Oleh: ERICK EBOT
Masuknya para pemilik modal (kaum kapitalis) telah banyak mengubah wajah Labuan Bajo. Ya, ibukota Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) ini telah menjelma menjadi kota destinasi wisata, tempat para turis lokal dan internasional mengisi waktu liburan. Di bawah terik matahari di Labuan Bajo, Anda tidak akan pernah absen bertemu dengan para turis yang lalu lalang. Memang kota ini telah berkembang pesat menjadi kota penuh pesona, apalagi dengan keberadaan objek pariwisata alam yang sedap dipandang. Kemajuan dan perkembangan Labuan Bajo, membuatnya kerap dianggap sebagai “Bali kedua”-nya Indonesia.
Namun di tengah capaian yang melahirkan decak kagum ini, hari-hari ini kita dihebohkan dengan polemik yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat. Polemik ini dipicu oleh surat perintah dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) untuk menyerahkan pengelolaan Pantai Pede – salah satu pantai eksotis di Labuan Bajo – ke pihak swasta. Kebijakan ini sontak mendapat penolakan dari kaum muda di Mabar. Penolakan ini didasarkan pada fakta bahwa hampir semua tempat wisata di Labuan Bajo sudah dikapling oleh kaum berduit dan warga telah kehilangan keleluasan untuk menikmati keindahan tempat wisata yang dulunya jadi kebangaan dan tempat bermain. Ramses Lalongkoe dari komunitas Institut Lintas Studi, dalam audensinya dengan Bupati Agus C. Dulla menegaskan, sudah tidak ada ruang publik di Labuan Bajo, (Floresa.co 17/12/2014). Yang tersisah hingga kini, hanya Pantai Pede.
Usaha mereka menentang kebijakan pemerintah terus mendapat perhatian publik. Berita perjuangan kaum muda Mabar melawan usaha privatisasi Pantai Pede seperti terungkap dalam slogan “Save Pede”. menarik perhatian Netizen dengan beragama kreativitas. Salah satunya adalah lewat munculnya lagu Save Pede. Lagu ini yang dinyanyikan oleh Gaspar Raja menunjukkan refleksi tentang pentingnya Pantai Pede bagi masyarakat Mabar kini dan nanti.
Sebagai sesama warga Manggarai, perkembangan Mabar turut membanggakan hati saya. Kota ini sudah begitu banyak mengalami kemajuan. Secara fisik, kita dapat saksikan dalam banyak fakta empiris seperti dibangunnya pelabuhan yang bagus, bandara, jalan dengan dua jalur, serta bangunan-bangunan yang sedap dipandang mata. Semua hasil pembangunan ini terlihat menjanjikan masa depan kota ini.
Namun, di tengah potret kemajuan ini, apakah Mabar bisa tetap maju tanpa menempatkan masyarakat lokal sebagai mitra, serentak tujuan pembangunan itu sendiri? Tentu mustahil! Mabar merupakan bagian dari Indonesia yang mengedepankan demokrasi sebagai landasan pembangunannya, maka tidak bisa dipungkiri pengembangan pariwisata sudah sepatutnya diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan bersama, bukan malah sebaliknya
Revolusi Mental: Gagal di Tangan Dulla
Floresa. co menurunkan berita terakhir tentang perkembangan polemik Pede dan menyoroti disposisi kepentingan Bupati Agustinus Ch Dulla menjelang akhir masa jabatannya serta sikap Dulla yang “mencuci tangan” terhadap polemik ini. Ia berdalih, Pantai Pede adalah aset provinsi dan tetap bersikukuh menyerahkannya ke pihak swasta. Respon Dulla pada dasarnya terlalu menyederhanakan persoalan dan sungguh mencerminkan gambaran pemimpin kita yang kebanyakan sering kebingungan, tidak bertanggung jawab dan tidak responsif terhadap kepentingan rakyat. Sebagai pemimpin, seharusnya ia pertama-tama berusaha memenuhi keinginan rakyat, bukan sebaliknya: lepas tangan, lalu persoalan dianggap selesai. Dulla tidak ingin kehilangan simpati politik dari Gubernur Lebu Raya sebagai penanggung jawab PDI Perjuangan di NTT. Dengan menginstrumentalisasi Pantai Pede sebagai alat barter, Dulla akan mendapatkan dukungan dari partai PDI Peruangan pada Pilkada 2015, demikian menurut analisis Yosef Sampurna Nggarang, Ketua Hipmmabar (Floresa.co, Sabtu (20/12/2014)).
Analisis Yosef ini bisa membuka tabir terkait alasan sikap cuci tangan Dulla. Ya, umumnya seperti itulah mental kebanyakan pejabat di NTT, mencari aman demi posisi dan kepentingan pragmatis. Mereka kerap menyebar harapan palsu, sebagaimana juga ditunjukkan Dulla, di mana sebelumnya ia menyatakan berada bersama rakyat menolak privatisasi Pantai Pede. Mereka tidak pernah bosan melukai hati rakyat demi prinsip Asal Bapak Senang (ABS). Revolusi mental memang belum sepenuhnya menginspirasi pejabat-pejabat kita.
Presiden Jokowi jauh-jauh hari menetapkan revolusi mental sebagai langkah awal menuju Indonesia yang lebih sejahtera. Ia sangat berharap, para pejabat yang turut mengambil bagian dan mendukung pemerintahannya menjadikan revolusi mental sebagai titik tolak bersama memajukan Indonesia. Dengan jelas, Jokowi memaparkan bahwa sasaran revolusi mental itu terarah kepada perubahan pola pikir, birokrasi/struktur yang tidak bertele-tele serta kultur dan budaya bertanggung jawab, kebersamaan dan gotong royong. Tiga sasaran ini lantas ditegaskan oleh Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi (Okezone, 1 Desember 2014). Yuddy berjanji untuk menindak tegas para aparatur negara yang tidak disiplin dan tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Ia juga berjanji untuk memutasi, memberhentikan pemberian tunjangan serta memberikan sanksi yang berujung efek jera.
Demokrasi Pariwisata
Apa yang terjadi di Mabar menunjukkan matinya tujuan revolusi mental bagi para aparatur negara di NTT, khususnya Bupati Dulla. Kita tidak bisa mengharapkan pejabat yang sudah mati nurani untuk mewujudkan kebaikan bersama dan menyelamatkan Pantai Pede. Karena itu, saatnya kaum muda turun untuk merevolusi mental masyarakat dan memberi kesadaran tentang kenyataan riskan dan fatal jika Pantai Pede diprivatisasi. Revolusi mental yang dilakukan kaum muda ini juga menjadi inspirasi bagi masyarakat NTT, lebih khusus kaum muda seluruhnya untuk senantiasa berjuang menumbuhkan dan mengikat solidaritas dalam masyarakat. Fakta meningkatnya kejahatan yang dilakukan pejabat di NTT, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, terjadi karena masyarakat tidak mau bersuara atau melakukan pembiaran terhadap kebejatan para pejabat.
Richard Rorty, filsuf kenamaan asal Amerika menegaskan pentingnya warga negara menjalin solidaritas karena dalam solidaritas itu terletak kekuasaan yang tak dapat mati, kekuasaan yang mempunyai daya transformasi bagi kebaikan dan kesejahteraan bersama, termasuk daya untuk merevolusi mental para pejabat agar lebih menjadi pelayan publik yang bertanggung jawab dan berintegritas.
Selain aksi solidaritas, demokrasi pariwisata adalah tujuan utama aksi mereka. Demokrasi pariwisata adalah sebuah usaha untuk melawan kapitalisme kepariwisataan yang saat ini sedang terjadi di NTT, lebih khusus di Flores. Kapitalisme kepariwisataan pada dasarnya merupakan usaha dari para kaum kapitalis untuk membangun kerajaan bisnis dan kepentingan di satu tempat pariwisata sekaligus merampok hak milik masyarakat. Akibat logis dari adanya tindakan ini adalah masyarakat mengalami alienasi terhadap tempat yang seharusnya dimiliki oleh mereka sendiri. Persoalan kapitalisme kepariwisataan tidak hanya tentang alienasi namun mengerucut kepada aksi penindasan dan kekerasan terhadap hak hidup dan ekspresi daya kreatif masyarakat sekitar daerah wisata. Kehadiran para kaum kapitalis dengan produk yang bermutu dan menarik praktisnya menyisihkan produk lokal yang dibuat oleh Masyarakat. Bukan tidak mungkin bahwa kenyataan ini lantas menjalar kepada hilangnya local capital (kearifan lokal masyarakat), yang sebenarnya lebih menjanjikan daya tarik tersendiri untuk para wisatawan yang datang mengunjungi Mabar.
Gerakan kaum muda di Mabar dan demokrasi pariwisata mestinya jadi alternatif bagi pemerintah untuk tidak meluluh menunggu kaum kapitalis menjamah dan memajukan pariwisata. Kaum muda Mabar berani menantang kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat dan mencetuskan usaha mendemokrasikan pariwisata. Dengan perjuangan dan usaha demokrasi pariwisata ini, mereka dengan demikian diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk menghidupkan kembali kearifan lokal serta menjadikan kekayaan budaya sebagai sebuah terobosan dan strategi kepariwisataan Mabar. Saya percaya, kaum muda Mabar pasti dapat berbuat banyak untuk keindahan, kelestarian Pantai Pede dan menjadikannya sebagai pusat pariwisata yang berbasiskan kearifan lokal.
Erick Ebot adalah calon imam Serikat Sabda Allah (SVD). Alumnus Seminari Pius XII Kisol ini sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Manila, Filipina