Hakim di Pengadilan Tinggi Agama Kupang yang Jadi Calo Tes PNS Tidak Jalani Sanksi Berat dari Mahkamah Agung, Kasusnya Bakal Dibawa ke Komisi Yudisial

Hakim Irwahidah terbukti tidak menunjukan itikad baik dengan belum mengembalikan uang korban setelah dua tahun masa hukuman, menurut Pengadilan Tinggi Agama Kupang

Floresa.co – Pengadilan Tinggi Agama Kupang di Nusa Tenggara Timur menyatakan salah satu hakimnya yang menjadi calo tes Pegawai Negeri Sipil [PNS] tidak menaati sanksi berat yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung [MA] hingga masa hukumannya selama dua tahun berakhir.

Karena itu, Hakim Irwahidah, yang menipu sejumlah korbannya hingga ratusan juta rupiah, akan menghadapi proses hukum lanjutan di Komisi Yudisial.

Sementara Irwahidah mengakui belum bisa memenuhi kewajibannya selama periode sanksi dan kini menanti proses lanjutan kasus ini.

Kepada Floresa, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kupang, Arifin menyatakan, Iwahidah menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh Badan Pengawasan MA sejak Oktober 2022 hingga Oktober 2024. 

Ia mendapat status sebagai hakim non palu, yang berarti ia dibebastugaskan atau tidak diberi tugas untuk menangani atau memeriksa perkara.

Pengadilan Tinggi Agama Kupang sebagai institusi tempat Irwahidah bekerja, kata dia, menjadi lembaga yang ditunjuk Mahkamah Agung sebagai asesor. 

Tugasnya adalah melakukan pengawasan rutin terhadap Irwahidah yang hasilnya dituangkan dalam bentuk laporan.

Selain “hasil pengawasan terhadap kinerja yang bersangkutan” laporan tersebut juga terkait “sikap dan perilakunya” selama menjalani masa hukuman, kata Arifin dalam wawancara di kantornya pada 28 November

Dalam masa hukuman tersebut, Irwahidah diwajibkan “mengikuti pembinaan mental dengan harapan dapat memperbaiki sikap dan perilakunya.” 

Namun, “pengawasan kami menunjukkan ia belum berkelakuan baik, sehingga laporan pengamatan kami menyatakan bahwa hukumannya belum sepenuhnya selesai.” 

“Hal ini menunjukkan kurangnya pertanggungjawaban hakim itu, meskipun telah berada dalam pengawasan ketat selama menjalani hukuman,” tambahnya.

Ia berkata, laporan pengawasan Irwahidah telah dikirim ke MA sebulan sebelum tenggat waktu hukuman berakhir, yakni pada September.

Dari laporan itu, pimpinan Badan Pengawasan MA kemudian berkesimpulan bahwa Irwahidah “belum secara patuh menjalani hukuman dan belum menunjukan itikad baik,” termasuk mengembalikan uang kepada korban.

“Saat ini, dia menunggu untuk diproses lebih lanjut, untuk menentukan hukuman berikutnya,” katanya.

Dengan merujuk pada status hakim non palu, ia menjelaskan bahwa untuk menentukan hukuman lebih lanjut bagi Irwahidah, “prosesnya tidak hanya melibatkan Mahkamah Agung, tetapi juga Komisi Yudisial” yang mengawasi kekuasaan kehakiman.

Meskipun keputusan akhir “belum dapat diketahui lebih lanjut,” namun “kita yakinkan bahwa proses itu tidak mungkin berhenti.”

Korban Merugi Hingga Ratusan Juta

Praktik percaloan dalam mekanisme tes PNS dilarang pemerintah.  

Namun, Irwahidah diduga memanfaatkan ketidaktahuan korban dan tekad mereka agar anak jadi PNS untuk melakukan manipulasi.

Kasus ini terungkap ke publik pada Juni, setelah Tadeus Melang, warga Kelurahan Tana Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur melapor Irwahidah ke polisi karena tidak mengembalikan uangnya sesuai isi kesepakatan.

Tadeus menyerahkan uang Rp100 juta kepada Irwahidah pada 2022 setelah diberi janji bahwa anaknya akan dibantu untuk tes PNS di Kejaksaan Agung.

Saat itu Irwahidah bertugas sebagai Ketua Pengadilan Agama Ruteng, yang wilayah kerjanya mencakup Manggarai Timur.

Penyerahan uang disertai kesepakatan akan dikembalikan jika anak Tadeus gagal tes.

Namun, Irwahidah mengingkari kesepakatan itu setelah anak Tadeus gagal tes. Ia , hanya mengembalikan Rp10 juta pada 5 Februari 2024. 

Ia baru mengembalikan semua uang Tadeus pada 14 Juni 2024, yang berujung pada pencabutan laporan polisi.

Langkah Tadeus memproses hukum Iwahidah membuat para korban lainnya angkat bicara.

Salah satunya Fidelis Hardiman, warga Kelurahan Carep, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.

Kepada Floresa, Fidelis mengisahkan, ia menyetor Rp60 juta kepada Irwahidah pada 2021 demi meloloskan anaknya sebagai PNS di Kejaksaan Agung.

Ia mendengar informasi terkait jasa Irwahidah dari Lorens Jebagut, kerabatnya yang juga menyetor Rp138 juta untuk dua orang anaknya yang masing-masing ikut tes hakim di Mahkamah Agung dan tes sipir penjara di Kementerian Hukum dan HAM.

Korban lainnya yakni Agustinus Nenggor, Warga asal Redong, Kelurahan Wali, Kecamatan Langke Rembong menyetor Rp75 juta yang dipinjamnya dari bank. 

Iwahidah menjanjikan anak sulungnya lolos tes PNS di Kementerian Hukum dan HAM dengan mengisi posisi sebagai sipir penjara. 

Sementara Muhammad Nur Ibrahim, warga di Kecamatan Sambi Rampas, Kabupaten Manggarai Timur juga meminjam uang di bank untuk membayar Rp100 juta.

Irwahidah juga menjanjikan bahwa anaknya yang baru tamat SMA bisa mengikuti tes calon PNS di Kementerian Hukum dan HAM untuk posisi sipir penjara.

Dari korban Fidelis, Floresa mendapatkan informasi bahwa Irwahidah tidak melakukan aksi tersebut sendirian, tetapi melibatkan eks anggota DPRD Manggarai, Rian Mbaut.

Fidelis mengaku beberapa kali mengikuti sosialisasi yang digelar di rumah Rian di Redong, Kelurahan Wali.

Selain jadi tempat sosialisasi, katanya, rumah Rian juga tempat penandatangan kesepakatan dengan Irwahidah.

Kantor Pengadilan Tinggi Agama Kupang di Jalan Perintis Kemerdekaan I, Kayu Putih, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang. (Situs Pengadilan Tinggi Agama Kupang)

Coreng Nama Institusi

Pengadilan Tinggi Agama Kupang mengonfirmasi telah mendapat sejumlah laporan soal Irwahidah, yang berujung pada sanksi berat.

Penetapannya sebagai hakim non palu selama dua tahun sesuai Surat Keputusan Nomor 2122/DJA/KP.02.2/SK/ 9/2022.

Selama menjalani hukuman tersebut Irwahidah juga tidak diberikan fasilitas kendaraan atau apapun. Ia juga tidak lagi menerima tunjangan sebagai hakim.

Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kupang, Arifin menyatakan, laporan soal praktik percaloan ini muncul saat Irwahidah menjadi Ketua Pengadilan Agama Labuan Bajo, jabatan yang ia emban sejak 24 Januari 2022.

Pemindahannya ke Pengadilan Tinggi Agama Kupang, katanya, “bukanlah bentuk promosi jabatan, melainkan bagian dari mekanisme hukuman yang diatur untuk memastikan adanya kontrol ketat terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.”

“MA memutuskan untuk memindahkan Ibu Irwahidah ke Kupang dengan tujuan utama menjalankan pembinaan dan pengawasan secara langsung,” kata Arifin.

Langkah tersebut, kata dia, agar “proses pemulihan perilaku dan pengawasan terhadap yang bersangkutan dapat berjalan lebih efektif.” 

Namun menurutnya, sekalipun diawasi ketat, “pengembalian uang kepada korban masih belum terselesaikan sepenuhnya.” 

“Hal ini menambah beban bagi institusi ini, karena korban terus datang menuntut pengembalian uang mereka.”, katanya. 

Ia menjelaskan, pada 2023, ada dua orang yang datang dari Ruteng dan Labuan Bajo ke Pengadilan Tinggi Agama Kupang melapor Irwahidah.

“Setelah itu, empat orang lainnya juga datang melaporkan kasus serupa,” katanya

Dari laporan itulah, kata dia, tim dari Badan Pengawasan MA melakukan pemeriksaan, hingga menyatakan Irwahidah “terbukti bersalah.”.

Kasus Irwahidah, lanjutnya, juga diperburuk oleh peminjaman uang “yang mengatasnamakan instansi” tanpa sepengetahuan pimpinan. 

Pengadilan Tinggi Agama Kupang, kata Arifin, “ikut kena getahnya”, karena itu, “menegaskan komitmen untuk tidak menutupi kasus ini.” 

Ia menekankan bahwa langkah lanjutan membawa kasus ini ke Komisi Yudisial karena tindakan Irwahidah mencoreng marwah dan integritas lembaga peradilan.

Apa Kata Irwahidah?

Floresa menghubungi Irwahidah pada 2 Desember, yang diresponsnya dengan ajakan bertemu di sebuah kafe di depan Kantor Pengadilan Tinggi Agama Kupang.

Dalam pertemuan tersebut, ia mengakui belum bisa memenuhi kewajibannya selama masa sanksi dan siap menghadapi proses lanjutan kasus ini.

“Kalau saya tidak menunjukkan itikad baik, berarti saya dipecat,” katanya, seraya menegaskan bahwa ia masih menunggu keputusan resmi.

Terkait pengembalian uang korban sesuai kesepakatan, Irwahidah mengaku belum sepenuhnya melunasinya.

Ia menyebut tiga korban, masing-masing Fidelis Hardiman, Muhamad Nur Ibrahim, dan Maria Yasinta – merujuk pada MYS, anak Lorens Jebagut. 

Irwahidah menyatakan, sebagian “uang untuk Maria Yasinta telah dikirim, sebesar Rp25 juta”, namun sisa pembayaran masih belum terpenuhi.

Ia juga menyatakan, belum menghitung total uang korban yang masih harus dikembalikan.

“Saya tidak mengingat secara pasti, tapi saya ada pembukuannya,” katanya.

“Kalau saya sudah ada uang dalam jumlah banyak, saya bisa selesaikan dengan cara menelepon mereka, tanya kurangnya berapa. Setelah itu baru saya transfer,” katanya.

Ditanyai mengenai tindakannya meminjam uang pada pihak lain dengan mengatasnamakan Pengadilan Tinggi Agama Kupang tanpa sepengetahuan atasannya, Irwahidah mengakui hal tersebut. 

“Memang benar saya meminjam uang atas nama kantor, tapi itu sudah saya selesaikan,” katanya.

Pinjaman sebesar Rp45 juta yang digantinya dengan Rp50 juta itu, menurutnya, telah dilunasi setelah ia menjual mobil pribadinya. 

Ia menyebut bahwa tindakan itu dilakukannya dalam “kondisi tertekan dan bingung.”

“Dalam kondisi seperti itu, saya tidak tahu harus berbuat apalagi,” katanya.

Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kupang, Arifin berkata, tindakan Irwahidah “adalah kesalahan pribadi oknum, tetapi dampaknya merugikan kami semua.”

“Untuk itu kami meminta media untuk membantu mengedukasi masyarakat agar tidak tertipu oleh janji serupa di masa depan,” katanya.

Editor: Anno Susabun dan Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA