Antara Paus Fransiskus, Messi dan Maradona

Baca Juga

Terbakar oleh bara cinta diri yang mementingkan diri pribadi, Maradona cenderung membanggakan diri dengan menyatakan, “Gol itu, sebagian dari kepala Maradona, sebagian lagi dari Tuhan.” Hal yang ganjil, manakala gol Tangan Tuhan itu dirayakan jauh lebih meriah ketika oleh rakyat Argentina dibandingkan dengan gol kedua yang dianggap sebagai gol terbaik sepanjang masa.

“Kami merayakan gol yang buruk itu lebih meraih ketimbangkan gol yang indah itu, sebab musuh kami adalah Inggris,” kata striker Argentina di Piala Dunia 1986, Jorge Valdano. Terang benderang bahwa cinta diri memancarkan perseteruan kepada sesama. Cinta diri bersahabat karib dengan kediktatoran.

Paus Fransiskus, Messi, dan Maradona berpaspor Argentina. Abad ke-20 di negeri itu, sama seperti di banyak negera Amerika Latin, dicirikan dengan kediktatoran. Tidak jarang terjadi kudeta militer dan penindasan militer kepada masyarakat sipil.

Tahun 1930-an, terjadi kediktatoran pertama di Argentina yang disusul dengan krisis ekonomi. Pada tahun 1943, para petinggi militer mengorganisasikan diri sebuah kudeta yang memproklamasikan diri sebagai Revolusi 1943.

Kediktatoran berakhir dengan kemunculan Juan Domingo Peron yang dibaptis sebagai politikus Argentina yang kondang, dengan mengandalkan peronisme, sebuah gerakan yang mengandalkan dan memfokuskan diri kepada aspek kerakyatan. Muncullah Eva Peron di panggung politik dengan tembang andalan pelipur lara duka “Don’t cry for me Argentina”.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini