Floresa.co – Keuskupan Ruteng, otoritas tertinggi Gereja Katolik di Flores barat, NTT memilih meneruskan kepada pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] sikap warga Poco Leok yang menolak proyek geothermal di wilayah mereka.
Dalam dokumen yang diperoleh Floresa, Romo Alfons Segar, Vikaris Jenderal memimpin tim Keuskupan bertemu dengan pimpinan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] dan PT PLN pada 2 Agustus.
Dalam rapat itu, sebuah risalah hasil dialog tim Keuskupan dengan warga Poco Leok diserahkan, yang isinya adalah pernyataan sikap menolak proyek itu.
Berita acara pertemuan itu kemudian ditandatangani Romo Alfons dan Dede Mairizal, Manajer Senior Pertanahan, Perizinan, dan Komunikasi PLN UIP Nusa Tenggara, otoritas PLN yang membawahi wilayah hingga NTT.
Romo Alfons mengkonfirmasi kepada Floresa pada 3 Agustus perihal pertemuan tersebut.
Ia menjelaskan, selama pertemuan, Kementerian ESDM dan PLN menyampaikan informasi tentang proyek Poco Leok, yang adalah perluasan dari Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] Ulumbu.
Sementara tim Keuskupan Ruteng, kata Alfons, “menyampaikan aspirasi masyarakat Poco Leok”.
“Dialog mengedepankan kesejahteraan, keadilan, keutuhan lingkungan hidup, keutuhan budaya dan spiritualitas masyarakat lokal dan jaminan akan keselamatan,” katanya.
Tim Keuskupan Ruteng yang terlibat dalam pertemuan itu, kata dia, adalah dari Pusat Pastoral dan Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation [JPIC].
Poin-poin Penolakan
Dokumen risalah rapat hasil pertemuan warga dan Keuskupan Ruteng yang diserahkan kepada PT PLN dan Kementerian ESDM dalam pertemuan itu berjudul “Aspirasi (Curahan Hati) Warga Poco Leok Tentang Rencana Pengembangan Geothermal Ulumbu.”
Dokumen itu merupakan hasil pertemuan pada 12 Juli antara Keuskupan dengan warga dari 10 kampung adat atau Gendang di Poco Leok, yaitu Mocok, Mucu, Lungar, Nderu, Mesir, Cako, Tere, Rebak, Jong dan Mori.
Tadeus Sukardin, warga Kampung Lungar mengatakan, ia ikut dalam pertemuan 12 Juli itu.
Keuskupan Ruteng, kata dia, dihadiri sejumlah imam, antara lain Romo Dionysius Osharjo, Vikaris Episkopal Ruteng; Romo Marthen Chen, Direktur Pusat Pastoral; Romo Inosensius Sutam, Ketua Komisi Pariwisata dan Budaya; Romo Marten Jenarut, Ketua Komisi JPIC dan Romo Stanislaus Harmansi.
Dalam dokumen hasil pertemuan itu, Keuskupan merangkum sejumlah alasan penolakan warga, mulai dari aspek kultural, historis, topografis, ekologis hingga sosial.
Dalam salah satu poin, Keuskupan menulis bahwa “melukai tanah Poco Leok berarti melukai orang Poco Leok.”
“Orang Poco Leok juga merasa satu tubuh. Melukai yang satu berarti melukai yang lain,” demikian dipaparkan dalam dokumen tersebut.
Sebuah kutipan bahasa daerah Manggarai juga dicantumkan, Parn awo, kolepn sale, ulun le wain lau, tanan wa awangn ta, enden wa, eman eta (Terbit di timur, tenggelam di barat, hulu di pegunungan, hilir di muara) yang mengandung prinsip “melihat ruang yang meliputi tanah, air, angin, api, dan langit sebagai rahim dan menjadi ruang hidup bersama dan dirawat bersama.”
Keuskupan Ruteng juga menyinggung istilah Gendang onen lingko’n peang, yaitu pandangan tentang kesatuan ruang Kampung Adat dan lingko atau lahan ulayat, prinsip yang tidak akan terpenuhi lagi jika terjadi “perpindahan atau pergeseran tempat tinggal” warga.
Poin lainnya yang dicatat adalah dampak PLTP Ulumbu yang “tidak memperlihatkan sesuatu yang signifikan bagi masyarakat di sekitarnya.”
Mayoritas pegawai Ulumbu bukan orang lokal, serta ingkar janji listrik gratis, pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, demikian menurut dokumen itu.
Dokumen itu juga menyoroti proses pendekatan dan sosialisasi proyek yang “menyakitkan warga dan menimbulkan keresahan sosial.”
Keuskupan Ruteng juga mencatat pendekatan pemerintah dan PT PLN yang tidak menghargai adat, represif, manipulatif, dan menyebabkan distorsi sosial, yang sejauh ini seringkali dilakukan dengan “berkedok penelitian.”
“[Warga Poco Leok] tak lagi dapat bertani, bekerja sehari-hari, berinteraksi dalam kehidupan keluarga dan sosial secara tenang dan penuh kegembiraan seperti di masa lalu. Ibu-ibu banyak yang takut ke ladang karena mengkhawatirkan keselamatan mereka,” tulis dokumen tersebut.
Bagian terakhir dari poin-poin penolakan berkaitan dengan kecemasan terhadap dampak proyek itu, di antaranya turunnya produktivitas tanaman, wabah penyakit infeksi saluran pernapasan, longsor, hilangnya mata air dan kehancuran ruang hidup akibat kegagalan proyek seperti yang terjadi di Mataloko, Kabupaten Ngada.
Jejak Keuskupan Ruteng
Keuskupan Ruteng adalah salah satu dari lembaga Gereja Katolik yang berusaha membantu warga Poco Leok dalam polemik ini, di samping JPIC-SVD dan JPIC-OFM Indonesia.
Dengan langkah terbaru ini, Keuskupan Ruteng mengambil sikap berbeda dengan polemik geothermal di tempat lain di Desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat.
Keuskupan Ruteng menyatakan mendukung proyek itu, meski sebelumnya sempat menyatakan menolaknya.
Dalam sebuah surat pada 2020 kepada Presiden Joko Widodo, Uskup Siprianus Hormat menyatakan menolak proyek geothermal Wae Sano, dengan sejumlah alasan yang mengamplifikasi keresahan warga.
Namun, pada 29 Mei 2022, ia menulis surat lain kepada presiden, menyatakan mendukung kelanjutan proyek tersebut, hal yang kemudian memicu protes dan kecaman warga Wae Sano.
Surat kedua itu dikirim setelah Keuskupan menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU) dengan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM. MoU itu menjadi dasar dari pembentukan sebuah komite bersama untuk melakukan rangkaian sosialisasi tentang proyek itu.
Tadeus Sukardin dari Lungar mengatakan, umat Katolik Poco Leok berharap Keuskupan Ruteng sebagai lembaga yang mereka percayai berpegang pada komitmen untuk terus menjembatani aspirasi mereka “yang selama ini tidak tidak didengar.”
Ia juga berharap, Keuskupan juga mengambil sikap yang pasti terhadap proyek geothermal itu, hal yang belum terlihat dalam berita acara pertemuan 2 Agustus.
“Keuskupan hanya memberikan saran kepada PT PLN untuk melakukan kegiatan dengan prinsip menjaga harkat dan martabat serta berorientasi pada kesejahteraan masyarakat lokal dan tidak boleh ada konflik,” katanya.
Padahal, kata dia, proyek itu “sudah jelas melanggar harkat dan martabat dan menimbulkan konflik di tengah masyarakat Poco Leok.”
Merespon pertanyaan Floresa soal apakah Keuskupan Ruteng akan mengambil sikap secara institusional terkait proyek itu, Romo Alfons mengatakan, mereka bertindak sebagai ‘letang temba‘ atau jembatan yang menyampaikan aspirasi masyarakat dan berdialog dengan Kementerian ESDM dan PT PLN.
Ketegangan di Lokasi
Pertemuan pada 2 Agustus itu terjadi di tengah konflik geothermal Poco Leok yang terus memanas.
Pada 1 Agustus, pihak PLN kembali mendatangi lahan ulayat warga untuk melakukan survei, dengan pengawalan ketat aparat keamanan. Warga kemudian melakukan penghadangan.
Proyek tersebut, yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional, menargetkan energi listrik 2×20 megawatt, meningkat dari 10 megawatt yang dihasilkan PLTP Ulumbu saat ini.
Pendanaan proyek berasal dari Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW).
Pada 5 Juli warga mengirim surat kepada bank tersebut, berisi argumen-argumen penolakan terhadap proyek, di antaranya menolak eksploitasi atas ruang hidup, proses-proses proyek yang tidak melibatkan warga dan represi oleh aparat keamanan.
Surat itu direspons KfW pada 25 Juli, menyatakan “menanggapi masalah ini dengan serius dan mendukung niat untuk menindaklanjuti” tuntutan-tuntutan warga.
Pengiriman surat aduan kepada Bank KfW merupakan salah satu dari upaya warga melakukan perlawanan, di samping menulis surat kepada pihak pemerintah dan ATR/BPN Manggarai.
Pulau Flores sedang menjadi sasaran berbagai proyek geothermal, yang makin masif usai penetapannya sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017 oleh Kementerian ESDM.