebut, beberapa pejabat negara secara publik menjanjikan bahwa rancangan perubahan UU tersebut tidak akan mengembalikan supremasi militer terhadap pemerintahan sipil.[9] Namun ketika masyarakat sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri menutup bulan Ramadhan dan menyambut Hari Raya Idul Fitri, DPR dengan tergesa-gesa melakukan pemungutan suara untuk mengesahkannya, melanggar janji mereka sendiri—membukakan jalan bagi tentara Indonesia untuk menempati posisi-posisi yang hanya diperuntukkan bagi anggota sipil sejak 2004.[10]
Secara spesifik Pasal 7 UU No. 3 tahun 2025 memperluas ruang lingkup operasi militer selain perang, melibatkan beberapa tugas yang diklasifikasikan secara luas sebagai operasi internal, seperti: mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis (5); melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri (6); membantu tugas pemerintahan di daerah (9); dan membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU (10).
Perlu dicatat, sebagian besar klausa Pasal 7 yang mencakup operasi militer selain perang dapat diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden, kecuali klausa 10, yang memungkinkan militer untuk melakukan tugas kepolisian internal—memberikan angkatan bersenjata kekuasaan yang tak terbatas dan luas untuk menggunakan kekuatan mereka terhadap rakyat Indonesia.
Pasal 47 mengizinkan prajurit aktif untuk memegang posisi di 14 kementerian dan lembaga sipil, termasuk diantaranya di Kejaksaan Agung, Sekretariat Negara, Badan Intelijen Negara, lembaga pertahanan negara, bahkan Mahkamah Agung.[11] Pasal 53 menaikkan batas usia pensiun anggota militer, memberi ruang untuk para perwira dari era Soeharto untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Hal yang paling mengkhawatirkan adalah Undang-Undang No. 3 tahun 2025 tidak mengubah yurisdiksi pidana yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1997. Berdasarkan Undang-Undang Pengadilan Militer tahun 1997, personel militer yang terlibat dalam tindak kriminal akan diperiksa oleh otoritas militer dan diadili melalui pengadilan militer, bukan melalui pengadilan sipil. Pengaturan ini justru memperlebar celah impunitas militer seiring dengan perluasan peran mereka dalam pemerintahan.[12]
Selain membuka ruang bagi personel militer untuk menduduki kembali posisi kepemimpinan dalam pemerintahan Indonesia, pasal tersebut juga memberikan ruang bagi militer untuk mengawasi, mengatur dan membentuk penyebaran informasi di seluruh nusantara. UU No. 3 tahun 2025 mengizinkan perwira militer dalam tugas aktif untuk terlibat dalam Lembaga Siber dan Sandi Negara, badan intelijen yang mengatur sinyal serta keamanan siber utama Indonesia, yang dapat memberikan angkatan bersenjata kapasitas untuk memantau dan mengatur aktivitas online warga negara.
Perubahan ini dikeluarkan beberapa minggu setelah diumumkannya Peraturan Kepolisian Negara No.3 tahun 2025 yang mengharuskan wartawan serta akademisi asing untuk mengantongi surat izin dari kepolisian sebelum dapat melakukan riset maupun liputan di wilayah Indonesia.[13]
Memberikan polisi kapasitas untuk mendikte siapa yang boleh beroperasi di Indonesia sehingga negara dapat melakukan pengawasan serta sensor, membatasi kebebasan pers dan akademisi asing, sementara pihak militer diberikan kuasa untuk menyensor debat dan komentar masyarakat Indonesia di ruang digital—secara efektif membuka jalan bagi kontrol otoriter terhadap saluran informasi utama di Indonesia.
Meskipun kelihatannya perubahan drastis ini baru terjadi setelah pemilihan presiden pada 2024, namun sesungguhnya akarnya sudah ada sejak hampir satu dekade yang lalu. Mantan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yang berhasil mengalahkan Prabowo pada 2014 dan 2019 beralih ke militer selama masa jabatan periode pertamanya untuk memperluas basis dukungannya di luar partainya kala itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Sejak itu, Jokowi menjadi bergantung kepada militer dalam memajukan proyek infrastruktur maupun investasi yang mendukung agenda politik serta meningkatkan elektabilitasnya pada pemilu selanjutnya. Sebagai imbalannya, Jokowi mengizinkan semakin banyak perwira militer aktif maupun purnawirawan untuk menduduki jabatan sipil di pemerintahan, termasuk penunjukan perwira militer era Soeharto, Ryamizard Ryacudu, sebagai Menteri Pertahanan pada masa jabatan pertamanya (2014-2019), dan kemudian Prabowo Subianto pada masa jabatan keduanya (2019-2024).[14]
Selama kementerian itu dikendalikan Prabowo, Jokowi juga memberinya sejumlah proyek besar di luar urusan pertahanan dan keamanan, seperti proyek pangan atau food estate di daerah seperti Kalimantan dan Papua. Aliansi tersebut masih berlanjut sampai sekarang, di mana putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjabat sebagai wakil presiden di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Setelah diangkat menjadi Menteri Pertahanan di kabinet Jokowi pada tahun 2019, Prabowo juga secara sistematis memperluas ukuran, kekuatan, maupun peran militer dalam ranah pemerintahan sipil, sembari mengikis persaingan antara cabang-cabang militer dengan menjadikan Kementerian Pertahanan sebagai pusat komando militer.
Dalam lima tahun terakhir, Kementerian Pertahanan telah mengontrak dan menerima kiriman peralatan militer modern senilai puluhan miliar dolar AS, termasuk dua kapal selam Scorpène, lima pesawat angkut C-130J-30 Super Hercules, dua pesawat tanker-angkut udara A400M dan sistem radar canggih.[15] Puncak pengeluaran militer tunggal terbesar dalam sejarah Indonesia ialah dengan menyetujui pembelian 42 unit jet tempur Rafale sebesar US$8,1 miliar dari Perancis.[16]
Indonesia pun kini dikonfirmasi menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang akan menggunakan sistem rudal balistik modern setelah membeli sistem rudal KHAN buatan Turki—sebuah pengadaan canggih Kementerian Pertahanan yang menurut laporan belum diserahkan kepada TNI AD.[17]
Selama periode pengeluaran maha besar untuk pemutakhiran militer Indonesia, Prabowo memusatkan seluruh proses pembelian kepada Kementerian Pertahanan, mulai dari perencanaan dan negosiasi pembelian hingga pengadaan serta distribusi peralatan ke berbagai cabang militer, memanfaatkan pengeluaran besar-besaran untuk membentuk hirarki dalam angkatan bersenjata dengan kepemimpinan tertinggi dipegang oleh Kementerian Pertahanan.
Sejak menjabat sebagai presiden, Prabowo juga mulai menerapkan rencana jangka panjang untuk memperluas komando daerah Angkatan Darat di setiap provinsi di Indonesia, dari 15 menjadi 38 komando daerah.[18] Pada masa kepemimpinan Soeharto, komando daerah inilah yang digunakan untuk membayangi birokrasi sipil dan memproyeksikan pengaruh militer terhadap fungsi-fungsi pemerintahan yang independen.[19]
Enam dari 23 komando daerah tambahan tersebut telah dibentuk pada 10 Agustus lalu, bersamaan dengan pemulihan jabatan Wakil Panglima TNI yang dihapuskan pada tahun 2000.[20] Wakil Panglima TNI bertugas untuk mengkoordinasikan ketiga cabang militer, untuk dapat diselaraskan dengan struktur kekuasaan di dalam Kementerian Pertahanan. Wakil Panglima TNI bahkan diberikan kuasa untuk secara langsung melaksanakan tugas komando lain jika diperlukan. Komando-komando regional baru ini telah diisi melalui perluasan personel militer. Sejak Prabowo menjabat, telah dibentuk 100 batalyon baru, sementara 400 batalyon lainnya direncanakan akan dibentuk sebelum masa jabatannya di periode pertama berakhir.[21]
Restrukturisasi pusat militer Indonesia dan perluasan peran angkatan bersenjata dalam pemerintahan sipil telah dilakukan jauh sebelum DPR mengesahkan UU No. 3/2025. Berdasarkan laporan salah satu lembaga HAM, pada tahun 2023 ada sekitar 2.500 personel militer aktif yang menduduki posisi sipil secara ilegal.[22]
Jadi, tindakan DPR yang secara diam-diam mengesahkan amandemen undang-undang di awal tahun ini tidak mengubah bagaimana militer di Indonesia beroperasi—hanya melegalkannya. Sebagai imbalannya, para anggota dewan dihadiahi kenaikan tunjangan tahunan sebesar 35%. Sebuah insentif untuk memuluskan proyek besar pemusatan kekuasaan.
Dengan mendukung upaya politisi sipil memperkaya diri melalui posisi mereka di pemerintahan, Prabowo telah membentuk aliansi legislatif yang dapat membantunya dalam mencapai tiga hal: pengeluaran militer yang luar biasa besar, menjaga impunitas hukum bagi mereka yang berseragam dan memasukkan angkatan bersenjata ke dalam birokrasi sipil—mengembalikan Indonesia ke sistem pemerintahan di era Soeharto.
Meledaknya kemarahan publik di seluruh Indonesia seminggu belakang ini, bukanlah semata-mata karena tidak setuju melihat para politikus menghadiahi diri mereka dengan tunjangan yang berkali-kali lipat melebihi upah regional. Kemarahan masyarakat bersumber dari ketakutan yang dalam akan runtuhnya demokrasi yang telah lama diperjuangkan, sebab proses remiliterisasi yang sedang berlangsung telah membangkitkan ingatan akan Orde Baru Soeharto dan pemerintahan otoriter yang penuh dengan kekerasan kepada rakyat.
Sementara pemerintahan Prabowo menghabiskan miliaran dolar untuk pengadaan militer dan suap menyuap antar kawan politik demi memusatkan struktur kekuasaan baru di Kementerian Pertahanan, rakyat sudah bangkit untuk melawan penghancuran prinsip-prinsip demokrasi serta kembalinya kebijakan-kebijakan yang mencekik rakyat. Meski sekilas sepertinya tiap kelompok demonstran memiliki motivasi yang berbeda, namun pada hakikatnya mereka memiliki pertanyaan yang sama: mengapa pemerintah menghamburkan uang untuk melemahkan kekuatan sipil sementara ada kesejahteraan publik yang perlu ditingkatkan?
Ketika warga negara Indonesia turun ke jalan untuk menuntut jawaban atas pertanyaan tersebut, mereka justru dijawab dengan kekerasan oleh aparat yang seharusnya melindungi mereka. Di tengah kekerasan yang terjadi pada 28 Agustus, di mana polisi menembakkan gas air mata ke arah kerumunan dan memukuli pengunjuk rasa, sebuah kendaraan lapis baja Barracuda yang dikendarai oleh personel Brimob melaju kencang di tengah kerumunan dan menabrak Affan Kurniawan, pekerja ojek online yang tak bersenjata dan tak bersalah, yang malam itu mencoba mengantarkan makanan demi menghidupi keluarganya. Saat Affan tergeletak di atas aspal, terbaring tak bergerak di depan kendaraan baja seberat 12 ton, pengemudi sempat berhenti sebentar, seperti ragu—namun kemudian dengan kejamnya kembali melaju dan melindas tubuh Affan, menyeretnya hingga tewas.[23]
Baik pemerintah Indonesia maupun kepolisian hanya menawarkan permintaan maaf kosong kepada keluarga Affan dan seluruh rakyat Indonesia. Berjanji untuk melakukan pemeriksaan yang transparan terhadap pelaku dan akhirnya mengklaim bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk membela diri dari amukan massa; faktanya kendaraan tempur militer lapis baja tak akan semudah itu dapat ditembus demonstran, dan beredarnya rekaman audio di mana terdengar polisi menyuruh pengendara Barracuda untuk “tabrak aja.” Alih-alih meminta pertanggungjawaban mereka yang terlibat, Polri justru akan menempatkan mereka dalam “Penempatan Khusus” selama 20 hari, yang pada dasarnya sama saja dengan bertugas di kantor selama tiga minggu hingga situasi mereda.
Sementara itu, Kabid Humas Polri mengimbau kepada masyarakat untuk berhenti live streaming demodi media sosial, dan Komisi Penyiaran Indonesia telah melarang media massa menayangkan liputan protes yang mengandung “kekerasan berlebihan” atau yang dapat dianggap “provokatif, eksploitatif, atau memicu kemarahan publik.”
Di awal pemberitaannya, pemerintah dan media beberapa kali memilih menggunakan kata tertabrak daripada ditabrak untuk menggambarkan apa yang terjadi. Bentuk pasif dari “tertabrak mobil” yang menunjukkan penyebab yang tidak disengaja daripada ditabrak yang memiliki implikasi aktif dan disengaja. Sebuah pilihan kata untuk menghilangkan niat dan agensi di balik peristiwa pembunuhan Affan. Diksi yang dipilih tersebut tidak luput dari perhatian banyak orang Indonesia, karena rekaman video dengan jelas menunjukkan bahwa Affan ditabrak—bukan hanya sekali, tetapi dua kali.
Ribuan rekan ojol mengiringi jenazah Affan Kurniawan ke tempat peristirahatan terakhirnya pada 29 Agustus, sementara ribuan lainnya berkumpul untuk melakukan aksi unjuk rasa di luar Markas Brimob di Jakarta Pusat.[24] Pengunjuk rasa ditangkap dan jurnalis ditekan, dan media sosial diramaikan oleh tagar #PolisiPembunuh dan #JusticeForAffan, yang dengan cepat menjadi trending topic.[25]
Sementara itu di lapangan, Pasal 7 Undang-Undang No. 3/2025 dijadikan tameng untuk membenarkan dukungan militer terhadap polisi dalam meredam protes. Seiring dengan meningkatnya jumlah demonstran di berbagai daerah, koneksi internet berulang kali diputus untuk mencegah penyebaran informasi mengenai situasi di lapangan lewat sosial media.
Banyak pengguna di Instagram melaporkan bahwa akunnya mengalami shadow-banned, sehingga unggahan mereka tidak dapat dilihat akun lain, dan TikTok telah mengumumkan penangguhan semua fitur siaran langsung di Indonesia.[26] Pemerintah Indonesia mengaku tidak pernah mengarahkan TikTok untuk mengambil tindakan tersebut. Matinya fitur Tiktok live terjadi hanya dua hari setelah Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Ade Ary Syam Indradi, secara terbuka meminta para demonstran untuk tidak menggunakan layanan streaming langsung saat berunjuk rasa.[27]
Tapi ini bukan lagi tahun 1998 di mana pemerintah Indonesia dengan mudah dapat mengendalikan narasi tentang apa yang terjadi di Indonesia. Postingan media sosial terus menampilkan adegan-adegan brutal ketika pihak berwenang tanpa rasa malu merespons protes warga sipil dengan kekerasan.[28] Terlihat jelas adanya pergerakan militer, unjuk rasa untuk demokrasi Indonesia diwarnai dengan pertumpahan darah. Selama akhir pekan, di Jakarta saja sudah ada lebih dari 500 warga sipil tak bersenjata yang dirawat di rumah sakit akibat kebrutalan aparat, dan masih banyak lagi yang dianiaya oleh pasukan keamanan di seluruh negeri.[29]
Sementara itu, sedikitnya tujuh warga sipil tak berdosa telah dipastikan tewas dalam kekerasan tersebut, menurut laporan ada sekitar sebelas korban tewas sejauh ini. Syanhrina Wati, Syaiful Akbar, Muhammad “Abay” Akbar Basri, Rusmadiansyah, Sumari, Iko Juliant Junior, dan Rheza Sendy Pratama telah menyusul Affan Kurniawan, hidup mereka berakhir akibat kekerasan otoriter yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya melindungi rakyat.[30]
Sebagai tanggapan terhadap kerusuhan yang terjadi, pemerintah Indonesia menawarkan konsesi tak seberapa dan mengabaikan inti permasalahan. Beberapa anggota DPR telah diberhentikan sementara—hukuman yang pada dasarnya tidak lebih berat daripada yang diterima oleh mereka yang membunuh Affan Kurniawan.[31]
Partai-partai politik pun sepakat untuk mencabut beberapa fasilitas yang diberikan kepada anggota DPR di awal tahun ini, meskipun gaji mereka masih jauh lebih besar daripada gaji rata-rata pekerja Indonesia dan di atas gaji anggota parlemen di negara-negara Asia Tenggara lainnya.[32]
Namun, konsensi-konsensi tersebut jauh melenceng dari apa yang dituntut masyarakat, dan dibarengi oleh perintah dari Prabowo agar polisi dan militer “mengambil tindakan sekeras-kerasnya” terhadap apa yang disebutnya “subversi dan terorisme”—seruan untuk melakukan kekerasan guna menekan tindakan makar.[33] Pada akhirnya, semua ini hanyalah upaya kecil untuk menenangkan rakyat, hanya menawarkan sebagian kecil dari apa yang dipertaruhkan—seperti mengobati tumor dengan cara diperban.
Pertanyaannya adalah—akankah rakyat Indonesia menerima isyarat simbolis yang dibumbui ancaman dari pemerintahan Prabowo ini dan membiarkan kanker militerisme terus berkembang hingga kematian demokrasi Indonesia hampir dapat dipastikan? Akankah ini menjadi “keadilan” bagi Affan Kurniawan dan korban lainnya yang telah mewarnai jalanan dengan darah mereka selama aksi protes berlangsung? Atau akankah Affan Kurniawan dan mereka yang dibunuh oleh tangan otoriter menjadi martir untuk sesuatu yang lebih besar bagi bangsa Indonesia? Akankah ini menjadi katalisator yang akan menyembuhkan pemerintahan Indonesia dan mendorong mereka untuk mencabut Undang-Undang No. 3/2025? Sementara warga sipil terus turun ke jalan menghadapi kebrutalan polisi dan kekerasan militer, dunia mengamati dan menunggu untuk melihat apakah manusia masih memiliki hak di Indonesia yang dipimpin Prabowo Subianto.
Christopher Hulshof adalah sejarawan di Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, aktif pada lembaga kajian Asia Tenggara GETSEA (The Graduate Education and Training in Southeast Asia Studies) dan anggota dewan pada Society for Historians of American Foreign Relations (SHAFR). Ia dapat dihubungi via chulshof@wisc.edu.
Artikel ini sebelumnya ditulis dalam Bahasa Inggris untuk Justice in Translation dengan judul Justice for Affan Kurniawan: The First Civilian Casualties of the Remilitarization of Indonesia. Floresa memuat versi Bahasa Indonesia artikel ini atas izin penulis.
Editor: Ryan Dagur
[1] Niniek Karmini and Achmad Ibrahim, “Riot police clash with students protesting lawmakers’ allowances in Indonesia,” AP, 25 August 2025, https://apnews.com/article/indonesia-student-protest-parliament-49e31c7074aab8375aec06143f6b2edc.
[2] Anastasya Lavenia Yudi, “DPR Members’ Monthly Earnings Could Reach Rp230 Million, Says Fitra,” Tempo, 25 August 2025, https://en.tempo.co/read/2042830/dpr-members-monthly-earnings-could-reach-rp230-million-says-fitra.
[3] “Indonesia’s Prabowo announces record US$5.21b education budget, 100% salary hike for public school teachers,” Channel News Asia, 29 November 2024, https://www.channelnewsasia.com/asia/indonesia-prabowo-teachers-salary-increase-budget-welfare-education-4777466.
[4] “Indonesian Food Inflation,” Trading Economics, https://tradingeconomics.com/indonesia/food-inflation.
[5] Aboedprijadi Santoso, “What ever happened in Kraras, Timor Leste, ‘Pak’ Prabowo?,” The Jakarta Post, 20 December 2013, https://www.thejakartapost.com/news/2013/12/20/what-ever-happened-kraras-timor-leste-pak-prabowo.html; Gerry Van Klinken, “Prabowo and human rights,” Inside Indonesia, 27 April 2014, https://www.insideindonesia.org/editions/elections-2014/prabowo-and-human-rights.
[6] Jose Manuel Tesoro, “The Scapegoat? Among Questions that should have been asked: Was Prabowo Subianto truly the single ‘mastermind’?” Asia Now, 3 March 2000, https://www.cnn.com/ASIANOW/asiaweek/magazine/2000/0303/cover1.html.
[7] “With green camo and combat boots, Indonesia’s new cabinet kicks off army retreat,” Reuters, 25 October 2024, https://www.reuters.com/world/asia-pacific/with-green-camo-combat-boots-indonesias-new-cabinet-kicks-off-army-retreat-2024-10-25/.
[8] “Civil Society Coalition slams rushed, secret TNI Law discussions at 5-star hotel,” CNN Indonesia, 15 March 2025, https://www.asia-pacific-solidarity.net/news/2025-03-15/civil-society-coalition-slams-rushed-secret-tni-law-discussions-5-star-hotel.html.
[9] Tria Dianti, “EXPLAINED: Why proposed revisions to Indonesia’s military law alarm democracy activists,” Benar News, 17 March 2025, https://www.benarnews.org/english/news/indonesian/why-military-law-revisions-alarm-democracy-activists-03172025142823.html.
[10] “New Indonesian Military Law sparks concerns about human rights and democracy,” Human Rights Monitor, 20 March 2025, https://humanrightsmonitor.org/news/new-indonesian-military-law-sparks-concerns-about-human-rights-and-democracy/.
[11] 14 lembaga dimana personil militer diperbolehkan untuk terlibat aktif diantaranya: kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.
[12] “Indonesia: Proposed Military Law Amendments Threaten Rights,” Human Rights Watch, 19 March 2025, https://www.hrw.org/news/2025/03/19/indonesia-proposed-military-law-amendments-threaten-rights?utm_source=chatgpt.com.
[13] “APHR Denounces Indonesia’s Police Clearance Rule for Foreign Journalists as a Grave Threat to Press Freedom,” ASEAN Parliamentarians for Human Rights, 4 April 2025, https://aseanmp.org/publications/post/aphr-denounces-indonesias-police-clearance-rule-for-foreign-journalists-as-a-grave-threat-to-press-freedom/.
[14] “IPAC Report No. 87: Civil-Military Relations in Indonesia After Jokowi,” Institute for Policy analysis of Conflict, 17 July 2023, https://understandingconflict.sgp1.digitaloceanspaces.com/dashboard/0fcbb118a3da12db27a600506bda588b.pdf.
[15] Monty Pounder, “Commentary: Indonesia is making big moves to modernize its military – but can it sustain the shift?” Channel News Asia, 11 April 2025, https://www.channelnewsasia.com/commentary/indonesia-prabowo-military-tech-arms-upgrade-naval-air-power-5056951
[16] Kiki Siregar, “Jets from France, missile from turkey: Indonesia races to renew ageing military hardware,” Channel News Asia, 6 December 2022, https://www.channelnewsasia.com/asia/indonesia-ageing-military-equipment-turkey-missiles-us-f15-3122611.
[17] “Indonesia Deploys KHAN Ballistic Missiles: Southeast Asia’s Missile Race Begins,” Defence Security Asia, 4 August 2025, https://defencesecurityasia.com/en/indonesia-khan-ballistic-missile-southeast-asia-missile-race/; Ericssen, “Indonesia’s ballistic missile deployment, a first in Southeast Asia, could shift regional power balance,” Channel News Asia, 11 August 2025, https://www.channelnewsasia.com/asia/indonesia-turkey-ballistic-missile-khan-arms-race-southeast-asia-5287311.
[18] Giffar Rivana, Heru Andriyanto, “Indonesian Army to Establish Five New Region Commands,” Jakarta Globe, 5 February 2025, https://jakartaglobe.id/news/indonesian-army-to-establish-five-new-regional-commands.
[19] Virdika Rizky Utama, “What does the military’s new regional command structure mean for Indonesia?” Indonesia at Melbourne, 22 March 2024, https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/what-does-the-militarys-new-regional-command-structure-mean-for-indonesia/.
[20] “Prabowo launches 6 new regional army commands in major military shake-up,” Channel News Asia, 11 August 2025, https://www.channelnewsasia.com/asia/indonesia-prabowo-subianto-military-restructuring-deputy-commander-army-5288486.
[21] Kate Lamb and Ben Doherty, “In Prabowo’s Indonesia, the military is quietly creeping back into civilian life,” The Guardian, 27 August 2025, https://www.theguardian.com/world/2025/aug/28/indonesia-president-prabowo-subianto-military-civilian-affairs.
[22] “Rights watchdog reveals around 2,500 active TNI officers in civilian posts,” CNN Indonesia, 4 March 2025, https://www.indoleft.org/news/2025-03-04/rights-watchdog-reveals-around-2500-active-tni-officers-in-civilian-posts.html.
[23] Rekaman video bagaimana Affan Kurniawan dibunuh aparat telah dibagikan secara luas di media sosial. https://www.instagram.com/reel/DN58LcpAfZE/?igsh=MWNoNHF5eTU2bTJxMg%3D%3D; https://www.instagram.com/p/DN590gJEiJl/; https://x.com/hobinyaNgayal/status/1961256540809449682.
[24] https://www.instagram.com/p/DN7KoGEEnqU/; https://www.instagram.com/p/DN7tMJ6kd31/; https://www.instagram.com/p/DN7tMJ6kd31/; https://x.com/ilhampid/status/1961301457635844228.
[25]https://x.com/hashtag/PolisiPembunuh; https://x.com/hashtag/JusticeForAffan; https://www.instagram.com/explore/search/keyword/?q=%23justiceforaffan; https://www.instagram.com/explore/search/keyword/?q=%23polisipembunuh
[26] “TikTok says live feature temporarily suspended in Indonesia over protests,” The Jakarta Post, 31 August 2025, https://www.thejakartapost.com/indonesia/2025/08/31/tiktok-says-live-feature-temporarily-suspended-in-indonesia-over-protests.html.
[27] https://www.instagram.com/reel/DN3fwGfZEFE/?igsh=aGcxOGF2M2h4dm1w.
[28] https://www.reddit.com/r/TheDeprogram/comments/1n4xjh9/indonesian_state_police_are_executing_protesters/.
[29] Vedro Imanual Girsang, “Over 500 Protesters Injured During Week-Long Jakarta Demonstrations,” Tempo, 31 August 2025, https://en.tempo.co/read/2044878/over-500-protesters-injured-during-week-long-jakarta-demonstrations.
[30] “Tujuh Orang Tewas dalam Demonstrasi Agustus 2025, Siapa Saja Mereka?,” Tempo, 1 September 2025, https://www.tempo.co/politik/tujuh-orang-tewas-dalam-demonstrasi-agustus-2025-siapa-saja-mereka–2065432; Willy Widianto, “Mahasiswa Unnes Tewas Penuh Luka Lebam, Sempat Mengigau ‘Ampun Pak Jangan Pukul’,” Tribune News, 1 September 2025, https://m.tribunnews.com/amp/regional/2025/09/01/mahasiswa-unnes-tewas-penuh-luka-lebam-sempat-mengigau-ampun-pak-jangan-pukul; Prada, “Old Playbook Trick: ‘Ghost of Foreign Stooge’, and Foreign Investor [Literally] to pull out money,” Substack, 1 September 2025, https://prada.substack.com/p/old-playbook-trick-ghost-of-foreign.
[31] Eka Yudha Saputra, “Indonesia’s PAN Suspends Two Members from DPR After Taunting Citizens,” Tempo 31 August 2025, https://en.tempo.co/read/2044838/indonesias-pan-suspends-two-members-from-dpr-after-taunting-citizens.
[32] Stefanno Sulaiman and Gayatri Suroyo, “Deadly Indonesian protests force U-Turn on lawmakers’ perks,” Reuters, 31 August 2025, https://www.reuters.com/world/asia-pacific/deadly-indonesia-protests-force-u-turn-lawmakers-perks-2025-08-31/.
[33] “Indonesia unrest: Prabowo says parliament to remove controversial perks for MPs, suspend errant lawmakers,” Channel News Asia, 31 August 2025, https://www.channelnewsasia.com/asia/indonesia-prabowo-subianto-revoke-allowance-protests-5324956.