Oleh: Ryan Dagur
Salah satu dosen Universitas Nusa Nipa Maumere, Hendrikus Pedro menulis opini di Floresa pada 7 April berjudul Kasih dalam Kebenaran: Pesan Paus Benediktus XVI di Tengah Kisruh HGU Nangahale. Opini itu menanggapi artikel saya berjudul Tidak Perlu Bicara Cinta Kasih di Nangahale? yang dipublikasi pada 2 April.
Sembari berterima kasih atas tanggapan itu, saya perlu menyampaikan catatan untuk merespons beberapa poin bermasalah dalam opini Hendrikus.
Hal ini sekaligus upaya meletakkan soal pada porsi yang pas, mengingat sejumlah hal yang ia abaikan dan berujung pada tudingan yang sumir.
Pertama, pada bagian awal tulisannya, Hendrikus menyebut artikel saya “cukup menggiring opini publik untuk berkesimpulan bahwa dalam kisruh Nangahale, Gereja Keuskupan Maumere secara terang-terangan melakukan tindakan melanggar hukum cinta kasih yang sering dikhotbahkan dari mimbar gereja.”
Anggapan itu ada benarnya karena memang argumentasi saya adalah seharusnya Gereja tidak melepaskan nilai-nilai kristiani dan kemanusiaan dalam menangani konflik itu.
Ada penjelasan mengapa hal itu penting, yang saya kaitkan dengan relasi kuasa dan sejumlah privilese yang membuat Gereja Katolik dalam konflik ini berada pada posisi yang begitu kuat berhadapan dengan masyarakat yang adalah umatnya sendiri.
Privilese itu tampak dalam banyak hal, yang saya uraikan cukup panjang lebar. Salah satunya adalah pada kekuasan Gereja untuk memanfaatkan mimbar demi kepentingannya, seperti menggerakan umat di paroki-paroki di Keuskupan Maumere untuk beraktivitas di lahan konflik Nangahale pada 17 Maret.
Karena itulah, pembicaraan tentang kasih itu relevan. Bahwa tindakan Gereja seharusnya mempertimbangkan relasi kuasa dan sejumlah privilese yang membuatnya tidak berada dalam posisi setara dengan warga.
Dengan mengakui adanya asimetri kekuasaan itu, menurut saya, penanganan kasus ini tidak bisa hanya berlandaskan pada hukum positif, yang sudah hampir pasti-berkat kuasa dan privelesenya-akan lebih menguntungkan Gereja.
Dalam hal ini, ada harapan agar PT Krisrama itu tidak melepaskan statusnya sebagai lembaga miliki Gereja, karena dari situ pula sumber berbagai privilesenya.
Kalau PT Krisrama itu bukan milik Gereja, katakanlah punya politisi atau investor awam, tentu saja standar untuk mengharapkan pertanggungjawaban moral etisnya berbeda.
Karena itulah, selain mempersoalkan langkah Gereja menggusur rumah dan tanaman warga, saya juga mengkritisi langkah menjebloskan delapan warga ke penjara dan kini sedang berupaya menjebloskan lebih banyak lagi lewat pelaporan baru ke Polda NTT.
Sekali lagi, penilaian Hendrikus ada benarnya. Namun, mengabaikan poin-poin yang menjadi basis argumentasi saya bisa memicu salah kaprah.
Kedua, Hendrikus menulis bahwa saya “tampak merasa bertanggung jawab ‘memfasilitasi’ komentar-komentar di berbagai platform media sosial yang menyudutkan lembaga Keuskupan Maumere, PT Krisrama, serta para imam dan awam yang mengambil bagian di dalam penyelesaian kisruh ini.”
“Sayangnya, dari seharusnya memberi pencerahan, opini itu justru memainkan isu cinta kasih sambil bersandar pada klaim-klaim yang tidak berdasar,” tulisnya.
Ada kekeliruan di sini. Yang paling sederhana adalah soal klaimnya bahwa saya memfasilitasi komentar-komentar yang menyudutkan Keuskupan Maumere.
Selain bahwa Hendrikus tidak menjelaskan atau membuktikan seperti apa bentuk “memfasilitasi” itu, artikel saya sebetulnya merespons komentar-komentar yang memihak posisi Gereja dan menyalahkan masyarakat adat, seolah mereka dalam posisi yang tidak benar sama sekali.
Jadi, tidak jelas di sini seperti apa maksud “memfasilitasi” itu, karena tidak ada uraian yang menjadi pendukungnya.
Tudingannya bahwa opini itu “justru memainkan isu cinta kasih sambil bersandar pada klaim-klaim yang tidak berdasar” juga bermasalah.
Kalau saja ia lebih teliti membaca tulisan itu, maka ia bisa menangkap poin-poin yang mendasarinya, yaitu soal relasi kuasa dan privilese yang sudah diterangkan sebelumnya.
Karena itu, menyandingkan konsep kasih dengan tindakan PT Krisrama bukan “tidak berdasar,” tapi Hendrikus tampak tidak menangkapnya meski ia mengaku mencermati baris demi baris artikel itu hingga kata terakhir.
Ketiga, inti argumentasinya adalah dalam polemik ini ada kebenaran yang sudah terang dan tidak bisa diperdebatkan lagi, yakni tidak ada masyarakat adat di Nangahale.
Karena itu, ia menuding bahwa perjuangan warga Suku Soge dan Suku Goban “diotaki” sejumlah aktor intelektual.
Ia mengklaim: “masyarakat adat Nangahale tidak hadir secara natural, tetapi merupakan komunitas buatan atau bentukan pada dekade tahun 1990an oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] di Sikka.”
“Cukup dengan merujuk pada pengabaian terhadap kebenaran pertama ini,” tulis Hendrikus, “harus sudah dipastikan bahwa tidak pernah ada masyarakat adat di Nangahale” dan “seluruh rentetan perjuangan yang mengatasnamakan masyarakat adat Nangahale adalah tidak benar.”
Ada catatan untuk argumentasi itu.
Adalah hak Hendrikus meyakini kebenaran versinya; bahwa tidak ada masyarakat di Nangahale dan warga “diotaki” pihak lain. Ia menyebut eksplisit AMAN sebagai otak di balik kisruh ini.
Namun, klaimnya yang disebut sebagai kebenaran itu perlu diberi catatan bahwa itu adalah kebenaran versinya.
Dengan pernyataan ini, tentu saja saya tidak sedang mengklaim bahwa masyarakat adat sebaliknya benar dan klaim mereka atas kepemilikan tanah itu juga benar.
Posisi saya dalam artikel itu adalah mengharapkan Gereja untuk mengambil sikap yang juga mempertimbangkan klaim masyarakat adat atas tanah itu, mengingat klaim itu juga punya dasar historis, kultural dan religi.
Hal itu juga sebetulnya terkonfirmasi oleh sejumlah hasil riset tentang konflik ini, termasuk yang pernah ditulis oleh mendiang Pastor John Mansford Prior, SVD dari Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero.
Warga Nangahale meyakini tanah itu adalah milik nenek moyang mereka yang diambil alih pada masa kolonial Belanda dan bahwa mereka masih mewarisi ritual adat di tanah itu.
Karena ada perbedaan versi ini, penting untuk tidak mengabaikan begitu saja keyakinan masyarakat adat, yang mungkin dalam kerangka hukum positif bisa saja mereka dalam posisi lemah, berbeda dengan PT Krisrama yang sudah mengantongi syarat legal-formal sertifikat Hak Guna Usaha.
Di sini jelas bahwa posisi saya dengan Hendrikus berbeda; dia mengabaikan sama sekali fakta lain soal klaim masyarakat adat, bahkan menganggap mereka tidak ada, sementara saya melihat pentingnya memberi ruang pada pengakuan terhadap klaim masyarakat adat, yang juga punya basisnya sendiri.
Lebih jauh, mendelegitimasi begitu saja klaim masyarakat adat juga soal keberadaan mereka adalah bentuk kesewenang-wenangan
Di balik klaim bahwa tidak ada masyarakat adat dan mereka diotaki pihak lain implisit sebetulnya mental kolonial yang sayangnya masih mengidap cara berpikir banyak orang-yang karena menganggap diri terdidik-melihat masyarakat adat sebagai orang-orang rendah, yang tidak punya otonomi terhadap diri dan hidup mereka.
Karena itu, apapun yang mereka lakukan, termasuk dalam upaya memperjuangkan hak mereka, termasuk dengan berjejaring bersama lembaga masyarakat sipil, dianggap tidak lain sebagai hasil permainan, dorongan dari orang lain. Itulah yang tercermin dari penggunaan kata ‘diotaki’ versi Hendrikus.
Keempat, dari semua bangunan argumentasinya, tampak jelas bahwa Hendrikus sedang membela Gereja Keuskupan Maumere dalam polemik ini. Dengan berlandaskan pada ensiklik Paus Benediktus VI Caritas in Veritate-yang juga dipakai sebagai judul tulisannya-, ia berargumen bahwa Gereja sedang menegakkan kebenaran dan itu tidak berarti mengabaikan kasih karena kasih mensyaratkan kebenaran.
Namun, soalnya di sini, sekali lagi, adalah kebenaran itu hanyalah kebenaran versi Hendrikus.
Ia mencomot kata-kata ensiklik dalam artikelnya bahwa “kebenaran perlu dicari, ditemukan dan diungkapkan dalam ‘ekonomi’ kasih, tetapi pada gilirannya kasih perlu dipahami, ditegaskan, dan dilaksanakan dalam terang kebenaran’ (bdk art. 2).
Saya menyangsikan tafsiran Hendrikus terkait makna kebenaran dalam ensklik itu yang memparalelkannya dengan klaimnya bahwa tidak ada masyarakat adat di Nangahale.
Dari pembacaan sekilas ensiklik itu, kebenaran yang sejati hanya bisa dicapai dengan kasih, sebuah kebenaran yang juga mensyaratkan sebuah persekutuan, yang tidak melenyapkan perjuangan orang lain. Pencarian terhadap kebenaran itu juga mengandaikan pada kesetiaan terhadap nilai-nilai kristiani “yang menjadi unsur mendasar untuk membangun masyarakat yang baik dan demi perkembangan sejati manusia seutuhnya.”
Selain itu, dari artikelnya, ia juga mengabaikan bagian pertama dari kutipan ensiklik itu bahwa “kebenaran perlu dicari, ditemukan dan diungkapkan dalam ‘ekonomi’ kasih.” Pencarian kebenaran itu tidak akan terjadi jika sudah dengan arogan mendaku keyakinan sendiri sebagai kebenaran, lalu mengeksklusi, menganggap keyakinan orang lain “tidak benar, “diotaki,” dan seterusnya.
Kelima, tulisan Hendrikus memang hanya sampai pada klaim kebenaran versinya soal tidak adanya masyarakat adat di Nangahale dan perjuangan mereka diotaki orang lain.
Saya sebetulnya berharap, ia juga memberi tanggapan yang lebih memadai, seperti merespons uraian tentang relasi kuasa dan privilese Gereja yang tidak bisa dilepaspisahkan dalam konflik ini dan menjadi bagian terpenting dari artikel saya.
Sejalan dengan gagasan dalam artikel itu, bagi saya, argumen Hendrikus yang membela mati-matian tindakan PT Krisrama adalah bagian dari mereka yang sedang merusak Gereja, karena tampak secara naif meyakini apapun yang dilakukan orang-orang dalam institusi Gereja adalah benar.
Hendrikus tidak menyinggung sejumlah soal yang saya kritisi dalam tindakan PT Krisrama, seperti penggusuran rumah dan pemenjaraan warga. Namun, dari argumen yang ia sampaikan, tampaknya sepakat dengan itu, berlandaskan pada penegakan kebenaran versinya.
Saya memang berada di posisi sebaliknya karena menghendaki Gereja menempuh cara-cara yang sesuai dengan apa yang diajarkan dalam ajaran sosialnya, mengharapkan Gereja peduli pada warga yang kehilangan rumah karena digusur dan mendekam di bui hanya karena merusak plang perusahaan.
Ketika tindakan Gereja hanya berdasarkan klaim legal-formal semata dan melepaskannya dari eksistensinya sebagai institusi iman dan moral, itu adalah tanda bahaya. Upaya membela tindakan semacam itu juga bagian dari upaya merusak Gereja dari dalam.
Jika pada bagian akhir tulisannya Hendrikus mengajak “menyelamatkan warga Suku Sode dan Suku Goban” dari keterpurukan, saya lebih memilih mengajak menyelamatkan Gereja Katolik yang kita cintai dari mereka yang bernaung di dalam institusi Gereja tapi menginjak-injak apa yang sebetulnya telah diajarkan.
Ryan Dagur adalah editor Floresa
Editor: Anno Susabun