Oleh: ALFRED TUNAME, Kolumnis Floresa.co
Awal bulan ini, Deno Kamelus, Wakil Bupati Manggarai menyampaikan pernyataan yang memicu perdebatan hangat. Pernyataan itu ia sampaikan saat mengikuti acara wisuda mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) St. Paulus Ruteng.
Perguruan tinggi, termasuk STKIP, demikian kata Deno saat itu, “tidak boleh memainkan peran politik”. Sebab, itu di luar amanah undang-undang (UU)” (Floresa.co, 9/11/2014). UU yang ia maksud adalah UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Menurut UU itu, fungsi perguruan tinggi adalah pendidikan, pelatihan dan pengabdian.
Respon publik atas penyataan Deno berujung pada kritikan tajam dan koor sinis. Hal ini wajar secara politis, sebab di tengah mirisnya praktik kekuasaan politik lokal, rakyat butuh agen-agen yang mampu bergerak taktis dan berpikir kritis mengambil sikap. Salah satu di antaranya adalah mahasiswa.
Kritikan terhadap Deno, kiranya dilandasi pada prinsip dasar yang mesti ada dalam sistem demokrasi, antara lain, adanya mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Dan, selalu, kontrol itu dimainkan oleh kelompok-kelompok sipil, entah mahasiswa, organisasi massa, atau pun individu. Mereka-mereka ini adalah bagian dari apa yang kita sebut sebagai masyarakat sipil atau civil society.
Karena itu, ada anggapan bahwa sebuah demokrasi matang, bila masyarakat sipilnya kuat. Karena kehadiran mereka akan menentukan baik tidaknya praktek berdemokrasi. Mereka itu, dengan tetap mempertahankan dua aspek penting dalam memberi kontrol, yaitu rasionalitas dan etis, kerap disebut juga sebagai anjing penjaga.
Sebutan itu, tidak bermaksud menyamakan mereka dengan binatang, tetapi merujuk pada fungsi mereka, sebagai kelompok yang siap berteriak, saat menjumpai ketidakadilan, kebobrokan dalam proses berdemokrasi.
Praktek kontrol terhadap kekuasaan itulah – yang tentu saja digerakkan oleh agenda menjamin tercapainya kesejahteraan bersama – adalah bagian dari apa yang kita sebut berpolitik.
Lantas, karena itulah ketika pernyataan Deno diartikan, misalnya, sebagai “mahasiswa tidak boleh bermain politik”, maka pernyataan itu memang pantas tidak bisa diterima begitu saja.
Sejarah perjuangan bangsa kita sudah menyajikan banyak contoh, tentang bagaimana pergerakan Indonesia merdeka dimulai dari mahasiswa? Mohamad Hatta, misalnya harus membagi waktunya untuk menjadi mahasiswa dan aktivis ketika ia memimpin organisasi “Perhimpoenan Indonesia” setelah pada tahun 1925 berubah nama dari “Indische Vereeniging”. Organisasi itu mengaktifkan semangat politik dari hanya sekadar perkumpulan mahasiswa yang belajar di Belanda.
Selain itu, semangat nasionalisme lahir dari inisiatif para “pemuda” (jong) dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Saat itu, pemuda berarti muda dan terpelajar. Dari semangat merekalah, muncul elite-elite politik nasional yang menghantarkan Indonesia menuju kemerdekaan. Selain Hatta, di antaranya juga kita kenal Soekarno, Sutan Sjahrir dan Tan Malaka.
Para tokoh politik nasional dan the founding fathers itu, tentu tidak hanya meninggalkan nama besar tetapi juga inspirasi dan semangat. Bahwa semangat kemerdekaan harus diisi dengan praktik pemerintahan yang bersih dan adil.
Hatta menyebutnya sebagai demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Kebebasan dan kesejahteraan rakyat harus menjadi paket utuh dalam berdemokrasi. Cita-cita kemerdekaan ini terus terpatri dalam diri orang-orang muda yang selalu terinspirasi oleh riwayat partiotik Hatta muda, Soekarno muda, Sjahrir muda, Tan Malaka muda, dan seterusnya.
Dengan demikian, partisipasi mahasiswa, sebagai orang muda dan terpelajar, ikut ambil bagian dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Partisipasi ini merupakan hak politik warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Soekarno mengatakan, “Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”.
Kalau kita tidak ahistoris, geliat politik Indonesia modern justru diwarnai oleh gerakan mahasiswa dan orang muda yang kritis, sehingga melahirkan era reformasi pasca1998, yang ditandai dengan tumbangnya praktik politik otoritarian rezim orde baru di bawah Soeharto.
Lantas, atas dasar apa Deno mengambil sikap “otoritarian” dengan melarang mahasiswa terlibat dalam aktivitas politik?
“Yang Politis”
Namun, bia pernyataan Deno, “tidak boleh memainkan peran politik di kampus ini” diterjemahkan sebagai purifikasi universitas dari geliat-geliat politik lokal, maka ada benarnya juga. Itu berarti pernyataan itu merupakan bentuk kritik santun atas STKIP sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi.
Kalau kita membaca Magna Charta Universitatum, universitas adalah insitusi otonom yang berada dalam jantung masyarakat yang diatur secara berbeda sesuai dengan geografi dan warisan sejarah (J. Bismoko dalam jurnal Retorika, 2001: 23). Mengacu pada definisinya universitas merupakan komunitas dengan etos dan tradisi menalar demi perbaikan derajat kemanusiaan manusia (bdk. Agus Sugiwignyo, dalam jurnal Retorika 2001, hlm. 11).
STKIP (dalam rangka menuju status universitas) berada dalam jalur ini, yakni otonom, unik dan humanis. Sebagai sebuah lembaga yang otonom.
STKIP sebagai sebuah lembaga telah berhasil melahirkan generasi yang kreatif, kritis dan berbudaya. Mereka siap mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negera. Maka, politik di kampus bukanlah politik (politics) dalam arti kedurjanaan dan permainan kekuasaan, melainkan politik “yang-politis” (the political).
“Yang Politis” di kampus adalah usaha kritis dan emansipatoris agen demokrasi (mahasiswa) untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Operasi “Yang Politis” para mahasiwa merupakan wujud pengabdian luhur kepada masyarakat. Bahwa mahasiwa bukanlah “intelektual menara gading”, melainkan sahabat masyarakat.
Larangan Deno terhadap “politik” di kampus STKIP, bagi saya, bisa diterima bila dmengerti dalam konteks jelang Pilkada Manggarai 2015. Kecurigaan itu benar manakala kampus yang menjadi “sarang” intelektual muda diboncengi lawan-lawan politik untuk menyerang status quo.
Pernyataan Deno mengingatkan STIKP untuk imun dari praktik politik kekuasaan. Secara kelembagaan, STKIP tentu sudah memiliki imunitas dari praktik politik kekuasaan. STKIP memiliki otonomi itu.
Tetapi, Deno tidak bisa melarang mahasiswa untuk bergumul dalam politik emasipatoris (the political), sebab itu berarti ia melakukan “denkverbot” (semacam larangan untuk berpikir).
Jika itu yang dimaksudkan Deno dengan melarang politik di kampus, maka Deno telah mengebiri jiwa kepemimpinan dan integritas generasi muda Manggarai.