YLBHI Ajukan Amicus Curiae ke PTUN, Dukung Gugatan untuk Percepatan Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Warga adat dari Manggarai Timur salah satu yang ikut mengajukan gugatan ke PTUN

Floresa.co – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI] mengajukan Amicus Curiae ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta, menuntut pengadilan mengabulkan gugatan masyarakat adat dalam perkara terkait lambannya pengesahan Rancangan Undang-Undang [RUU] Masyarakat Adat oleh DPR RI.

Amicus Curiae adalah suatu praktik hukum pelibatan pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dalam perkara untuk memberikan kontribusi dalam peradilan melalui penyampaian pendapat hukum tertulis, yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan majelis hakim dalam membuat keputusan. 

“YLBHI mendesak PTUN mengabulkan gugatan masyarakat adat, dan mendesak pemerintah dan DPR serius menjamin penghormatan dan perlindungan masyarakat adat serta mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat,” kata YLBHI dalam siaran pers yang diterima Floresa pada 14 Mei.

Desakan lembaga tersebut terkait dengan Perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN-JKT yang diajukan warga adat dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN], dengan tergugat DPR RI dan presiden.

Sebelumnya pada 25 Oktober 2023, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara [PPMAN] mendaftarkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo dan DPR RI karena tidak kunjung mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

Gugatan tersebut, yang diajukan oleh perwakilan dari sembilan komunitas masyarakat adat dan AMAN.  Salah satunya adalah Mikael Ane, anggota komunitas adat Ngkiong, Desa Ngkiong Dora, Kecamatan Lamba Leda Timur, Kabupaten Manggarai Timur yang tahun lalu divonis 1,6 tahun dalam perkara terkait tapal batas dengan Taman Wisata Alam Ruteng. Ia dibebaskan baru-baru ini dalam putusan kasasi Mahkamah Agung.

Mereka mempersoalkan RUU itu yang sudah berproses sejak 2009 dan telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas [Prolegnas Prioritas] DPR pada 2022, tetapi tak kunjung naik ke tingkat II atau paripurna.

Ruang Hidup Masyarakat Adat Kian Sempit

YLBHI menyebut gugatan itu “sebagai upaya masyarakat adat untuk mencari keadilan, memperjuangkan hak-hak secara kolektif, serta menjaga ekosistem dan lingkungan hidup.”

Ruang hidup masyarakat adat kian menyempit karena tergerus oleh kegiatan-kegiatan ekstraktif maupun kebijakan negara atas nama pembangunan. Praktik pengusiran terhadap komunitas masyarakat adat juga disertai dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi,” demikian pernyataan lembaga tersebut.

Masalah tersebut terjadi, kata YLBHI, akibat “ketiadaan undang-undang yang memadai untuk melindungi masyarakat adat.” 

“Selama kurang lebih 10 tahun RUU Masyarakat Adat mengendap di Dewan Perwakilan Rakyat RI, meski beberapa kali sudah masuk Prolegnas, namun hingga saat ini tidak kunjung disahkan,” tulis lembaga itu.

Lembaga tersebut juga menyinggung sikap pemerintah dan DPR yang malahan cepat dalam membahas dan mengesahkan UU Minerba dan UU Cipta Kerja, dua peraturan yang “justru mengancam ruang hidup masyarakat hukum adat.”

“DPR dan Presiden Melanggar HAM”

Terkait alasan pengajuan Amicus Curiae, YLBHI mengatakan kewajiban negara untuk mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat tertuang dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 bertanggal 16 Juni 2011 dan Nomor 35/PUU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2013.

“Karenanya, demi menjamin kepastian hukum yang berkeadilan, DPR sebagai fungsi legislasi dan presiden wajib membuat undang-undang untuk melindungi kesatuan masyarakat adat beserta wilayah dan hak-hak tradisionalnya,” kata YLBHI.

Lembaga itu juga menyatakan presiden dan DPR telah melakukan dua pelanggaran, yakni pelanggaran HAM by omission [dengan pembiaran] dan pelanggaran terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik [AAUPB].

“Bahwa secara faktual terjadinya banyak peristiwa penggusuran dan kekerasan terhadap masyarakat adat, akibat kegagalan negara dalam melindungi masyarakat adat sebagai subjek hukum (by omission).”

Tindakan abai dari DPR RI dan presiden, kata lembaga tersebut, telah melanggar asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas pelayanan yang baik, dan asas tertib penyelenggaraan negara.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, YLBHI mendesak majelis hakim PTUN Jakarta untuk mengabulkan gugatan masyarakat adat.

Pihak PTUN, kata lembaga itu, harus “mempertimbangkan aspek keselamatan rakyat/masyarakat adat dan lingkungan dari ancaman penggusuran, pengusiran paksa, kekerasan, dan kriminalisasi” dalam putusan perkara tersebut.

Selain itu, PTUN juga diminta untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat adat.

“Memastikan adanya jaminan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia berupa hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, hak atas partisipasi dalam pembangunan, hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self determination) dan hak atas tanah dan sumber daya alam (right to land and natural resources) yang dijamin oleh UUD 1945 dan Undang-Undang,” tulis YLBHI.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA