Warga Menang Lawan Tambang, Masih Berjuang Lawan Proyek Lain yang Ancam Ruang Hidup

Sementara warga di Kabupaten Manggarai Timur mencetak sejarah dengan memenangi gugatan kasasi di Mahkamah Agung [MA] melawan pemerintah terkait penerbitan izin tambang, di sejumlah tempat di NTT kelompok warga masih terus berjuang mempertahankan ruang hidup mereka berhadapan dengan berbagai upaya pemerintah meloloskan kebijakan yang dianggap akan membawa petaka bagi masa depan mereka. Ini adalah inti sari dari beberapa topik yang menjadi fokus liputan Floresa.co selama bulan Oktober 2022.

Warga Menang Gugatan Lawan Tambang di MA

Pada 19 Oktober, putusan MA yang memenangkan warga Lengko Lolok, Desa Satar Punda di Kabupaten Manggarai Timur dalam sengketa izin tambang diumumkan.

Putusan MA itu menyatakan izin tambang batu gamping yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi NTT kepada PT Istindo Mitra Manggarai pada 2020 adalah tidak sah. Demikian juga halnya dengan izin lingkungan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Isfridus Sota, salah satu warga penggugat mengatakan putusan itu adalah “jawaban atas doa dan perjuangan selama ini.”

Keputusan ini diapresiasi banyak pihak, karena membuktikan bahwa masih ada harapan terhadap ruang pengadilan untuk bisa memenangkan gugatan warga.

Isfridus Sota, warga Lengko Lolok. (Foto: Floresa)

Namun, sejumlah pihak meminta agar putusan ini perlu dikawal terus hingga dieksekusi. Selain itu, yang juga perlu diwaspadai adalah karena di Desa Satar Punda pemerintah juga telah menerbitkan izin untuk pendirian pabrik semen kepada PT Semen Singah Merah NTT, yang hingga kini izinnya belum dicabut.

Utamakan Konsesi, Konflik dan Krisis Ekologi Mengintai

Di Labuan Bajo, pemerintah terus menggenjot upaya pembangunan fisik dan membuka ruang bagi masukanya berbagai investasi.

Di kawasan Hutan Bowosie, Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo-Flores [BPO-LBF] telah membuka jalan menuju lokasi 400 hektar yang dikuasainya dan hendak dibagi-bagi kepada investor.

Parapuar, demikian mereka menamakan kawasan itu, yang diambil dari kata Bahasa Manggarai, para (pintu) dan puar (hutan).

Bangunan milik BPO-LBF di kawasan Hutan Bowosie yang dikuasainya untuk pengembangan kawasan pariwisata. (Foto: Floresa.co)

Sementara pemerintah menyebutnya sebagai kawasan pariwisata berkelanjutan di jantung Flores, kelompok sipil terus menyuarakan kecemasan terhadap proyek itu yang disinyalir menjadi bom waktu bagi masalah ekologi di Labuan Bajo. Di sisi lain, masih ada konflik agraria dengan kelompok warga sekitar yang belum selesai.

Selain dikuasai oleh BPO-LBF, di hutan penyangga kota Labuan Bajo, pemerintah juga telah mengalihfungsikan sebagian kawasan itu untuk proyek percontohan pembibitan pohon dan dan pembangunan lokasi pengolahan limbah bahan berbahaya beracun (B3).

Untuk lokasi pengolahan limbah B3 ini, kami melaporkan bahwa bangunan yang selesai didirikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] pada 2020 dengan dana Rp 7 miliar mubazir. Belum juga dimanfaatkan, bangunan itu sudah rusak di sejumlah bagian.

Proyek Geothermal Dipaksakan, Abaikan Suara Warga yang Menolak

Di Kabupaten Manggarai, demi meloloskan proyek geothermal di wilayah Poco Leok, pengembangan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Ulumbu di Kecamatan Satar Mese, pemerintah melakukan berbagai upaya, termasuk diduga melakukan manipulasi informasi dan tidak melibatkan masyarakat yang menentang proyek itu dalam rangkaian kegiatan sosialisasi.

Sementara itu, pemerintah mengklaim akan terus melanjutkan proyek itu, kendati masih ada warga yang menolak.

Perluasan proyek geothermal ke Poco Leok, daerah pegunungan yang berjarak 3 kilometer ke arah timur dari PT Ulumbu adalah dalam rangka memenuhi target menaikkan kapasitas PLTP Ulumbu dari 7,5 MW saat ini menjadi 40 MW.

Agustinus Egot [62 tahun], warga Kampung Mesir mengatakan ia tidak pernah lagi diundang untuk acara sosialisasi proyek ini setelah menyatakan penolakan tegas saat sosialisasi pertama pada tahun lalu oleh PLN di Gereja Katolik Stasi Lungar.

Agustinus Egot, warga Kampung Mesir, yang menolak proyek geothermal di Poco Leok sedang berada di perbatasan Lingko Belang dan Lingko Mesir, salah satu wilayah yang akan dibor. (Foto: Anno Susabon/Floresa.co)

Ia menjelaskan memilih menolak proyek itu meski dalam sosialisasi itu  pihak PLN memberi tahu warga bahwa proyek geothermal tidak membawa dampak buruk.

Akan tetapi, “setelah saya lihat di televisi, kebanyakan di Jawa Tengah, di Sumatera, di tempat pengeboran itu terjadi ledakan dan semburan lumpur.”

“Cepat atau lambat, bahaya itu tidak hanya menimpa saya, tetapi juga banyak warga lainnya,” katanya.

Servas Onggal [29], pemuda adat Kampung Lungar menambahkan, “pada sosialisasi awal, memang semuanya dilibatkan, termasuk kami beberapa tokoh muda.”

“Namun dalam perjalanan waktu, ketika diadakan sosialisasi, baik yang dilakukan di sini maupun di tempat lain seperti di Ruteng, tokoh muda dan beberapa perwakilan masyarakat, perempuan, dan anak-anak sama sekali tidak dilibatkan,” katanya.

Perluasan proyek PLTP Ulumbu  juga terjadi menyusul penetapan Pulau Flores sebagai pulau panas bumi pada 2017, yang mendorong eksploitasi di beberapa tempat. Selain di Poco Leok, proyek geothermal juga direncanakan di Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat dan Mataloko di Kabupaten Ngada, yang juga mendapat resistensi warga.

PT Flobamor Terus Beraktivitas di TN Komodo, Gandeng TWC Milik Tomy Winata

PT Flobamor masih terus beraktivitas di kawasan Taman Nasional [TN] Komodo demi merealisasikan upaya memegang kendali pengurusan jasa wisata di kawasan itu. Langkah itu ditempuh di tengah masih kuatnya penolakan kelompok sipil, termasuk warga di Pulau Komodo dan janji dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] baru-baru ini untuk meninjau kembali izin perusahan itu.

Dalam sebuah kegiatan pelatihan untuk naturalist guide atau ranger di Pulau Padar bagian utara, BUMD milik Provinsi NTT itu  menggandeng pihak Balai TN Komodo [BTNK] dan pelatih dari Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), kawasan yang dikelola perusahaan yang berafiliasi dengan grup bisnis milik pengusaha Tomy Winata, yang dikenal memiliki kedekatan personal dan bisnis dengan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat.

Pemuda asal Kampung Komodo mengikuti pelatihan yang diadakan oleh PT Flobamor pada Kamis, 29 September 2022. (Foto: Floreseditorial.com)

PT Flobamor mengklaim telah mengantongi Izin Penguasaan Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) untuk mengelola  jasa pariwisata di Pulau Komodo, Pulau Padar serta perairan sekitarnya, di mana dia menaikkan biaya akses masuk secara drastis wilayah yang berada di bawah penguasaanya, yaitu Rp 3.75 juta per orang dan 15 juta per empat orang dengan sistem keanggotaan yang berlaku selama satu tahun. Kebijakan ini yang semula mau diterapkan pada 1 Agustus 2022 diundur ke tahun depan.

Selain itu, dalam sebuah artikel analisis kami menunjukkan bahwa telah terjadi utak-atik kawasan zonasi di TN Komodo pada periode 2012-2018, sebuah proses yang memuluskan pemberian konsesi bisnis kepada sejumlah perusahaan.

Wilayah yang dipilih menjadi zona pemanfaatan sebenarnya merupakan kawasan strategis karena merupakan kantong-kantong yang dihuni komodo dan satwa penyertanya. Karena itu, pembangunan fisik di kantong-kantong strategis itu jelas mengganggu ruang gerak dan lintasan satwa. Selain itu, pada bagian tertentu, kawasan yang diserahkan kepada perusahaan adalah ruang hidup dan ruang usaha warga setempat.

Pemprov NTT Gusur Warga Besipae, Abaikan Konflik Lahan

Di Kabupaten Timor Tengah Selatan [TTS] di Pulau Timor, pemukiman masyarakat adat Besipae kembali digusur oleh Pemerintah Provinsi NTT karena menuding warga mengokupasi lahan 3.780 hektar yang diklaim pemerintah.

Penggusuran pada 20 Oktober ini tercatat sebagai yang kelima selama era kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dalam konflik dengan warga terkait hutan adat Pubabu.

Warga Pubabu-Besipae memilih benih sorgum dari puing-puing rumah yang digusur Pemprov NTT pada 20 Oktober 2020. (Foto: KatongNTT.com)

Sementara pemerintah memilih cara-cara represif seperti itu, akar konflik lahan itu tidak selesaikan. Padahal, Komnas HAM berulang kali menutnut agar masalah ini diselesaikan dengan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Dalam sejumlah video yang beredar saat penggusuran itu, tampak orangtua dan anak-anak berlindung di bawah reruntuhan bangunan saat terjadi hujan.

Sejumlah elemen sipil mendesak pemerintah mengutaman solusi yang bermartabat mengatasi masalah ini.

Peti Benazah Buruh Migran Terus Berdatangan, Jalur Ilegal Tetap Jadi Pilihan

Lewat sebuah liputan investigasi, kami menyajikan laporan tentang para buruh migran yang terus-menerus memilih jalur ilegal untuk bekerja di Malaysia.

Setiap bulan, diperkirakan ratusan pekerja migran ini yang tidak dilengkapi dokumen resmi berangkat dari Pelabuhan Lantuka, Flores Timur.

Ratusan orang menyemut di ruang tunggu Pelabuhan Larantuka pada Selasa pagi, 12 Juli 2022. Sekitar 100 orang dari para calon penumpang KM Lambelu ini akan berangkat secara ilegal ke Malaysia melalui Nunukan. (Foto: Rosis Adir)

Meski rentan menjadi korban perdagangan manusia, kesulitan ekonomi di kampung halaman membuat warga ini rela mengadu nasib ke Malaysia tanpa perlindungan yang memadai.

P2MI Provinsi NTT  mencatat sejak 2018 hingga Mei 2022, total pekerja migran asal NTT yang meninggal dunia di luar negeri adalah 480 orang dan hanya 17 yang berstatus legal.

Selama tahun ini, data hingga September, pekerja migran yang meninggal dunia di luar negeri sejumlah 10 orang.

Siswi Muslim Jadi Ketua OSIS di SMA Katolik

Di tengah munculnya keprihatinan terhadap meningkatnya diskriminasi di sekolah-sekolah negeri di tanah air, di SMA Katolik St Fransiskus Xaverius Ruteng, Kabupaten Manggarai, yang lebih dari 97 persen peserta didiknya beragama Katolik, seorang siswi Muslim berhasil memenangkan pemilihan Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah [OSIS).

Kendati peserta didik Muslim hanya empat orang dari total 1.173 peserta didik di sekolah itu, Aprilia Inka Prasasti berhasil memenangkan pemilihan Ketua OSIS periode 2022-2023.

Romo Martin Wiliam, kepala sekolah menyebut terpilihnya Inka sebagai “sebuah gugatan” atas praktek yang kerap terjadi saat ini di sejumlah tempat yang ‘mendewakan’ agama dan mengesampingkan ‘rasio’ dalam memilih pemimpin, bahwa segala sesuatu hanya boleh dan bisa atas nama agama.”

Pengurus OSIS di SMA Katolik St. Fransiskus Xaverius Ruteng dilantik pada Senin, 24 Oktober 2022. (Foto: Dok. SMA Katolik St Fransiskus Xaverius)

Inka adalah Ketua OSIS Muslim pertama sejak sekolah itu didirikan pada 1987.

Selain menyebut hal ini sebagai contoh yang baik dalam pemilihan yang tidak lagi melihat latar belakang agama, Achmad Nurcholish dari organisasi lintas agama Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mengatakan, hal yang juga patut diapresiasi adalah cara sekolah menerima hasil pemilihan.

“Mayoritas siswa dan siswi Katolik yang legowo [ikhlas] menerima Ketua OSIS non-Katolik menunjukkan sikap dewasa dalam berorganisasi,” katanya.

“Ini menjadi contoh yang baik dalam konteks kebinekaan kita, untuk bisa hidup bersama dengan saudara-saudara yang berbeda,” katanya.

Warga Lokal Berjuang Hidup di Tengah Masifnya Pembangunan di Labuan Bajo

Kami juga menulis tentang Prudensia Sitia, janda berusia 55 tahun yang mencari rejeki dengan memulung di Labuan Bajo.

Nensi, sapaannya, awalnya berjalan kaki memungut sampah dari satu tempat ke tempat lainnya di Labuan Bajo, kota yang menghasilkan sampah antara 14-16 ton per hari. Ia kemudian memutar otak, mencari cara yang bisa memudahkannya bekerja. Ia lantas membuat gerobak sendiri yang kini dipakainya.

Dengan gerobak yang dirakit sendiri, saban hari Prudensia Sitia mengelilingi Labuan Bajo. (Foto:Jefry Dain/Floresa.co)

Dengan gerobaknya itu, saban hari Nensi menyusuri jalan-jalan di Labuan Bajo sejak pagi, sebelum kemudian kembali ke kosnya pada malam hari.

Nensi adalah potret dari orang lokal yang berusaha dengan daya sendiri bertahan hidup di kota Labuan Bajo yang terus menjadi sasaran berbagai proyek pariwisata dalam beberapa tahun terakhir.

Mantan Bupati Manggarai Barat Dapat Vonis Kedua Kasus Korupsi

Mantan Bupati Manggarai Barat, NTT, Agustinus Ch Dula yang saat ini sedang mendekam di penjara karena kasus korupsi terkait pengelolaan aset tanah pemerintah kembali mendapat vonis penjara dalam kasus korupsi lainnya. Vonis baru hukuman penjara selama lima tahun ini membuat mantan bupati dua periode itu akan mendekam di balik jeruji besi setidaknya hingga tahun 2035.

Vonis itu terkait kasus pengelolaan aset tanah pemerintah seluas 3,4 hektar di Desa Batu Cermin, Kecamatan Komodo pada tahun 2012 hingga tahun 2015. Dalam kasus korupsi itu, pemerintah dinyatakan mengalami kerugian hingga 124,7 miliar rupiah.

Ambrosius Syukur, mantan Kepala Bagian Tata Pemerintahan selama era pemerintahan Dula juga divonis tujuh tahun penjara dan denda 800 juta rupiah yang jika tidak dibayar diganti kurungan selama empat bulan. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp 980.330.354.

Mantan Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch Dula. (Foto: Floresa).

Kasus tanah di Desa Batu Cermin ini merupakan kasus kedua yang menyeret Dula dan Ambrosius ke dalam penjara.

Sebelumnya, mereka juga divonis penjara dalam kasus penggelapan aset pemerintah di Kerangan/Toro Lemma Batu Kalo, Kecamatan Komodo, daerah pesisir barat kota Labuan Bajo. Dula divonis 9 tahun penjara, denda 600 juta subsider 3 bulan kurungan, sementara 7 tahun penjara, sementara Ambrosius 7 tahun penjara.

Penetapan Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Terminal yang Mubazir di Manggarai Timur

Sementara itu dalam kasus dugaan korupsi terkait Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur yang mubazir, Kejaksaan Negeri Manggarai menetapkan dua tersangka.

Kejaksaan baru menangani dugaan korupsi dalam pengadaan lahan terminal yang dinilai merugikan negara 420 juta rupiah, sementara terkait pembangunan terminal senilai 3,6 miliar rupiah belum diusut.

Benediktus Aristo Moa, salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi Terminal Kembur di Manggarai Timur diapit dua staf Kejaksaan sebelum ditahan pada Jumat, 28 Oktober 2022. (Foto: Ist)

Kedua tersangka itu adalah Bernediktus Aristo Moa, karena perannya sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Hubkominfo) Manggarai Timur kala itu dan Gregorius Jeramu, pemilik lahan yang menjadi lokasi termunal.

Menurut Kejaksaan, lahan tersebut ternyata belum bersertifikat dan saat melakukan perjanjian pembebasan lahan, Gregorius disebut hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) sebagai alas hak yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, SPT PBB bukanlah alas hak atau bukti kepemilikan tanah.

Jaksa sudah mengendus kasus ini sejak Januari 2021 dengan mengamati keberadaan bangunan terminal yang tidak terpakai sejak selesai dibangun tahun 2015.

Terminal itu awalnya direncanakan untuk menjadi penghubung bagi angkutan pedesaan, yang umumnya berupa bis kayu, dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur, yakni dari Kecamatan Elar Selatan, Kecamatan Kota Komba bagian utara, Kecamatan Borong bagian utara dan beberapa wilayah lainnya, dengan angkutan khusus menuju Borong.

Penetapan tersangka Aris dituding oleh praktisi Edi Hardum sebagai bentuk penegakan hukum tebang pilih, mengingat ia hanyalah bawahan di Dinas Dishubkominfo. Sementara itu, pihak Kejaksaan menyatakan akan terus mengusut kasus ini, termasuk terkait dugaan korupsi dalam pembangunan terminal.

Pelibatan Nelayan dalam Isu Konservasi di Laut Sawu

Laut Sawu merupakan kawasan konservasi perairan penting di Indonesia.  Kawasan ini juga  sekaligus sumber penghidupan ratusan ribu keluarga nelayan di 18 dari total 23 kabupaten NTT yang wilayahnya berbatasan dengannya.

Mengingat pentingnya kawasan ini baik bagi kehidupan biota laut, kepentingan strategis pelayaran nasional, maupun kehidupan wasyarakat di dalamnya, pengelolaan Laut Sawu mesti dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan semua aspek krusial.

Nelayan Lamalera dalam posisi diam atau “huro”, ketika melihat pergerakan air Laut Sawu yang bergolak. Pergerakan air yang semacam ini terkadang mengisyaratkan “kedatangan” mamalia laut yang berenang di sekitar perahu. (Foto: Anastasia Ika)

Dalam sebuah artikel analisis, Anastasia Ika mengusulkan agar proses revisi  Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ)  di Laut Sawu yang saat ini sedang dikerjakan pemerintah memberikan porsi yang lebih besar bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan mengingat selama ini partisipasi mereka cenderung kecil dalam serangkaian konsultasi terkait pemanfaatan ruang laut, berikut sumber daya hayati yang berada di bawah permukaan airnya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.