Floresa.co – Warga, rohaniwan dan pemerhati lingkungan di sejumlah kabupaten di Flores akan menggelar aksi damai menolak proyek panas bumi atau geotermal pada 5 Juni, bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Aksi tersebut berlangsung di Kabupaten Ende, Nagekeo, Ngada dan Manggarai.
Di Ende, persiapan menuju aksi itu dibahas dalam pertemuan di Rumah Kevikepan, Jalan Nangka, pada 2 Juni.
Vikaris Episkopal atau Vikep Ende, Romo Frederikus Dopo yang membuka forum itu berkata, gerakan ini “bukan bentuk permusuhan terhadap pembangunan.”
Sementara itu, Romo Reginald Piperno dari Tim Advokasi Gerakan Menolak Geotermal Keuskupan Agung Ende mengingatkan lagi sikap Mgr. Paulus Budi Kleden yang menyatakan penolakan terhadap proyek geotermal pada Januari.
“Struktur tanah Flores sangat rapuh. Proyek ini berpotensi menimbulkan bencana dan mengancam pertanian serta budaya lokal,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kebijakan pemerintah yang pada 2017 menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi tanpa kajian dampak sosial dan ekologis yang memadai.
Dalam sesi diskusi, hadir pula Tim Komisi Keadilan Pemerhati Migran Keuskupan Agung Ende dan pemerhati lingkungan, Maria Ratna Ningsi.
Tim itu mendorong perlunya edukasi publik, penguatan data lapangan, kajian legalitas dan kolaborasi lintas elemen demi memastikan gerakan ini berdiri di atas landasan yang kokoh.
Dalam rekomendasi akhir pertemuan, ditegaskan bahwa aksi pada 5 Juni “bukan sekadar penolakan, tetapi panggilan moral untuk melindungi rumah bersama: bumi Flores yang tercinta.”
Sementara itu, dalam surat pemberitahuan aksi damai dari Forum Peduli Lingkungan Hidup Kevikepan Mbay yang salinannya diperoleh Floresa pada 4 Juni, mereka “menyampaikan keprihatinan dan penolakan terhadap rencana eksplorasi dan proyek geotermal di wilayah Kabupaten Nagekeo.”
Penolakan itu, tulis mereka, didasari pada kajian, observasi lapangan, serta konsultasi dengan masyarakat terdampak tentang efek buruk geotermal.
Mereka menyinggung soal kerusakan lingkungan, terganggunya sumber air bersih, terancamnya wilayah adat dan pertanian, hilangnya mata pencaharian berbasis pertanian dan kehutanan dan potensi konflik sosial di tengah masyarakat.
Aksi yang mengusung tema “Tolak Proyek Geotermal-Selamatkan Nagekeo” itu rencananya dimulai pada pukul 08.00 Wita. Perkiraan massa aksi yang akan hadir 2.500 orang.
Pater Marsel Kabut, OFM akan menjadi koordinator umum aksi, sementara penanggung jawab adalah Vikep Mbay, Romo Asterius Lado.
Sementara itu, Antony Anu, pemuda asal Mataloko berkata, perwakilan umat dari 21 paroki yang berada di bawah naungan Kevikepan Bajawa – mencakup wilayah Kabupaten Ngada – juga akan menggelar aksi serupa.
Peserta berasal dari wilayah yang terdampak langsung proyek dan dari daerah-daerah yang disebut-sebut akan menjadi lokasi proyek selanjutnya.
“Minimnya pertanggungjawaban dari perusahaan pengelola proyek terhadap dampak sosial yang dirasakan masyarakat akan menjadi tuntutan utama,” katanya kepada Floresa pada 4 Juni.
Penolakan terhadap proyek ini, lanjutnya, turut dipicu oleh meluasnya sebaran titik-titik eksplorasi geotermal yang kini mencakup hampir seluruh wilayah Kevikepan Bajawa.
Sementara di Flores bagian barat, aksi akan digelar di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai terkait proyek geotermal Poco Leok.
Agustinus Sukarno, salah satu pemuda Poco Leok berkata, warga dari belasan kampung adat akan “kembali mendesak pemerintah mencabut SK penetapan lokasi proyek.”
“Kami sebetulnya sudah berulangkali menyatakan penolakan terhadap proyek yang dikelola PT PLN ini dengan berbagai cara,” katanya.
“Ini adalah aksi ketiga kami di Ruteng, untuk menunjukkan sikap kami yang tetap konsisten menjaga tanah dan keutuhan ruang hidup,” katanya kepada Floresa.
Ia menuturkan, aksi ini akan melibatkan berbagai elemen warga, mulai dari orang tua, kaum perempuan, hingga pemuda.
Mereka berencana membawa pesan-pesan penolakan yang sebelumnya telah digaungkan di kampung-kampung.
“Pemerintah diharapkan tidak buta dan tuli melihat dan mendengar suara-suara kami selama ini,” katanya.
Penetapan Flores sebagai Pulau Geotermal pada 2017, dengan 21 titik yang tersebar di sepanjang pulau Flores hingga Lembata, telah memicu perlawanan dari warga.
Selain karena dekat dengan pemukiman dan lahan mereka, penolakan juga muncul setelah melihat sejumlah persoalan lingkungan yang mencuat.
Gerakan penolakan itu bermunculan di berbagai lokasi terdampak, seperti di Poco Leok, Wae Sano, Mataloko, Sokoria hingga Atadei.
Salah satu yang terus menjadi sorotan adalah proyek di Mataloko yang gagal berulang sejak mulai dikerjakan pada lebih dari dua dekade lalu dan kini terus memunculkan lubang semburan lumpur di lokasi sekitar.
Sejumlah soal ini mendorong Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden menyatakan penolakan terbuka pada Januari, yang ia sebut setelah “mendengar berbagai kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria dan Mataloko serta usai berdiskusi dengan sejumlah imam.”
Ia juga mendorong resistensi umat dan masyarakat dengan memberikan perhatian dan informasi, baik yang “ilmiah maupun (mendengarkan) kesaksian dari orang-orang di Sokoria dan Mataloko.”
Suara penolakan kemudian disampaikan enam uskup di Provinsi Gerejawi Ende dalam pernyataan bersama pada bulan lalu.
Selain Uskup Budi, lima uskup lain yang meneken surat itu adalah Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung; Uskup Maumere, Mgr. Martinus Ewaldus Sedu; Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat; Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus dan Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San.
Dalam surat itu, para uskup menyatakan, “eksploitasi sumber daya alam, termasuk energi geotermal di Flores dan Lembata, menimbulkan pertanyaan: Apakah kita membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?”
Para uskup menilai Flores dan pulau-pulau kecil lainnya memiliki ekosistem yang rapuh dan berisiko besar, sehingga eksploitasi yang tidak bijaksana, termasuk proyek geotermal berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan.
Selain itu, mereka menilai proyek geotermal di kawasan itu bertentangan dengan arah utama pembangunan “yang menjadikan wilayah ini sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan serta pertanian dan kelautan.”
Editor: Anno Susabun