Oleh: Ryan Dagur
Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit memerintahkan bawahannya menyeret warga Poco Leok ke ranah hukum karena dituding merusak pagar kantornya saat unjuk rasa pada 3 Maret 2025.
Polres Manggarai gerak cepat merespons laporan itu. Garis polisi dipasang pada hari yang sama. Pada 13 Maret kasus ini juga dinaikkan ke penyidikan, lalu ada pemanggilan dua pemuda koordinator aksi pada 17 Maret, menyusul tiga lainnya.
Judul yang saya pakai pada tulisan ini merujuk pada gerakan yang dilakukan warga Poco Leok merespons proses hukum kasus ini.
Mereka mengambil langkah membuat gerakan donasi untuk perbaiki pagar kantor bupati itu. Dana yang terkumpul rencananya akan diserahkan ke Nabit dalam bentuk koin.
Siapa sebetulnya yang merobohkan pagar? Proses hukum sedang berjalan. Namun, menurut Koalisi Advokasi Poco Leok yang mendamping warga, mereka meyakini bahwa ada keterlibatan petugas keamanan dalam peristiwa itu. Mereka mengklaim mengantongi bukti video saat pagar itu roboh.
Karena itu, mereka meyakini bahwa ini adalah kriminalisasi, bagian dari upaya melemahkan perjuangan warga yang menentang proyek geotermal.
Salah satu sasaran perlawanan warga selama ini memang Nabit, bupati yang mengeluarkan Surat Keputusan Penetapan Lokasi proyek ini pada Desember 2022.
Itu pula yang menjadi tuntutan utama warga dalam aksi pada 3 Maret, mendesak Nabit mencabut Surat Keputusan itu.
Kendati tentu saja Nabit memiliki alasan untuk memproses hukum warga, termasuk soal klaim bahwa semua orang sama di mata hukum, saya ingin memberi beberapa catatan untuk kasus ini.
Pertama, proyek geotermal Poco Leok saat ini sedang dipaksakan di tengah resistensi warga yang terus menguat.
Para pemuda yang dipanggil polisi dalam kasus pagar ini adalah beberapa dari aktor penting dalam gerakan perlawanan ini.
Saya mengenal beberapa di antaranya sebagai mahasiswa yang sering menemani perjuangan keluarga mereka di Poco Leok.
Patut diduga, sebagaimana argumen koalisi, ini adalah bentuk upaya pembungkaman, pelemahan perjuangan.
Pemerintah tampaknya mencari celah bagaimana caranya ‘mengamankan’ mereka yang berani, bersuara kritis melawan.
Dan persis, kasus kerusakan pagar itu, kendati belum diketahui persis siapa pelakunya, adalah bagian dari strategi itu.
Proses hukum terhadap warga menambah tekanan terhadap mereka setelah sebelumnya terjadi tindakan represif terhadap upaya memperjuangkan hak atas ruang hidup.
Melapor mereka ke polisi serupa dengan tindakan-tindakan sebelumnya yang melibatkan aparat untuk merepresi, mengejar mereka saat berusaha bertahan, menghadang utusan pemerintah dan korporasi.
Kedua, pelapor dalam kasus ini adalah pemerintah, bagian dari Forum Komunikasi Pimpinan Daerah, yang biasa semeja dengan pimpinan aparat penegak hukum seperti di institusi kepolisian dan kejaksaan.
Penting dicatat bahwa saat aparat Polres Manggarai memproses laporan ini, Nabit bepergian bersama Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh, Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai Fauzi dan Komandan Kodim 1612 Manggarai Budiman Manurung untuk studi banding di lokasi Pembangkit Listrik Panas Bumi Lahendong di Tomohon, Sulawesi Utara.
Kegiatan itu dibiayai PT PLN, yang berkepentingan dengan proyek di Poco Leok, hal yang memicu dugaan dari berbagai pihak sebagai bentuk gratifikasi.
Ada pertemuan kepentingan di sini. PLN yang sedang berupaya mengamankan proyek memfasilitasi bupati sebagai pemberi Surat Keputusan Penetapan Lokasi, juga Kapolres, pihak yang punya peran mengamankan proyek itu dan bisa menindak mereka yang dianggap sebagai penghalang.
Anda bisa membayangkan, semua elemen ini berada dalam gerbong yang sama.
Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa kasus warga itu diproses segera oleh polisi.
Tentu saja aksi polisi tidak akan secepat itu jika yang menghadapi masalah adalah mereka yang berkuasa.
Ada banyak preseden untuk itu yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Manggarai.
Saya hanya menyebut dua kasus berikut sebagai contoh.
Anda mungkin masih ingat soal kasus “Ratu Kemiri” yang viral pada 2020, saat muncul dugaan bahwa istri Nabit, Meldyanti Hagur terlibat dalam pengaturan proyek APBD dan ia mendapat fee dari setiap proyek.
Kala itu berkembang narasi soal sandi “kemiri 50 kilogram,” merujuk ke fee 50 juta untuk setiap proyek yang diduga mengalir ke kantong Meldyanti.
Kasus itu sempat diselidiki oleh polisi. Namun, dengan cepat pula menguap, dianggap tidak cukup bukti untuk dilanjutkan, kendati istri Nabit sempat diperiksa.
Kasus lain yang juga perlu disinggung adalah korupsi dalam pembangunan Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur.
Kasus ini semula menargetkan pembangunan terminal yang kemudian mubazir. Namun, di tengah jalan, Kejaksaan Negeri Manggarai menyeret seorang warga adat, Gregorius Jeramu, sebagai tersangka.
Alasannya kala itu yang membuat publik bingung dengan logika penegakan hukum adalah Gregorius menjual tanah yang belum bersertifikat untuk pembangunan terminal itu. Jadi, bukan lagi pembangunan terminal yang diproses, tapi pengadaan tanahnya, kendati tidak ada yang pernah mempersoalkan kepemilikan tanah itu oleh Gregorius.
Proses hukum kemudian membawa Gregorius ke penjara, sebelum kemudian “diselamatkan” Mahkamah Agung lewat putusan kasasi. Pasca menyeret Gregorius, Kejaksaan Negeri Manggarai tidak lagi memproses kasus bangunan terminal itu.
Beberapa kali Floresa menagih janji kejaksaan. Namun, entah kenapa, sampai sekarang kasus itu menguap dan mungkin tidak akan lagi diselidiki, apalagi hampir semua jaksa yang sempat dilaporkan diduga “bermain” dalam kasus itu sudah pindah tugas.
Ada nama Fansy Aldus Jahang dalam kasus itu, terkait perannya sebagai Kepala Dinas Perhubungan saat pembangunan terminal. Saat proses hukum kasus itu, ia jadi orang kepercayaan Nabit sebagai Sekretaris Daerah Manggarai. Jahang telah diperiksa beberapa kali, namun kemudian melenggang.
Sulit untuk menemukan alasan lain kenapa kasus itu kemudian bisa berakhir seburuk itu, selain karena, lagi-lagi, ini menyangkut mereka yang punya kuasa.
Anda bayangkan, Gregorius Jeramu harus mendekam di penjara sebelum kemudian dinyatakan tidak bersalah. Sementara mereka yang berkuasa dan terkait pembangunan terminal tidak diproses sama sekali.
Ini adalah potret sederhana tentang kerentanan warga biasa di hadapan proses penegakan hukum, yang kini juga sedang dialami warga Poco Leok.
Jadi, kita tidak punya alasan lagi untuk heran kenapa proses hukum soal pagar itu secepat ini.
Ketiga, pertanyaan yang penting dari kasus ini; layakkah diproses secara hukum?
Dalam berita di Floresa, Dandhy Laksono, aktivis dan produser sejumlah film dokumenter terkait masyarakat adat menyatakan, laporan Nabit menunjukkan pemerintah yang tidak hanya merespons serius suatu hal yang sebenarnya sepele, tetapi juga melakukan intimidasi atau menakut-nakuti warga.
“Peristiwa jatuhnya pagar itu seharusnya menjadi momen penting untuk membuat bupati lebih mudah membayangkan kerusakan rumah, halaman dan ruang hidup warga Poco Leok,” katanya. Mestinya dengan kejadian itu, rasa empati dia terhadap warganya sendiri semakin besar.
Jika Nabit tidak menerima kenyataan rusaknya properti di kantor bupati, menurut Dandhy, “apalagi kampung orang, kehidupan sosial ekonomi masyarakat, dan harapan serta ruang hidup mereka yang dirusak” akibat proyek geotermal.
Saya sepenuhnya sepakat pada argumen Dandhy.
Sejak proyek itu masuk ke Poco Leok, warga sudah mengalami banyak kerugian. Ada banyak variabel yang bisa dipakai untuk mengukurnya.
Saya mengambil satu yang sederhana, soal energi, waktu dan biaya yang mereka pakai untuk melakukan gerakan perlawanan.
Saya mendengar cerita soal ibu-ibu yang harus meninggalkan pekerjaan setiap kali aparat dan utusan PT PLN datang.
Mereka harus lari dari kebun dan bersiap-siap di titik di mana mereka melakukan pengadangan. Hal itu seringkali berlangsung hingga sore hari.
Kita juga bisa membayangkan biaya yang mereka keluarkan dari urunan untuk akomodasi saat beberapa kali unjuk rasa, juga setiap kali ada panggilan polisi. Belum lagi biaya untuk berobat saat menjadi korban kekerasan aparat.
Kalau dikalkulasi, tentu tidak akan sebanding dengan harga pagar yang roboh itu.
Keempat, dari beberapa poin itu, adalah naif untuk membayangkan bahwa kasus ini hanya soal pagar.
Juga naif untuk dipaksa meyakini bahwa pelaporan ini hanya soal persamaan hak pemerintah untuk mendapat perlakukan yang sama di hadapan hukum.
Ini adalah bagian dari permainan kekuasaan untuk melindungi kepentingan mereka yang hendak memaksakan proyek di Poco Leok.
Kasus ini memberi pelajaran bahwa kekuasaan bisa digunakan untuk apapun, termasuk untuk membungkam, bahkan menyeret mereka yang melawan ke penjara.
Pendekatan kekuasaan yang ditampilkan Nabit juga menunjukan secara gamblang betapa apa yang diklaim sebagai pembangunan memiliki kuasa mengeksklusi.
Kuasa itu bisa berjalan dengan memanfaatkan berbagai perangkat yang siap pakai: aparat keamanan, kapital, dan mobilisasi legitimasi melalui produksi narasi dominan-seperti proyek ini demi kebaikan banyak orang.
Karena itulah, ajakan warga Poco Leok berdonasi koin untuk pagar kantor bupati perlu didukung.
Ini adalah langkah melawan laku penguasa yang karena yakin punya segala-gala, bisa melakukan apa saja. Harga pagar terlalu murah jika harus rela membiarkan pola penggunaan kekuasaan semacam ini.
Ryan Dagur adalah editor Floresa
Editor: Anno Susabun