Floresa.co – Penyelenggaraan Tour de Flores meninggalkan pro kontra.
Usai kegiatan ini, sebagian pihak terutama pemerintah pusat, Pemprov dan Event Organizer (EO), sangat optimistis dengan hasil event bernilai milliaran rupiah tersebut. Pariwisata Flores di mata dunia menjadi semakin terkenal. Hal itu membawa manfaat bagi ekonomi masyarakat Flores.
Sebagian pihak, Pemda dan sebagian masyarakat masih ragu dan mempertanyakan penyelenggaraan TdF. TdF dinilai memboroskan anggaran senilai Rp 32 milliar di tengah kebutuhan di sektor lain yang lebih mendesak seperti pendidikan dan kesehatan.
Apalagi tidak ada yang menjamin hasilnya akan positif, jika persoalan politik di tingkat lokal masih berurat akar seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi biang dari kegagalan setiap upaya pembangunan selama ini.
Di atas semua perdebatan itu, gambaran yang pasti bahwa masyarakat tidak lagi melihat kebijakan atau program pemerintah secara taken for granted. Tidak mempercayai begitu saja bahwa setiap pembangunan dapat membawa kebaikan. Sebaliknya, mampu menunjukkan paradoks pembangunan.
Ini tentu saja pertanda baik dalam demokrasi yang dimungkinkan dengan pengaruh perkembangan teknologi seperti media sosial. Bahwa semua orang boleh mempertanyakan dan memperdebatkan dengan caranya masing-masing.
Di satu pihak, sebagaimana alas berpikir pemerintah pusat, kita tentunya berharap bahwa pariwisata sebagai leading sector di NTT mampu memberdayakan sektor lain, di antaranya sektor pertanian dan peternakan yang digeluti mayoritas penduduk, mampu membawa kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Bahkan lebih mendesaknya, memulihkan citra NTT sebagai provinsi termiskin.
Sejalan dengan itu, kita tentu sulit menyangsikan bahwa NTT adalah daerah pariwisata. Dengan keindahan alam dan kekayaan budaya yang dimiliki, cepat atau lambat, NTT tentu saja dikunjungi masyarakat dunia. Apalagi di era globalisasi dengan bantuan kecanggihan teknologi, transfer informasi lintas dunia sudah semakin mudah.
Dengan kata lain, kalau dipikir-pikir, tanpa promosi yang masif dan berbiaya mahal pun, pariwisata Flores, cepat atau lambat tetap bersinar di mata dunia.
Bagaimana bisa? Bayangkan saja, kunjungan tiap tahun di Taman Nasional Komodo mencapai 80 ribu wisatawan. Mereka sudah bisa menjadi agen “pengiklan” Flores di mata dunia.
Fakta menarik lain, Flores dengan penduduk mayoritas Katolik dikenal sebagai negara pengirim misionaris terbesar di dunia. Para misionaris dikirim ke berbagai negara di penjuru dunia. Dalam satu dan lain cara, mereka tentunya mempromosikan Flores. Dengan lebih utuh, melampaui rumusan “5 W+1 H” ala dunia jurnalistik.
Jadi, tak perlu cemas sebenarnya soal, apakah Flores sebagai daerah yang penuh dengan keindahan dikenal atau tidak di mata dunia. Tanpa terburu-buru pun, pastinya iya. Itulah pariwisata per se.
Persoalannya, mengapa promosi keindahan Flores itu terkesan “terburu-buru” seperti sekarang ini? Apakah masyarakat inginkan Flores begitu terkenal di mata dunia?
Bukan rahasia lagi kita sedang mengejar target penerimaan pendapatan. Kita sedang mengejar pertumbuhan ekonomi. Di tahun 2019, target kunjungan wisatawan mencapai 500.000 wisatawan dengan perkiraan pemasukan devisa sekitar 6 trilliun.
Soal yang lebih penting adalah bagaimana target itu dicapai. Karena itu, perlu mendatangkan investor dengan kapital besar sebanyak-banyaknya karena merekalah yang paling mungkin memenuhi target tersebut.
Tidak lagi peduli, soal seberapa pasti itu akan menggerakan ekonomi masyarakat lokal. Tidak lagi peduli soal apakah manfaatnya akan terbagi merata dan memenuhi cita rasa keadilan atau tidak. Yang dikejar hanyalah pertumbuhan ekonomi.
Konsekuensinya pula, persoalan kemiskinan dilihat secara tidak utuh. Kemiskinan hanya dipandang sebagai kondisi kekurangan, prasyarat adanya bantuan demi bantuan. Tidak digali alasan, mengapa rakyat miskin, apa saja variabelnya, dan lain-lain.
Dari cara berpikir demikian, pariwisata seperti sekarang ini lebih mencerminkan upaya pencaplokan sumber daya publik seperti pesisir, pulau-pulau, tanah, laut dan pantai agar mampu memenuhi target pencapaian pemerintah.
Pelakunya tak lain adalah investor berskala besar. Hanya mereka dengan kemampuan kapitalnya mampu “mengeksploitasi” sumber daya pesisir, pulau-pulau, tanah, laut dan pantai menghasilkan keuntungan yang lebih besar.
Dalam konteks itu, dua promosi akbar seperti Sail Komodo pada 2013 lalu dan Tour De Flores layak dipertanyakan. Sementara manfaatnya langsung dirasakan para investor pemilik hotel, restoran, dan industri pariwisata, masyarakat hanya menanti manfaat tidak langsung dalam batas waktu yang tidak ditentukan.
Dari pengalaman Sail Komodo yang menelan anggaran Rp 3,7 trilliun, terdapat gambaran paradoks. Hotel-hotel boleh mendapat untung atas pesatnya kunjungan wisatawan, sementara masyarakat masih berhadapan dengan buruknya penyediaan fasilitas air minum bersih, rumah sakit, pendidikan, dan infrastruktur jalan dan jembatan.
Maka, di tengah gaung acara promosi Tour de Flores, masyarakat mulai berwacana dalam kaca mata ekonomi-politik. Antara lain mulai menganalisis aktor-aktor dalam EO kegiatan ini, keterlibatan investor, motif-motif di baliknya, penyerapan anggaran kegiatan, dan target atau ukuran manfaat bagi masyarakat. Tidak begitu saja mempercayai janji manis pembangunan sektor pariwisata.
Di balik pro kontra Tour de Flores, kita menemukan masyarakat yang sedang menggugat tipu daya di balik apa yang selama kita selalu kita andaikan begitu saja sebagai bagian dari pembangunan! (Redaksi Floresa)