Kami Dapat Penghargaan, Juga Mohon Dukungan untuk Bertahan

Berusia satu dekade, Floresa berusaha merawat jurnalisme yang melayani kepentingan publik di tengah beragam tantangan, termasuk intimidasi

Floresa.co – Sekitar sebulan lalu saya dapat informasi dari seorang staf MAW Talk yang berbasis di Yogyakarta. Staf itu memperkenalkan MAW Talk yang dirintis Asmono Wikan, salah satu anggota Dewan Pers, sebagai sebuah ekosistem media baru yang fokus pada tiga isu; public relations, media dan kepemimpinan.

Ia juga memberi tahu MAW Talk secara rutin memberi apresiasi kepada para pemimpin dan tokoh-tokoh berpengaruh di bidang layanan publik, bisnis, kemasyarakatan, media, dan public relations melalui ajang tahunan MAW Talk Awards. Yang dipilih adalah mereka yang dipandang berintegritas dan memberi pengaruh secara luas bagi publik.

Ia menyebut Floresa sebagai salah satu dari empat pemenang kategori Lembaga Media Berpengaruh dalam ajang MAW Talk Awards 2024.

Kabar itu mengundang tanya, karena kami tidak pernah tahu mengapa Floresa ikut terpilih.

Dari undangan yang kemudian dikirim menyusul, kami menemukan alasannya; MAW Talk menyebut kiprah Floresa selama ini “telah memberikan pengaruh positif bagi ekosistem media di Indonesia, khususnya di sektor media lokal.”

Dengan berbagai pertimbangan, saya kemudian mewakili rekan-rekan menerima penghargaan itu. Pada 28 Juni, kami menerimanya di Hotel Grand Tjokro, Yogyakarta.

Penerima penghargaan terbagi atas tujuh kategori. Kategori lainnya untuk media adalah Tokoh Media Berpengaruh. Dalam daftar nama tokoh-tokoh media berpengaruh peraih penghargaan tahun ini ada nama Luviana Ariyanti dari Konde.co, Luh Deh Suryani dari Balebengong.id – keduanya media alternatif – dan Dandhy Dwi Laksono dari Watch Doc. Ketiga nama ini familier di kalangan teman-teman Floresa.

Penjurian untuk menentukan pemenang MTA 2024 dilakukan berbasis desk research di media digital selama dua bulan dengan menjaring hampir 100 kandidat pada tiap kategori. Selanjutnya daftar kandidat difinalisasi melalui penjurian kualitatif.

Lima juri penentu akhir pemenang adalah akademisi komunikasi dari lima perguruan tinggi di Yogyakarta; Masduki [Universitas Islam Indonesia], Rahayu [Universitas Gajah Mada], Adhianty Nurjanah [Universitas Muhammadiyah Yogyakarta], Christina Rochayanti [UPN Veteran Yogyakarta] dan Lukas Ispandriarno [Universitas Atma Jaya Yogyakarta].

MAW Talk Awards menjadi pengakuan publik kedua dalam bentuk penghargaan yang diterima Floresa, setelah tahun lalu mendapat Udin Award dari Aliansi Jurnalis Independen, penghargaan untuk mendorong kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia.

Saya ingat reaksi teman-teman Floresa ketika mendapat informasi tentang dua penghargaan ini. Ada perasaan senang mendapat kabar yang datangnya tiba-tiba. Namun, ada semacam perasaan tak percaya juga; mengapa Floresa?

Saya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk bercerita sedikit tentang Floresa yang tahun ini genap berusia satu dekade.

Floresa berdiri pada 2014. Soal kapan waktu persisnya, kami lupa. Namun, ide awalnya kira-kira lahir antara Januari atau Februari 2014.

Teman-teman yang merintisnya kala itu berada di Jakarta. Ada yang sebagai jurnalis, mahasiswa, peneliti dan aktivis.

Niat melahirkan Floresa berangkat dari pertanyaan sederhana ini; apa yang bisa dilakukan agar kami bisa tetap terhubung dengan kampung halaman?

Sambil minum kopi sore hari di sebuah kos di gang sempit Jakarta, dibahaslah beragam kemungkinan. Selain sepakat memilih untuk merespons beragam isu di Flores dengan diskusi, juga aksi unjuk rasa dengan kawan-kawan mahasiswa di garis depan, membangun sebuah media dianggap jadi wadah yang pas, karena bisa dikerjakan di sela-sela kesibukan lain.

Dipilihlah nama Floresa, akronim yang kami pakai untuk Flores, Lembata dan Alor. Niatnya memang bisa menjangkau semua pulau ini, meski hingga sekarang masih belum terwujud.

Sejak awal Floresa bermodalkan dana saweran dari teman-teman sendiri. Mulanya dibuat dalam format majalah. Tema pertama yang diangkat dalam edisi perdana adalah soal polemik investasi tambang di Manggarai yang ketika itu sedang memanas.

Karena dana terbatas, setelah semua material majalah jadi, kami mengontak salah satu lembaga advokasi Gereja Katolik yang peduli dengan Flores untuk bersedia membeli 500 eksemplar pertama demi menggenapi ongkos cetak. Edisi perdana cetak pada April 2014.

Versi cetak ini hanya bertahan dua edisi. Kami ragu akan tetap bertahan karena hasil penjualan di edisi kedua hanya cukup untuk ongkos cetak edisi ketiga. Mempertimbangkan soal efisiensi dana, kami memutuskan beralih ke media siber.

Semuanya dikerjakan dengan memberdayakan tim sendiri. Untuk membuat website misalnya, tim sendiri yang belajar otodidak dan itu bertahan hingga kini.

Pada periode-periode awal, kami berkolaborasi dengan kawan-kawan jurnalis berbasis di Flores. Jadi, liputan teman-teman di lapangan, selain diolah untuk media mereka, juga dikirim ke tim editor kami yang mengemasnya lagi dengan gaya Floresa.

Cara ini bertahan bertahun-tahun, hingga beberapa tahun lalu kami sudah bisa memiliki reporter sendiri.

Floresa melalui banyak fase, juga tantangan-tantangan, mulai dari represi, dilaporkan ke Dewan Pers, tekanan dari pihak-pihak yang disorot dalam pemberitaan, hingga ancaman kekerasan fisik.

Tim yang menangani Floresa juga sudah berganti-ganti, namun ada beberapa yang bertahan sejak 2014. Mereka yang jadi alumni, ada yang kini berkarir di dunia riset, jadi jurnalis di media lain, juga studi lanjut dan jadi akademisi.

Satu hal yang terus dijaga adalah menjadikan Floresa sebagai media yang mengambil sikap kritis dan independen dari berbagai kelompok kepentingan, terutama mereka yang berkuasa. 

Pilihan sikap seperti ini memang dengan mudah dicap macam-macam, seperti antipembangunan, mengganggu dan seterusnya.

Namun, jalan yang kami pilih sebetulnya adalah berusaha tidak begitu saja mengamini klaim-klaim ‘surga’ dari setiap agenda penguasa dan pemodal, tetapi mempertanyakannya, membongkarnya, mengulitinya, agar kemudian sedapat mungkin punya manfaat untuk kepentingan publik.

Kami juga selalu berupaya memeriksa niat ketika menulis sebuah kasus. Kami memastikan bahwa niatnya adalah baik, yaitu untuk kepentingan publik, bukan untuk menyerang pihak tertentu sekaligus memastikan agar setiap laporan mematuhi kode etik jurnalistik. Pola seperti ini membuat kami nyaman untuk menulis laporan-laporan, yang kadang dianggap terlalu berani oleh sejumlah pihak.

Karena tim terbatas, kami memilih fokus pada isu-isu tertentu yang muatan kepentingan publiknya besar. Kami mengutamakan topik yang penting dan dibutuhkan publik, bukan yang hanya disukai publik. Yang disukai tidak selalu penting, bisa jadi hanya untuk melayani selera pembaca.

Dalam beberapa tahun terakhir, teman-teman juga mengembangkan sejumlah inisiatif lain.

Kami mengorganisasi sejumlah pelatihan dan lokakarya bagi para jurnalis kami dan jurnalis media lain di Flores, komunitas kaum muda dan warga di sejumlah lokasi yang dilanda konflik. Kami juga membantu penyaluran beasiswa liputan kepada para jurnalis lain di Flores.

Floresa juga kini telah bertumbuh dengan jumlah jurnalis dan kontributor yang makin menyebar. Setelah sebelumnya lebih banyak fokus di Flores bagian barat, tahun lalu sudah mulai merambah ke wilayah bagian timur Flores, juga satu jurnalis berbasis di Pulau Timor.

Perkembangan lain yang penting adalah sudah ada perempuan di tim kami, sejak tahun lalu. Kehadiran mereka memberi warna tersendiri, yang juga memicu kami membuat satu kanal khusus, Perempuan Bicara. Inisiatif ini jadi penting di tengah terbatasnya ruang bagi rekan-rekan perempuan di ruang publik, sementara mereka rentan jadi korban kekerasan, salah satunya karena dominasi budaya patriarki yang kuat.

Inisiatif lain yang dikembangkan mulai awal tahun ini adalah merintis halaman khusus KoLiterAksi, sebuah wadah menulis yang kami dedikasikan untuk kawan-kawan pelajar, mahasiswa, guru dan dosen. Inisiatif ini, dalam kolaborasi dengan lembaga riset dan advokasi Sunspirit for Justice and Peace serta Rumah Baca Aksara, telah mengundang banyak penulis dari institusi pendidikan di NTT dan luar NTT membagikan pandangan dan ilmu mereka lewat artikel.

Di sisi lain, kolaborasi dengan elemen lain terus dikembangkan, termasuk dengan media-media nasional, seperti Project Multatuli, dengan lembaga-lembaga pers dan jurnalis, seperti Aliansi Jurnalis Independen dan Asosiasi Media Siber Indonesia.

Beberapa liputan kami juga dikerjakan atas dukungan dari lembaga seperti Earth Journalism Network, sebuah jaringan jurnalis lingkungan global.

Tantangan untuk bertahan pada jalur yang dipilih sekarang memang tidak mudah. Setiap laporan jurnalistik kami dikerjakan oleh rekan-rekan di lapangan yang kadang-kadang harus berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seperti penolakan, dicurigai, bahkan diancam.

Pada tahun lalu misalnya, website dan akun WhatsApp dan Telegram salah satu rekan kami diretas ketika menulis soal pengabaian hak warga di wilayah selatan Labuan Bajo mendapat ganti rugi lahan yang digusur untuk proyek jalan. Ada upaya intimidasi juga dari aparat.

Apa yang membuat kami terus bertahan? Salah satunya, dan yang terutama, adalah dukungan publik. Tidak saja oleh mereka yang merasa bahwa kerja-kerja jurnalistik kami tidaklah mudah dan karena itu perlu disokong, juga terutama warga di kampung-kampung yang merasa kami jadi teman baik untuk menyuarakan suara mereka.

Hingga kini kami mendapat dukungan dana operasional dari beberapa lembaga yang bersedia mendukung kami. Namun, jumlahnya terbatas, yang membuat kami merasa belum berbuat banyak, karena keterbatasan tenaga dan finansial.

Dalam beberapa waktu terakhir, kami merintis beberapa insiatif mencari dana, seperti menjual baju, menggalang dukungan dana publik demi memastikan kami bisa bertahan lebih lama lagi dan berkontribusi lebih banyak untuk publik.

Karena itu, pada akhir tulisan ini, mewakili teman-teman, memohon dukungan Anda yang sempat membaca tulisan ini, untuk ikut membantu kami. Kami telah membuat sebuah form donasi untuk menyalurkan bantuan, yang bisa langsung diklik di sini: https://sociabuzz.com/floresa/tribe atau langsung mengirim ke rekening kami di sini.

Kami sekaligus berterima kasih untuk rekan-rekan yang telah lebih dahulu menyumbang.

Kami butuh lebih banyak orang lagi, berapapun yang bisa diberikan.

Sekali lagi, terima kasih untuk semua dukungan kepada Floresa. Dukungan, juga dalam bentuk penghargaan, jadi semacam vitamin yang menambah stamina untuk terus bertahan.

Satu lagi, dukungan juga bisa berupa kritikan. Jika kami keliru dan menjauh dari ide awal Floresa, kritiklah. Kami akan menerimanya, dari siapapun. Juga ketika kawan-kawan mendapat informasi bahwa tim kami abaikan kode etik atau lakukan pelanggaran lainnya, kabari kami.

Kami yakin, tugas untuk menjaga marwah jurnalisme yang melayani kepentingan publik adalah tugas kita semua; kami, juga kawan-kawan sekalian.

Ryan Dagur memimpin redaksi Floresa pada 2014-2017, saat ini sebagai pemimpin umum sekaligus editor

spot_imgspot_img

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Juga Artikel Lainnya