Floresa.co – Seorang transpuan di Kabupaten Sikka, NTT yang dituding melakukan penistaan agama meneken kesepakatan damai dengan para pelapornya dari organisasi pemuda Katolik.
Langkah itu terjadi empat bulan setelah pelaporan oleh Forum Pemuda Katolik Bersatu.
Forum tersebut mempersoalkan langkah Cece Geliting mengkritik korporasi milik Keuskupan Maumere dalam kasus penggusuran rumah dan tanaman warga di lahan konflik Nanghale pada akhir Januari.
Transpuan berusia 47 tahun itu mengaku kepada Floresa telah membuat “pernyataan perdamaian” pada 30 Mei dengan pelapor setelah tudingan terhadapnya dinyatakan tidak terbukti.
Ia juga membagikan salinan pernyataan itu yang menjelaskan bahwa laporan terhadapnya terjadi karena “kesalahpahaman.”
“Selanjutnya pihak pertama (pelapor) dan pihak kedua (Cece) menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan dengan saling memaafkan,” isi pernyataan itu.
Ada tiga kesepakatan yang dirumuskan, termasuk “pelapor bersedia mencabut laporan” dan penegasan bahwa proses perdamaian “tidak dalam tekanan dari pihak manapun dan siapapun.”
“Setelah pernyataan perdamaian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, sudah tidak ada lagi masalah apapun dan tidak ada tuntutan apapun di kemudian hari, baik dari pihak pertama kepada pihak kedua maupun sebaliknya,” bunyi poin ketiga kesepakatan itu.
Pelapor dari Forum Pemuda Katolik Bersatu yang namanya tertera dalam surat itu adalah Rudolfus P. Mba Nggala, Afrianus Ada, Rikardus Trofinus Tola, Aprianus Noeng dan Michael M.A Sada.
Kesepakatan itu, kata Cece, akan diajukan ke Polres Sikka saat gelar perkara kasus ini yang dijadwalkan pada pekan depan, 2 Juni.
Sementara itu, Kepala Sub Seksi Penerangan Masyarakat Polres Sikka, Ipda Leonardus Tunga berkata kepada Floresa pada 31 Mei bahwa surat pernyataan kesepakatan damai itu akan menjadi “bahan pertimbangan penyidik dan tidak serta merta menyatakan bahwa proses hukumnya dihentikan.”
Ia menjelaskan, pihak Reserse dan Kriminal menyatakan belum ada surat penghentian penyelidikan/penyidikan kasus tersebut.
“Artinya bahwa proses hukumnya belum dihentikan,” katanya.
Sementara itu, Afrianus Ada dari Forum Pemuda Katolik Bersatu Sikka menyatakan baru akan memberi pernyataan pada 2 Juni.
Bagaimana Kasus Ini Bermula?
Saat melapor Cece ke Polres Sikka pada 28 Januari, forum itu menudingnya menghina simbol dan tokoh agama Katolik.
Tudingan itu terkait unggahan Cece di Facebook yang mengkritik aksi korporasi milik Keuskupan Maumere PT Krisrama menggusur sekitar 120 rumah dan tanaman milik warga Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai di Nangahale pada 22 Januari .
Penggusuran tersebut, yang menyebabkan sekitar 400 masyarakat adat mengungsi ke tenda-tenda darurat, memicu protes dari berbagai pihak.
Salah satu unggahan Cece adalah gambar menyerupai jubah pemuka agama dengan kepala berupa moncong alat berat.
Cece membuat tulisan yang menyertai gambar itu: “Dalam pikiranku sekarang adalah romo berkepala ekskavator, bukan jadi penjala manusia tapi penggusur manusia, bukan mengurus iman umatnya, tapi menimbun kekayaan, bukan membangun gereja, tapi memusnahkan hunian umat dan bukan menyebarkan cinta kasih tapi menyebarkan kebencian.”

Selain gambar itu, Cece juga memuat unggahan lain pada 25-27 Januari yang juga bernada kritikan.
Cece berkata kepada Floresa pada 30 Mei bahwa penandatanganan kesepakatan perdamaian terjadi usai ia menjalani klarifikasi di ruangan Unit Tindak Pidana Tertentu Satuan Reserse dan Kriminal Polres Sikka.
Ia didampingi pengacaranya Laurensius Welling.
Pemeriksaan itu semula hendak dimulai pukul 09.00 Wita, namun molor hampir tiga jam karena anggota Forum Pemuda Katolik Bersatu Sikka, Afriadus Ada baru tiba pukul 11.50.
Usai pemeriksaan pada pukul 12.50, Cece berkata, penyidik tidak menemukan “bukti tuduhan pencemaran nama baik ataupun penistaan agama.”
Ia berkata, dalam dialog dengan pelapor dan polisi, Forum Pemuda Katolik Bersatu Sikka mengklaim pelaporan ini bertujuan untuk “mengamankan” Cece.
“Mereka melihat bahwa isu (tentang tindakan PT Krisrama) ini bisa terus digiring sehingga tidak baik untuk citra Gereja Katolik di Maumere,” katanya.
Forum itu, kata Cece, menilai ia berada dalam posisi rentan dan laporan ke polisi untuk mencegahnya agar “tidak diintimidasi oleh orang atau kelompok lain.”
“Mereka mengakui ada orang yang mengatakan kepada mereka, kalau saya tidak dilaporkan, maka mereka sendiri yang akan menangkap saya,” katanya.
Namun, jelas Cece, forum itu tidak menjelaskan rinci “orang yang menyuruh” melaporkannya.
Sebelum penandatanganan surat kesepakatan perdamaian, ia juga mengaku diminta membuat rekaman video klarifikasi permintaan maaf.
Namun, ia memilih tidak minta maaf soal penistaan agama karena mengklaim tudingan itu “tidak terbukti.”
“Saya meminta kepada tim penyidik maupun pelapor untuk membuat narasi klarifikasi yang adil,” katanya.
“Tidak Menyesal”
Cece mengklaim “tidak menyesal dengan apa yang menimpa saya, walaupun kejadian itu punya dampak.”
Transpuan yang bekerja sebagai penata rias ini berkata, ia mengalami kerugian ekonomi, terutama saat ponselnya disita polisi sejak awal Februari, hal yang membuatnya tidak bisa berkomunikasi dengan pelanggannya.
Lantaran alasan keamanan, sejak pelaporan kasus ini ia juga memutuskan tinggal sementara di sekretariat Komunitas Fajar Sikka.
Cece tetap meyakini bahwa unggahannya adalah bagian dari perhatian terhadap Gereja Katolik.
“Saya mengkritik gereja sebagai umat yang peduli, bukan membenci gereja.”
Bagaimanapun, kata dia, penggusuran rumah warga Nangahale pada Januari membuat mereka menderita.
Penggusuran rumah dan tanaman itu dipimpin Romo Yan Faroka, Direktur Pelaksana PT Krisrama. Peristiwa tersebut terkait konflik lahan bertahun-tahun antara warga adat dengan Gereja Katolik.
Di satu sisi, PT Krisrama yang mengantongi Hak Guna Usaha atas lahan itu menuding warga mendudukinya tanpa dasar hukum.
Namun, warga adat meyakini lahan itu adalah milik mereka yang dirampas sejak era kolonial Belanda, berlanjut ke penguasaan oleh Gereja Katolik pasca kemerdekaan.
Konflik lahan ini terus berlanjut. Perlawanan warga adat direspons PT Krisrama dengan menempuh jalur hukum yang menyebabkan tujuh warga divonis dipenjara 10 bulan pada Maret karena merusak plang perusahaan.
Belasan warga lainnya kini menghadapi proses hukum serupa setelah dua pastor pimpinan PT Krisrama melapor mereka ke Polda NTT dengan tudingan penyerobotan lahan dan ancaman pembunuhan.
Sejumlah kelompok advokasi dan pemerhati hak masyarakat adat menganggap langkah PT Krisrama sebagai bentuk kriminalisasi.
Editor: Ryan Dagur
Catatan Redaksi: Kami mengubah judul dan kepala berita (lead) artikel ini pada 31 Mei pukul 13.00 Wita. Artikel ini sebelumnya berjudul “Dinyatakan Tidak Terbukti, Polisi Hentikan Kasus Transpuan di Sikka yang Dituding Menista Agama.” Sementara lead semula berbunyi “Polres Sikka, NTT memutuskan menghentikan proses hukum kasus tudingan penistaan agama terhadap seorang transpuan yang diadukan organisasi pemuda Katolik.” Perubahan ini menyusul informasi dari Polres Sikka bahwa belum ada penghentian proses hukum, yang juga kami kutip dalam isi artikel revisi ini. Mohon maaf atas kekeliruan tersebut