Oleh: Andreas Maurenis Putra
Demonstrasi adalah detak jantung demokrasi, denyut nadi opini publik. Terkadang, ia menjadi sebuah kesempatan untuk melepaskan akumulasi kemarahan. Demonstrasi telah ada sejak awal peradaban, bermula dari protes masyarakat Yunani kuno terhadap tirani hingga demonstrasi hak-hak sipil pada tahun 1960-an. Melalui demonstrasi, masyarakat menemukan cara untuk menyuarakan pendapat.
Beberapa hari ini demonstrasi terjadi di Jakarta dan berbagai kota lain, termasuk di NTT. Pemicunya jelas: saat rakyat menghadapi kesusahan, para wakil rakyat justru menikmati privilese berlebihan lewat berbagai tunjangan yang tak masuk akal.
Untuk tunjangan perumahan anggota DPR RI Rp50 juta per bulan saja hampir setara dengan pendapatan sembilan bulan untuk pekerja dengan gaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP) Rp5,39 juta di Jakarta. Untuk di wilayah NTT yang UMP-nya standar Rp2,3 juta, maka setara gaji 21 bulan.
Kebijakan itu memicu protes karena terjadi di tengah pengurangan subsidi, terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, meningkatnya pengangguran, harga kebutuhan hidup yang melonjak dan kenaikan pajak tanah. Kontras ini kemudian menyulut rakyat untuk turun ke jalan.
John Stuart Mill melalui “On Liberty” (1859) mengatakan tindakan mengungkapkan perbedaan pendapat bukan sekadar hak. Ini adalah bagian penting dari masyarakat yang sehat. Mill berpendapat bahwa kebebasan berekspresi memungkinkan terjadinya benturan ide, sehingga menghasilkan masyarakat yang lebih terinformasi dan, pada akhirnya, pemerintahan yang lebih baik. Teriakan demonstran di jalan adalah manifestasi dari ketidakpuasan kolektif, sebuah sinyal bahwa ada sesuatu yang salah dalam pemerintahan kita.
Para pemimpin politik kita sering kali mendapati diri mereka berada dalam sebuah lingkaran administratif, dikelilingi oleh para penasihat dan orang-orang yang selalu memberi tahu apa yang ingin mereka dengar. Hal ini dapat menyebabkan terputusnya hubungan antara pemimpin (politisi) dan orang-orang yang seharusnya mereka layani (rakyat).
Hannah Arendt dalam “The Human Condition” (1958) mengemukakan bahwa tindakan keterlibatan politik sangat penting baik bagi individu maupun masyarakat. Ketika para pemimpin gagal berinteraksi dengan konstituennya, mereka berisiko kehilangan kontak, sehingga menimbulkan jurang yang hanya bisa dijembatani, salah satunya, dengan pesan demonstrasi yang tegas dan jelas.
Secara filosofis, terutama dalam “The Social Contract” (1762), Jean-Jacques Rousseau mengatakan bahwa otoritas politik yang sah berasal dari persetujuan orang yang diperintah. Jika suatu pemerintahan tidak memenuhi keinginan rakyatnya, maka ia akan kehilangan legitimasinya.
Demonstrasi, dalam hal ini, tidak hanya menjadi aksi pemberontakan tetapi juga aksi re-aklamasi. Hal ini merupakan cara masyarakat mengingatkan pemimpin akan kontrak sosial yang mengikat mereka.
Filsuf politik Judith Butler mengafirmasi dalam “Frames of War” (2004) bahwa demonstrasi dapat menantang kerangka pemikiran kita dalam memandang isu-isu politik. Demonstrasi menantang “kondisi yang ada” dan memaksa para pemimpin untuk menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan.
Ketika masyarakat turun ke jalan, mereka tidak hanya meminta perubahan. Mereka membentuk kembali narasi seputar apa yang mungkin terjadi. Ini adalah momen penting untuk introspeksi bagi pemimpin mana pun. Ini adalah kesempatan untuk menilai kembali nilai-nilai, prioritas, dan, tentu saja, rasa kemanusiaan mereka dalam konteks sosial politik yang lebih luas.
Demonstrasi juga mengingatkan tentang makna kekuatan tindakan kolektif. Ada sesuatu yang menarik ketika menjadi bagian dari kerumunan, merasakan energi dari tujuan bersama.
Menurut sosiolog Charles Tilly dalam “Social Movements” (2004), aksi kolektif merupakan elemen penting dalam gerakan sosial. Ketika massa berkumpul, mereka akan memperkuat suara mereka dan memberi pilihan yang sulit bagi para pemimpin politik untuk mengabaikan mereka. Kekuatan kolektif ini dapat membawa perubahan nyata.
Contoh konkretnya dapat dilihat dalam Revolusi Perancis pada 1789. Teriakan orang-orang yang kehilangan haknya berujung pada penggulingan monarki absolut. Kita bisa merujuk pada contoh lain dalam gerakan hak-hak sipil simbol dari dorongan akar rumput melawan ketidakadilan sistemik di Amerika Serikat pada 1963. Dan, tentu saja, gerakan mahasiswa pada 1998 yang menggulingkan pemerintahan Soeharto, yang memberi peta reformasi dalam pemerintahan Indonesia selanjutnya.
Gema sejarah ini mengingatkan para pemimpin di Indonesia bahwa demonstrasi bukanlah fenomena yang bisa diabaikan begitu saja. Ia merupakan bukti semangat kolektif mencari keadilan dan kesetaraan.
Introspeksi Diri Pemimpin Politik
Meskipun dapat membawa perubahan, demonstrasi juga memerlukan tanggapan dari para pemimpin. Mengabaikan seruan perubahan dapat menyebabkan keresahan lebih lanjut dan rusaknya kepercayaan. Di dunia di mana media sosial memperkuat setiap teriakan, para pemimpin tidak bisa berdiam diri. Mereka perlu terlibat, mendengarkan, dan, paling penting, merefleksikan dampak suara-suara protes ini bagi legitimasi kepemimpinan mereka.
Lantas, bagaimana para pemimpin politik bisa menggunakan demonstrasi sebagai alat introspeksi?
Ini dimulai dengan empati. Dalam “The Emphaty Exams” (2014), Leslie Jamison menulis tentang pentingnya memahami pengalaman orang lain. Bagi para pemimpin, ini berarti keluar dari zona nyaman dan benar-benar mendengarkan suara konstituen.
Dengan kata lain, ada kesediaan mengakui rasa sakit dan frustrasi yang sering memicu demonstrasi dan menggunakan pemahaman tersebut untuk mendasari kebijakan dan keputusan politik.
Empati bukan sekadar kata kunci yang menyenangkan, tetapi lebih dari itu, adalah kebutuhan politik. Ketika para pemimpin berempati terhadap pengalaman penderitaan rakyat, mereka dapat membuat kebijakan yang mencerminkan kebutuhan rakyat. Tentu hal ini tidak berarti bahwa mereka akan selalu setuju dengan setiap wacana demonstran, namun dengan cara ini politisi akan menghadapi situasi dengan pikiran terbuka dan kemauan untuk belajar dan berubah.
Demonstrasi menantang politisi untuk menghadapi bias, asumsi, dan keterputusan mereka sendiri dari rakyat. Pertanyaannya, apakah para pemimpin mau mendengarkan? Apakah mereka siap untuk melihat ke cermin dan bertanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya dikatakan oleh konstituen mereka? Apakah mereka siap untuk melakukan introspeksi tersebut atau akankah mereka terus hidup dalam lanskap politik yang menguntungkan mereka?
Suara-suara protes yang menggema di jalanan, di depan gedung-gedung pemerintahan, dan di ruang publik lainnya bukan sekadar hiruk-pikuk suara yang menuntut perhatian. Mereka adalah bagian penting dari proses demokrasi. Hal ini memaksa para pemimpin politik untuk melakukan refleksi, terlibat, dan bertindak.
Demonstrasi jangan hanya dianggap sebagai sekelompok orang yang membuat keributan atau ulah mahasiswa gamang. Demonstrasi harus juga dibaca sebagai pengingat bahwa pemimpin harus tetap terhubung dengan orang-orang yang mereka layani. Karena pada akhirnya, demokrasi bukan sekedar tentang pemungutan suara, tetapi soal suara-suara setelahnya. Dan, suara-suara itu akan selalu lebih keras dari sebelumnya saat para pemimpin berkhianat terhadap rakyat.
Andreas Maurenis Putra adalah lulusan Fakultas Filsafat Unika Parahyangan, Bandung. Ia berasal dari Maumere, kini tinggal di Bandung sebagai pekerja swasta dan praktisi pendidikan
Editor: Ryan Dagur