ReportaseMendalamWarga Nagekeo yang Tolak Rencana Proyek Geotermal: Jangan Gadaikan Tanah untuk Kepentingan Sesaat

Warga Nagekeo yang Tolak Rencana Proyek Geotermal: Jangan Gadaikan Tanah untuk Kepentingan Sesaat

Warga menilai alih fungsi lahan pertanian sebagai upaya untuk memiskinkan rakyat

Floresa.co – Usai misa pada Minggu, 25 Mei, ratusan umat Katolik berbondong-bondong dengan motor dan mobil ke dekat mata air panas Marapokot di Desa Marapokot, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo.

Mereka berasal dari Stasi St. Matius Rasul Marapokot dan  St. Fransiskus Asisi Tonggurambang yang tercakup dalam Paroki Yesus Kerahiman Ilahi Aeramo. Paroki tersebut merupakan bagian dari Kevikepan Mbay, Keuskupan Agung Ende.

Pastor Paroki Marsel Kabut, OFM dan tetua adat dari Suku Dhawe — pemilik tanah ulayat di wilayah tersebut — juga ikut dalam rombongan tersebut.

Dalam sebuah video yang diterima Floresa, tampak umat berdiri di pinggir jalan sambil membentangkan beragam spanduk. Beberapa di antaranya berisi tulisan “Tolak Proyek Geothermal, #Save Nagekeo#Save Flores#” dan “Energi bisa dicari, alam tak bisa diganti.”

Dari dalam sebuah mobil, salah satu orator berkata, “harapan kita, para leluhur dan pengambil kebijakan mendengar keluhan masyarakat.”

Dalam orasinya, Pastor Marsel menyatakan “kita berkumpul di tempat ini dalam satu ikhtiar memperjuangkan keberadaan tanah dan rumah yang sudah kita tempati.”

Tempat ini sudah disurvei atau sudah ditandai untuk menjadi titik pengeboran geotermal “yang konon katanya adalah energi terbarukan.” 

Namun, katanya, “kita melihat fakta yang terjadi di mana-mana, begitu banyak kerugian yang ditimbulkan proyek geotermal.” 

“Atas dasar itulah, kita berkumpul di sini untuk menyatakan penolakan,” katanya. 

Marsel berkata, kehadiran tetua adat Suku Dhawe “mengingatkan kita bahwa tanah ini memiliki nilai sejarah.”

“Tuhan sudah mewariskan tanah ini kepada kita untuk dijaga dan dipelihara.” 

Selaras dengan iman Katolik, “kita dipanggil untuk menjaga dan merawat bumi, tempat kita berdiam.” 

Karena itu, kata Marsel, “janganlah kita menggadaikan tanah ini untuk kepentingan sesaat yang tidak membawa keuntungan bagi kita.” 

“Proyek geotermal hanya membawa keuntungan bagi mereka yang mencari kepentingan sesaat,” katanya.

Para tetua dari Lembaga Persekutuan Masyarakat Adat Dhawe saat mengikuti deklarasi penolakan terhadap proyek geotermal di Desa Marapokot. (Dokumentasi tangkapan layar dari kanal Youtube Komsos YKI-Aeramo)

Marsel melanjutkan, “semua yang hadir pada hari ini menjadi saksi bahwa kita adalah pribadi-pribadi yang mau menjaga dan menolak segala bentuk upaya untuk mengeksploitasi tanah ini.”

Karena itu, “kita nyatakan sikap menolak proyek geotermal.”

“Bagaimana bapa-ibu dan saudara-saudari sekalian, kita terima atau tolak geotermal?” Pertanyaan itu disusul dengan seruan umat: “Tolak, tolak, tolak!”

Marsel mengajak umatnya untuk “berjalan bersama bapa uskup — merujuk Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD — yang telah melihat fakta dan data bahwa geotermal tidak bisa diterima di daerah ini.”

Dalam pernyataan pada 7 Januari, Uskup Budi menyatakan menolak proyek geotermal setelah mendengar berbagai kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria dan Mataloko — keduanya tercakup dalam Kabupaten Ende dan Ngada — serta usai berdiskusi dengan sejumlah imam. Sokoria dan Mataloko merupakan dua dari titik proyek geotermal di wilayahnya.

“Saya menentukan sikap menolak geotermal di sejumlah titik yang sudah diidentifikasi di ketiga kevikepan kita,” kata Uskup Budi, merujuk Kevikepan Ende, Bajawa dan Mbay.

Di Mataloko, setelah gagal berulang sejak 1998, terjadi pemboran di lokasi baru. Sementara di Sokoria, laporan Floresa pada 2023 mengungkap dampak pencemaran air hingga penurunan produktivitas tanaman warga sekitar.

Selain itu, proses pembebasan lahan proyek tersebut disinyalir sarat manipulasi karena para pemimpin adat atau Mosalaki diminta menandatangani dokumen, yang ternyata berisi pernyataan menghibahkan tanah kepada perusahaan.

Marsel menegaskan “daerah ini harus dijaga, dipelihara dan rawat untuk menopang kehidupan kita.”

Kehidupan kita, katanya, ditopang oleh tanah, bukan oleh proyek-proyek yang pada akhirnya membawa dampak buruk bagi ruang hidup, termasuk bagi ekosistem lingkungan yang menjadi jaminan untuk generasi-generasi yang akan datang. 

Pastor Paroki Yesus Kerahiman Ilahi Aeramo, Marsel Kabut, OFM saat berorasi di depan ratusan umatnya. (Dokumentasi tangkapan layar dari kanal Youtube Komsos YKI-Aeramo)

Sementara itu, salah satu orator berkata, “program yang baik pasti didukung, tetapi selama ini kita mendengar cerita bahwa timbul keresahan di mana-mana akibat proyek geotermal.”

“Untuk itu, dari jauh-jauh hari sebelum eksplorasi geotermal, kita sudah sepakat agar proyek itu tidak terjadi di tempat ini. Hari ini, kita hadir untuk menantang dan menetang program pemerintah yang banyak merugikan masyarakat,” katanya.

Lukas Mbulang, Ketua Lembaga Persekutuan Masyarakat Adat Dhawe berkata, “kita tidak sedang menolak program pembangunan pemerintah.”

Beberapa tahun silam, kata dia, “kami menyerahkan 6.880,50 hektare tanah secara cuma-cuma kepada pemerintah untuk pembangunan irigasi” untuk mendukung swasembada pangan. 

Lukas Mbulang, Ketua Lembaga Persekutuan Masyarakat Adat Dhawe saat berorasi di depan warga Desa Marapokot. (Dokumentasi tangkapan layar dari kanal Youtube Komsos YKI-Aeramo)

Dengan berencana menghadirkan proyek geotermal, kata Lukas, pemerintah sebenarnya sedang melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. 

Regulasi itu yang disusul Surat Edaran Menteri Pertanian yang melarang “mengeliminasi dan mengalihfungsikan tanah pertanian” karena “berarti pemerintah sedang memiskinkan rakyat.” 

“Tugas pemerintah adalah melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan seluruh bangsa. Kenapa dialihfungsikan begini?”, katanya. 

Lukas berkata, pengalaman proyek geotermal di Mataloko, Kabupaten Ngada membuktikan bahwa “sumur bor tidak beres dan merusak lingkungan.”

Ketika rakyat menderita, “di mana kepedulian pemerintah republik ini terhadap mereka yang miskin papa?” 

“Bukankah ini tindakan yang memiskinkan masyarakat secara sistemik? Saya siap membela kalian,” katanya. 

Ia menambahkan, “ini persoalan kemanusiaan yang adil dan beradab dan pemerintah tidak boleh mengeliminasi rakyat-rakyat kecil.” 

Alih-alih membangun proyek geotermal, kata Lukas, pemerintah harus mencari cara agar irigasi bisa mengalirkan air ke lahan pertanian.”

Ia berkata, perkembangan dan kemajuan teknologi tidak boleh merusak segala sesuatu yang telah dirawat dan dijaga oleh masyarakat. 

Hal yang paling penting, kata dia, “ada larangan dari tetua adat untuk merusak tanah ini” sehingga “bagaimana mungkin pemerintah serta merta mengebornya untuk proyek geotermal.”

“Katakan kepada negara, bupati, DPRD dan pemerintah pusat, ‘sayangilah kami di sini yang papa,’” katanya.

“Tanah ini merupakan hadiah terindah dari nenek moyang kita. Kalau geotermal hadir di sini, berarti negara masuk dalam kelompok penjahat,” katanya.  

Ia menegaskan “jangan sampai masyarakat dieliminasi hanya karena kepentingan pengusaha-pengusaha,” sementara “kita menjadi orang yang tertindas.” 

“Kita mengikuti surat gembala — merujuk Surat Gembala Prapaskah Para Uskup Provinsi Gerejawi Ende — untuk menolak proyek ini. Ketika bapa uskup mengatakan itu, ‘kita semua mati pun jadi,’” katanya. 

“Yang kita takutkan hanya mati di lubang pengeboran itu,” tambahnya. 

“Tanah ini diciptakan Tuhan Allah dengan cara yang baik. Bayangkan kalau ciptaan Tuhan harus dibasmi, dieliminasi dan dibabat demi kepentingan ekonomi orang tertentu, kita akan dieliminasi pelan-pelan karena kekuasaan,” katanya.

“Jaga baik-baik air panas ini karena merupakan karunia Tuhan. Jangan pernah merusaknya,” katanya.

Deklarasi itu berakhir dengan pernyataan sikap “kami warga Marapokot bersama Suku Dhawe menolak proyek geotermal di daerah kami.”

Warga Desa Marapokot saat mengikuti deklarasi penolakan terhadap proyek geotermal. (Dokumentasi Pastor Marsel Kabut, OFM)

Aksi itu merupakan yang kedua di Paroki Yesus Kerahiman Ilahi Aeramo setelah sebelumnya umat di Stasi St. Matius Rasul Marapokot menyampaikan deklarasi serupa pada 19 Mei.

Deklarasi lainnya dilakukan oleh dua paroki lain di Kevikepan Mbay yaitu Kristus Raja Jawakisa dan St. Joane Babtista Wolosambi.

Di Paroki Jawakisa, Pastor Kamilius Ndona, CP memimpin ratusan umat termasuk anak-anak saat deklarasi pada 11 Mei.

Sementara belasan umat Stasi Pajoreja dan Stasi Dhawe di Paroki St. Joane Babtista Wolosambi — bagian dari Desa Ululoga dan Ladaolo, Kecamatan Mauponggo — melakukan deklarasi pada 19 April.

Deklarasi dipimpin oleh Ketua Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores, Pastor Felix Bhaghi, SVD. Freddy Leby dan Emanuel Krisito Ndala — masing-masing Ketua Stasi Pajoreja dan Dhawe — juga ikut serta, bersama kepala desa dan tokoh masyarakat dari Ululoga dan Ladaolo.

Survei Diam-Diam

Rangkaian deklarasi itu merespons hasil survei Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyebut terdapat tiga kelompok lokasi pemunculan manifestasi panas bumi di Kabupaten Nagekeo.

Ketiga lokasi berada di Desa Marapokot, Kecamatan Aesesa; Desa Renduteno, Kecamatan Aesesa Selatan dan Kampung Wisata Pajoreja di Desa Ululoga, Kecamatan Mauponggo. Survei tersebut disebut-sebut sebagai titik mula rencana proyek geotermal di Nagekeo.

Pastor Kamilius Ndona, CP dari Paroki Kristus Raja Jawakisa mengaku “saya dan masyarakat di sini sebenarnya tidak tahu tentang survei itu karena dilakukan secara diam-diam.”

Survei terakhir dilakukan pada 2020 dan “kami kaget ketika hasilnya keluar.”

Pastor Marsel Kabut, OFM dari Paroki Yesus Kerahiman Ilahi Aeramo mengaku baru-baru ini sempat mengomentari sebuah video berjudul “Mbay punya potensi air panas yang bagus” yang diunggah Widya Asoka S — salah satu anggota tim survei dari Badan Geologi — di kanal Youtubenya.

Dalam komentar yang disampaikan pada 18 Mei itu, Marsel menanyakan tujuan Widya ke Mbay: Apakah kalian (merupakan) tim survei geotermal yang sekarang ini ditolak warga?”

Widya merespons, “itu survei panas bumi. Saya kurang tahu apa ada kegiatan baru lagi.”

Marsel sempat meminta agar Widya mengirimkan hasil penelitian atau survei tersebut. Widya merespons, “laporannya sudah ada di Pemda setempat — merujuk Pemerintah Kabupaten Nagekeo — mungkin bisa kontak ke mereka langsung karena bukan wewenang saya.”

Namun, kata Marsel, “ketika ditanya, pemerintah daerah juga tidak tahu titik-titik yang sudah disurvei.”

Mata air panas Marapokot di Desa Marapokot, Kecamatan Aesesa menjadi salah satu titik yang sudah disurvei oleh tim dari Kementerian ESDM. (Dokumentasi Pastor Marsel Kabut, OFM)

Floresa meminta tanggapan Bupati Nagekeo, Simplisius Donatus tentang klaim Widya Asoka serta responsnya terkait deklarasi penolakan warga terhadap proyek geotermal. Namun, ia tak merespons.

Floresa juga sempat mengomentari unggahan di kanal Youtube Widya Asoka pada 25 Mei terkait “apakah survei tersebut merupakan bagian dari rencana pembangunan geotermal.” Widya merespons “kalau berpotensi bisa jadi (untuk pembangunan geotermal), tetapi kalau enggak, pemanfaatannya untuk wisata.”

Kepala Desa Ululoga, Petrus Leko membenarkan terjadinya survei beberapa tahun lalu di mata air panas Pajoreja, namun “saat itu kami sama sekali tidak dijelaskan soal survei panas bumi.”

“Kami memang melihat ada petugas datang ke lokasi, mengukur suhu air panas dan berbagai data lainnya yang kami tidak paham,” katanya seperti dikutip dari Posbali.net

Ia berkata, “dalam bayangan kami, kedatangan petugas itu bertujuan untuk ikut mengembangkan desa wisata air panas yang sudah dibangun di desa kami.” 

“Kami kaget, ketika isu panas bumi ditolak oleh Yang Mulia Bapa Uskup Agung Ende dan kemudian beredar dokumen hasil penelitian itu. Kami tegas menolak. Kami sudah rapat dengan pastor paroki dan para tokoh, bahwa kami menolak,” katanya seperti dilansir Mediaindonesia.com

Kepala Desa Lodaolo, Frans Bule mengaku kebunnya yang berdekatan dengan mata air panas Pajoreja sempat diukur dan disurvei petugas.

Desa Lodaolo berdampingan dengan Desa Ululoga di lereng Gunung Ebulobo.

Frans mengaku khawatir jika panas bumi di Pajoreja dieksplorasi, maka kebun milik warga rusak.

“Saya akan pasang tanda penolakan persis di depan lokasi yang pernah diukur di wilayah Desa Lodaolo. Jelas, kami tolak pembangunan itu,” katanya.

Petrus dan Frans menyatakan sikap mereka sejalan dengan penolakan yang dilakukan Uskup Paulus Budi Kleden, SVD.  Keduanya menyatakan sudah mengumpulkan berbagai informasi tentang survei tersebut.

“Kami terus berupaya mencari tahu soal survei ini karena menurut sejumlah orang, wilayah ini tidak layak dieksplorasi.” kata Petrus.

Pendalaman terkait seluk-beluk survei mereka lakukan “sebagai antisipasi biar semua tidak terlambat.”

Editor: Anastasia Ika

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA