Kasih dalam Kebenaran: Pesan Paus Benediktus XVI di Tengah Kisruh HGU Nangahale

Tulisan ini menanggapi artikel yang dipublikasi Floresa berjudul “Tidak Perlu Bicara Cinta Kasih di Nangahale?”

Oleh: Hendrikus Pedro

Saya terkesima membaca judul opini yang diterbitkan Floresa pada 2 April, berjudul Tidak Perlu Bicara Cinta Kasih di Nangahale? 

Saya membaca dan mencermati baris demi baris opini ini hingga kata terakhir. 

Tulisan ini menarik, bukan hanya isinya, tetapi terutama langgam bahasa dan cara penulis memainkan frase-frase hukum untuk ditabrakan dengan nilai-nilai kristiani. 

Ulasan itu cukup menggiring opini publik untuk berkesimpulan bahwa dalam kisruh di Nangahale, Gereja Keuskupan Maumere secara terang-terangan melakukan tindakan melanggar hukum cinta kasih yang sering dikhotbahkan dari mimbar gereja.

Penulis opini tampak merasa bertanggung jawab “memfasilitasi” komentar-komentar di berbagai platform media sosial yang menyudutkan lembaga Keuskupan Maumere, PT Krisrama, serta para imam dan awam yang mengambil bagian dalam penyelesaian kisruh ini.

Sayangnya, dari seharusnya memberi pencerahan, opini itu justru memainkan isu cinta kasih sambil bersandar pada klaim-klaim yang tidak berdasar.

Kasih dalam Kebenaran

Saya menanggapi artikel itu dengan mengajak kita mendengarkan suara Paus Benediktus XVI melalui ensiklik Caritas in Veritate atau Kasih dalam Kebenaran.

Ensiklik itu merupakan Ajaran Sosial Gereja yang berbicara tentang persoalan-persoalan sosio-ekonomi dan masalah-masalah lainnya.

Ada Ajaran Sosial Gereja lain yang juga membahas persoalan mondial seperti ensiklik Rerum Novarum karya Paus Leo XIII, Populorum Progressio yang ditulis oleh Paus Paulus VI hingga Sollicitudo Rei Socialis  dan Centesimus Annus yang diumumkan Paus Yohanes Paulus II. 

Melalui Caritas in Veritate, Paus Benediktus XVI menyerukan pentingnya umat manusia memperjuangkan hak-hak sosial, politik dan ekonomi dalam koridor etika dan moral. 

Sri Paus menegaskan, “kebenaran perlu dicari, ditemukan dan diungkapkan dalam ‘ekonomi’ kasih, tetapi pada gilirannya kasih perlu dipahami, ditegaskan dan dilaksanakan dalam terang kebenaran’ (bdk art. 2).”

Pesannya sangat jelas. Hanya  dalam kebenaran kasih memancarkan cahaya. Itu berarti dalam budaya anti kebenaran, kasih kehilangan cahaya. Sebaliknya juga benar. Di tengah masyarakat  tanpa kasih, kebenaran dengan mudah diperkosa atas nama kepentingan-kepentingan sempit.

Kasih yang mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (bdk. Rom 12:21) adalah prasyarat mutlak dalam perjuangan yang mengatasnamakan orang-orang kecil maupun untuk bebaikan bersama (bonum commune).

Kebenaran ada secara otentik ketika kasih menjiwai seluruh tindakan dan maksud hati. Kasih dalam kebenaran berdaya membangun komunitas, menyatukan semua orang dalam mengatasi segala perpecahan (bdk. art. 34).

Membaca Veritas in Veritate di Nangahale

Pertanyaan penting yang harus diajukan sebelum menjawab artikel “Tidak Perlu Bicara Cinta Kasih di Nangahale?” adalah “Adakah Kebenaran di Nangahale?”  

Fakta berikut  menjelaskan bahwa perjuangan warga Suku Soge dan Suku Goban yang “diotaki”  sejumlah aktor intelektual ini bermasalah secara serius dan mendasar.

Perjuangan yang mengatasnamakan masyarakat adat ini tidak benar secara inheren karena tidak ada masyarakat adat di Nangahale.

Komunitas masyarakat adat adalah sebuah entitas yang berhubungan langsung dengan kepemilikan atas atas tanah secara natural dan yang persatuannya dibentuk oleh otoritas dan ritual adat yang terwaris dari generasi ke generasi.

Masyarakat adat Nangahale tidak hadir secara natural, tetapi merupakan komunitas buatan atau bentukan pada dekade tahun 1990an oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] di Sikka.

Cukup dengan merujuk pada pengabaian terhadap kebenaran pertama ini harus sudah dipastikan bahwa tidak pernah ada masyarakat adat di Nangahale.  

Itu berarti, hak kepemilikan terhadap tanah Nangahale tidak pernah ada dan seluruh rentetan perjuangan  yang mengatasnamakan masyarakat adat Nangahale adalah tidak benar. 

Pada titik ini, pesan Veritas in Veritate Paus Benediktus XVI perlu digaungkan: “kebenaran perlu dicari, ditemukan dan diungkapkan dalam ‘ekonomi’ kasih, tetapi pada gilirannya kasih perlu dipahami, ditegaskan, dan dilaksanakan dalam terang kebenaran’ (bdk art. 2). 

Sayangnya, warga Suku Soge dan Suku Goban sejak lama terjebak dalam permainan para aktor intelektual yang “cerdas” memainkan isu dan menggiring opini melalui dalil-dalil hukum.

Warga Suku Soge dan Suku Goban yang adalah orang-orang baik masuk perangkap dan menjadi korban permainan orang-orang yang coba menabrakkan kasih dan kebenaran.

Dari hidup penuh kedamaian dengan negara dan Gereja, mereka kini menjadi penuh curiga dan kehilangan kedamaian. 

Mari “menyelamatkan” warga Suku Sode dan Suku Goban” dari keterpurukan. Selalu ada cinta untuk Nangahale.

Hendrikus Pedro adalah Wakil Rektor I Universitas Nusa Nipa Maumere. Artikel ini adalah opini pribadi sebagai akademisi yang tidak mewakili institusi

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING