Oleh: Duminggu Bas
Pada Minggu pagi 24 Maret, saya tergugah mendengar Surat Gembala Prapaskah Para Uskup Provinsi Gerejawi Ende, yang salah satu poinnya menyatakan menolak proyek geotermal di Pulau Flores.
Surat keenam ukup itu menyatakan, penolakan mempertimbangkan kerusakan alam, sosial, serta budaya yang menjadi efek samping proyek-proyek geotermal.
Akhir-akhir ini, penolakan proyek geotermal memang sudah makin kencang di beberapa daerah di Flores.
Salah satu yang keras melawan adalah masyarakat adat Poco Leok di Kabupaten Manggarai.
Kisah perlawanan mereka turut diangkat dalam film dokumenter “Barang Panas” oleh Ekspedisi Indonesia Baru.
Sikap para uskup itu tentu tidak terlepas dari komitmen Gereja Katolik secara global yang menekankan pentingnya menjaga lingkungan, sebagaimana yang juga ditegaskan dalam ensiklik, Laudato Si pada 2015.
Dalam Bab VI ensiklik itu di bawah judul “Ekologi Integral,” Paus Fransiskus menekankan pentingnya pandangan holistik terhadap masalah lingkungan, yang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, ekonomi dan budaya manusia.
Hal ini berarti kita yang hidup dalam satu planet yang bernama bumi harus menjaga bumi dari eksploitasi berlebihan serta kehancurannya.
Ini adalah kunci untuk mewarisi bumi yang tetap terjaga kepada anak cucu kita.
Pada bagian 3 dari Bab VI ensiklik itu, Sri Paus juga menekankan bahwa pertobatan ekologis sangatlah penting bagi bumi.
Pertobatan ekologis terkait tanggung jawab iman dan moral kita sebagai manusia yang mesti melestarikan alam.
Kita mesti berhenti bersikap pasif berhadapan dengan dampak perubahan iklim dan kerusakan ekologi.
Berbeda dengan di Nangahale
Sayangnya, sementara terhadap geotermal Gereja Katolik punya sikap jelas berpihak pada warga yang jadi korba, di Nangahale, Sikka ada yang kontras.
Di tempat itu, konflik sedang panas-panasnya antara PT Krisrama, perusahaan milik Keuskupan Maumere dengan masyarakat adat dari Suku Soge Natar Mage dan Goban Runut Tana Ai.
Konflik ini terkait terkait lahan yang sudah menjadi Hak Guna Usaha [HGU] PT Krisrama, namun masyarakat mempersoalkannya, berlandaskan pada keyakinan historis mereka bahwa lahan itu adalah milik mereka. Peralihannya diwarnai perampasan pada zaman kolonial Belanda, hingga kemudian beralih ke otoritas Gereja Katolik.
Dalam keseluruhan polemik ini, kita menyaksikan Gereja Katolik yang mengabaikan penderitaan yang sedang dialami umatnya sendiri.
Kita bisa belajar dari kasus penggusuran 120 rumah dan tanaman warga pada 22 Januari 2025.
Peristiwa itu membuat warga Nangahale terpaksa kehilangan rumah tinggal, hingga tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Selain itu, pada 17 Maret, delapan warga Nangahale juga divonis penjara karena merusak plang PT Krisrama. Dua di antaranya adalah perempuan.
Seolah tidak puas dengan itu, pada 22 Maret, perwakilan PT Krisrama kembali melapor belasan warga lainnya ke Polda NTT, dengan alasan yang sama: menghalangi upayanya mengolah lahan HGU itu.
Hingga kini, PT. Krisma memang tetap berpegang pada izin HGU sehingga menganggap masyarakat adalah penyerobot atau okupan.
Bagi PT Krisrama, tujuan pemanfaatan HGU itu tentu saja diklaim untuk hal yang baik, yakni ingin mendatangkan uang yang bisa menghidupi Gereja.
Dalam rangka itu, bagi PT Krisrama, warga seharusnya memahaminya dan karena itu mesti dengan rela meninggalkan lahan itu.
Tindakan penggusuran pada 22 Januari pun dibela sebagai bagian dari ‘pembersihan’ lahan, seperti bahasa para pastor pimpinan perusahaan.
Gagasan dalam buku Tania Murray Li berjudul The Will to Improve bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena ini dan bagaimana kontradiksi dalam wajah Gereja Katolik terjadi.
Li menjelaskan kontradiksi dalam kaitan dengan tindakan para pemegang kepentingan [atau dia sebut sebagai perwalian] yang mengusung “kehendak untuk memperbaiki.”
Mereka yang menempatkan diri sebagai wali adalah orang-orang yang mengklaim bahwa merekalah pihak yang tahu tentang bagaimana masyarakat harus hidup, apa yang terbaik bagi masyarakat dan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Metode yang mereka gunakan adalah subtil – merujuk pada metode yang halus, lembut, dan diklaim bijak.
Kalaupun dilakukan menggunakan “alat kekerasan,” hal tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan yang dianggap mulia, yaitu demi kepentingan orang banyak atau untuk merangsang pertumbuhan (Li, 2009:7-8).
Konsep yang dijelaskan oleh Li ini relevan untuk menjelaskan cara kerja Keuskupan Maumere dalam konflik ini yang berhadap-hadapan dengan umatnya.
Merujuk pada konsep Li, Keuskupan Maumere saya tempatkan sebagai “perwalian” yang menjalankan “kehendak untuk memperbaiki.”
Cara untuk menjalankan kehendak itu dengan membenarkan apapun. Penggusuran rumah dan tanaman warga diperhalus sebagai tindakan “pembersihan,” juga menyeret umat sendiri ke penjara sebagai bagian dari upaya memperjuangkan hak atas HGU.
Meski dalam kenyataannya ada umat yang menjadi korban ‘pembersihan’ itu, terjadi tindakan represif, hingga ada yang dibui, hal itu tetap saja dibela sebagai sesuatu yang “mulia.”
Melihat perbedaan sikap Gereja ini – antara menolak geotermal dan membenarkan penggusuran warga di Nangahale – jelas menampakan dua sisi yang berbeda dalam Gereja Katolik di Flores.
Di satu sisi Gereja menolak pembangunan yang berakibat buruk pada ekologi dan masyarakat – dalam kasus geotermal.
Namun, dan pada sisi yang lain, Gereja membela atau menutup mata dan hati terhadap tindakan korporasi keuskupan yang menelantarkan dan menyengsarakan umat.
Duminggu Bas adalah warga Maumere, Kabupaten Sikka
Editor: Ryan Dagur