Floresa.co – Keuskupan Agung Ende menolak bergabung dalam tim investigasi proyek geotermal yang diinisiasi Pemerintah Provinsi NTT karena meragukan independensinya yang melibatkan perusahaan-perusahaan pelaksana proyek.
Dalam surat pada 28 April merespons ajakan bergabung dalam tim itu, Romo Damianus Dionisius Nuwa, sekretaris keuskupan menyatakan, tujuan pembentukan tim itu adalah untuk investigasi dan pengumpulan data-data lapangan yang mesti bersifat independen.
“Namun, kami menemukan bahwa PT Perusahaan Listrik Negara dan Perusahaan Pengembang Panas Bumi sebagal pihak yang berkaitan langsung dengan proyek pengembangan geotermal ini dilibatkan pula dalam tim,” katanya dalam surat itu yang ditujukan kepada Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi NTT, Flouri Rita Wuisan.
Perusahaan-perusahaan itu “merupakan pihak yang sedang dievaluasi dalam pelaksanaan proyek geotermal.”
Gubernur Melkiades Laka Lena mengumumkan rencana pembentukan tim itu setelah pada 9 April ia mengadakan rapat dengan para bupati dan pimpinan perusahaan geotermal agar “tidak ada yang mengklaim benar sendiri” terkait proyek-proyek ini.
Tim ini, katanya, akan melibatkan semua pihak terkait—baik perusahaan, pemerintah, tokoh adat, tokoh agama, maupun ahli lingkungan—untuk turun langsung ke lapangan.
Ia menyatakan, tidak boleh ada lagi protes setelah tim itu melakukan investigasi.
Rapat berujung niat pembentukan tim itu terjadi setelah pada 4 April Laka Lena juga bertemu dengan Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD di Ende. Uskup Budi telah memimpin para uskup di Flores secara tegas menolak proyek-proyek itu.
Menurut Romo Damianus, alih-alih melibatkan perusahaan dan kelompok yang kontra, “kita membutuhkan sebuah tim yang terdiri dari akademisi serta didampingi oleh para ahli yang sungguh independen.”
Tim itu akan melakukan kajian geologis, ekologis, sosiologis dan budaya serta memberi rekomendasi atas pelaksanaan proyek geotermal di Flores selama ini.
“Tidak seharusnya kita melibatkan pihak yang sedang melaksanakan ataupun yang menolak proyek tersebut,” katanya.
Romo Damianus menambahkan, Pulau Flores terdiri dari lima keuskupan dan para uskup sudah menandatangani Surat Gembala Bersama Prapaskah tahun ini yang salah satu poinnya menegaskan sikap menolak proyek geotermal di Flores.
“Gereja Keuskupan Agung Ende tidak melihat geotermal sebagal pilihan yang tepat untuk konteks kami yang terdiri dari tiga kabupaten: Ngada, Nagekeo dan Ende, dengan alasan utama topografi Flores yang berbukit-bukit dan menyisakan sedikit lahan untuk pertanian dan tempat tinggal,” katanya.
“Dan, 70-80% umat Keuskupan Agung Ende adalah petani yang sungguh menggantungkan hidupnya pada musim yang silih berganti serta pertanian sebagal unsur penting yang membentuk budaya masyarakat lokal,” kata dia.
Ia menambahkan, “jika proyek geotermal tetap dipaksakan maka masyarakat lokal akan kehilangan lahan pertanian, kehilangan hak hidup dan kehilangan warisan budaya yang selama ini mereka jaga dan junjung tinggi.”
“Kami tetap berkomitmen untuk berpihak pada masyarakat yang menjadi korban dari proyek geotermal ini,” katanya.
Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang menyatakan, pembentukan tim investigasi itu sekilas terdengar sebagai respons progresif terhadap tekanan sosial.
“Namun jika diperiksa lebih saksama, ini tak lebih dari strategi manipulatif untuk menenangkan resistensi yang membesar,” katanya.
Pembentukan tim itu, kata dia, mengundang ironi besar karena bagaimana mungkin evaluasi yang objektif diharapkan dari tim yang anggotanya terdiri dari mereka yang justru menjadi bagian dari masalah.
“Apa garansi bahwa tim investigasi ini akan bekerja secara independen? Apakah mungkin tim ini akan mampu memberikan evaluasi yang objektif dan tanpa bias, sementara otoritas politik lokal dan para pelaksana proyek—yang menjadi sumber konflik dan penolakan—justru memegang posisi kunci dalam tim tersebut?” katanya.
Ia menjelaskan, sejarah panjang proyek ekstraktif di Indonesia menunjukkan pola yang berulang; ketika konflik sosial membesar, negara kerap merespons dengan membentuk tim, satgas, atau forum dialog yang dibungkus jargon partisipatif.
“Pola ini tampak hendak diulang di Flores,” katanya.
Ia menyatakan, umbar janji pembentukan tim investigasi juga menjadi ironi karena pemerintah pusat dan daerah malah memantapkan koordinasi percepatan proyek geotermal.
Melky merujuk pada rapat di Kupang pada 28 April yang dipimpin Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Yuliot Tanjung. Ia hadir bersama Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Eniya Listiani Dewi dalam rapat bersama gubernur dan para bupati itu.
Dalam surat undangan pemerintah Provinsi NTT, rapat itu disebut untuk koordinasi percepatan pengembangan geotermal di Flores.
Proyek panas bumi di Flores merupakan bagian dari rencana transisi energi pemerintah untuk memenuhi target infrastruktur listrik Indonesia sebesar 35.000 megawatt.
Pemerintah menetapkannya sebagai Pulau Panas Bumi pada tahun 2017 dan mengidentifikasi 16 lokasi proyek.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pulau Flores memiliki potensi sebesar 902 megawatt atau 65 persen dari total kapasitas di Provinsi NTT.
Namun, proyek-proyek ini memicu resistensi warga lokal, karena lokasinya berdekatan dengan pemukiman dan lahan pertanian mereka.
Salah satu yang terus menjadi sorotan adalah proyek panas bumi Mataloko yang dijalankan oleh PT Perusahaan Listrik Negara.
Proyek ini dimulai pada tahun 1998 dan sejauh ini gagal menghasilkan listrik. Sementara itu lubang pengeborannya terus mengeluarkan lumpur panas yang merusak lahan pertanian di sekitar.
Masalah di proyek Mataloko menjadi salah satu pemicu lahirkan penolakan terbuka Uskup Budi pada awal Januari.
Ia menyebut sikapnya muncul “setelah mendengar kesaksian dari warga di Sokoria dan Mataloko serta hasil diskusi dengan para imam.”
Ia bahkan mendorong umat untuk memberi perhatian lebih dan membangun kesadaran dengan menyebarkan informasi ilmiah maupun pengalaman-pengalaman warga terdampak.
Suara yang sama kemudian ditegaskan enam uskup di Provinsi Gerejawi Ende dalam pernyataan bersama pada Maret lalu.
Mereka mempertanyakan arah pembangunan di Flores dan Lembata, “apakah sungguh membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?”
Editor: Ryan Dagur