Polisi Jerat Umat Katolik yang Kritisi Korporasi Keuskupan Maumere dengan UU ITE, Aktivis HAM Sebut Bentuk Pembatasan Kebebasan Berekspresi

Mengkritisi langkah PT Krisrama, kata aktivis, bukan tindak kriminal

Floresa.co – Polres Sikka di NTT menjerat umat Katolik yang mengkritik penggusuran rumah warga oleh korporasi milik Keuskupan Maumere dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik [UU ITE], bukan penodaan agama sebagaimana yang dituntut pelapor.

Sementara itu, aktivis hak asasi manusia [HAM] menilai kasus yang menjerat Cece Geliting itu merupakan bentuk upaya pembungkaman dan pembatasan kebebasan berekspresi.

Humas Polres Sikka Iptu Yermi Soludale berkata kepada Floresa, “yang pasti” polisi menggunakan UU ITE untuk memproses hukum Cece.

Namun, ia tidak menyebut spesifik pasal yang dipakai, beralasan “masih mencari alat bukti” dan “ada beberapa keterangan yang masih kurang.” 

“Jika sudah lengkap dan sesuai, baru bisa dikenakan pasalnya,” katanya.

Ia juga tidak menyebut kemungkinan menggunakan undang-undang terkait penodaan agama, sebagaimana yang diajukan pelapor, Forum Pemuda Katolik Bersatu di Polres Sikka.

Yermi berkata, selain telah memeriksa Cece, polisi juga telah memeriksa enam saksi.  Lima di antaranya adalah saksi pelapor dan satu orang yang disebut sebagai teman Cece.

“Penyelidik berencana akan melakukan undangan untuk pemeriksaan tambahan terhadap enam orang saksi dan terduga pelapor,” kata Yermi pada 20 Februari.

Selain tidak menyebut nama saksi, ia juga tidak menyebut kapan pemeriksaan lanjutan digelar.

Jika dari hasil penyelidikan lebih lanjut ditemukan minimal dua alat bukti, katanya, penyidik akan menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan.

Cece Geliting telah diperiksa pada 4 Februari, sepekan setelah dilapor oleh Forum Pemuda Katolik Bersatu pada 28 Januari.

Pelaporan terkait dengan kritiknya terhadap langkah PT Kristus Raja Maumere [PT Krisrama] yang menggusur 120 rumah dan tanaman milik warga Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai di Nangahale, Kecamatan Talibura pada 22 Januari.

Dalam unggahannya di Facebook pada 25-27 Januari, ia memuat sejumlah postingan yang mengkritisi aksi korporasi itu.

Salah satunya adalah gambar menyerupai jubah pemuka agama dengan kepala berupa moncong alat berat. 

Ia membuat tulisan yang menyertai gambar itu: “Dalam pikiranku sekarang adalah romo berkepala eksavator, bukan jadi penjala manusia tapi penggusur manusia, bukan mengurus iman umatnya, tapi menimbun kekayaan, bukan membangun gereja, tapi memusnahkan hunian umat dan bukan menyebarkan cinta kasih tapi menyebarkan kebencian.”

Gambar menyerupai jubah tokoh agama dengan bagian kepala seperti moncong alat berat yang diunggah Cece Geliting di Facebooknya. (Facebook)

Penggusuran pada 22 Januari terkait konflik lahan bertahun-tahun antara warga adat dengan Gereja Katolik. 

Di satu sisi, PT Krisrama yang mengantongi Hak Guna Usaha atas lahan itu menuding warga mendudukinya tanpa dasar hukum. Di sisi lain, warga adat meyakini lahan itu adalah milik mereka, yang dirampas sejak era kolonial Belanda, berlanjut ke penguasaan oleh Gereja Katolik pasca kemerdekaan.

Ditanya apakah dalam kasus ini pihak Keuskupan Maumere juga akan dipanggil, Yermi, Humas Polres Sikka berkata, “siapapun akan dipanggil jika memenuhi unsur dan alat bukti.”

Menurut Cece, kasus ini telah membuatnya kehilangan rasa aman dan pekerjaan.

Cece, transpuan yang bekerja sebagai penata rias, mengaku telah kehilangan klien karena ponselnya disita saat saat pemeriksaan pada 4 Februari. 

Untuk bertahan hidup, katanya, ia kini menumpang di sekretariat Fajar Sikka, sebuah komunitas yang peduli dan memberi pendampingan bagi minoritas seksual.

Pembatasan Kebebasan Berekspresi

Direktur organisasi advokasi Human Rights Working Group, Daniel Awigra mempersoalkan proses hukum terhadap Cece, menyebut kritik Cece melalui Facebook termasuk bagian dari kebebasan ekspresi yang dijamin  Pasal 28 E Undang-Undang Dasar 1945. 

Pasal itu mengatur tentang kebebasan beragama, berkeyakinan, berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. 

Ia menyebut tulisan bernada kritikan di Facebook Cece bukan tindakan kriminal.

Daniel juga menyatakan, penyitaan ponselnya oleh Polres Sikka adalah bentuk perampasan hak dan kepemilikan pribadi.

“Polisi dilarang merampas ponsel, karena itu mengekang kebebasan ekspresi,” katanya.

Sementara itu, Andreas Harsono, peneliti senior Human Rights Watch, lembaga yang berbasis di New York, Amerika Serikat mengkritisi soal tudingan penodaan agama terhadap Cece yang menjadi dasar pelaporan oleh Forum Pemuda Katolik Bersatu.

Ia berkata, “penodaan agama” dalam pasal 156a KUHP termasuk pasal karet, merujuk pada pasal yang tolok ukurnya tidak jelas , sehingga dapat ditafsirkan secara subjektif. 

Menurut beberapa studi dari sejumlah lembaga, kata dia, pasal itu lebih banyak dipakai buat membungkam suara yang kritis. 

“Di Indonesia, pasal ini sering dijadikan senjata politik buat mengalahkan orang yang kritis dan vokal,” kata Andreas.

Lebih parahnya lagi, tambahnya, pasal ini yang umumnya dipakai oleh warga Muslim sebagai mayoritas di Indonesia, belakangan mulai dipakai juga oleh kelompok Kristen Protestan dan Katolik.

Andreas menyebut pasal ini secara substansi merongrong kehidupan demokrasi, merugikan kepentingan masyarakat umum dan hanya melayani kepentingan kalangan yang berduit dan berkuasa.

Karena itu, ia mendesak agar polisi membatalkan tuntutan pemidanaan terhadap Cece.

“Jika ini tetap dibiarkan, bisa jadi kemunduran buat kehidupan beragama di Maumere khususnya dan Flores umumnya,” kata Andreas.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA