Polemik ‘Asap Pembakaran Daging Babi’ Restoran di Labuan Bajo yang Berujung Laporan Polisi; Bagaimana Duduk Soalnya?

Kedua belah pihak menceritakan versi masing-masing. Keributan terkait erat dengan kesepakatan untuk menangani masalah asap yang tidak kunjung dilaksanakan.

Baca Juga

Floresa.co – Berita pendek beberapa media online baru-baru ini yang menyebut gara-gara daging babi, warga di Labuan Bajo menganiaya karyawan restoran, menyulut polemik di media sosial.

Spekulasi soal darurat intoleransi kehidupan beragama di ibukota Kabupaten Manggarai Barat itu pun bermunculan.

Berita media tersebut hanya memuat keterangan dari YN, yang disebut sebagai korban. Sementara orang yang disebut pelaku hanya disebut  sebagai ‘tetangganya’ yang merupakan ‘seorang laki-laki’.

Floresa melakukan penelusuran di tempat kejadian perkara pada Senin-Selasa, 23-24 Oktober untuk menggali fakta yang terjadi, dengan menemui para pihak yang terkait langsung dengan keributan pada Kamis, 19 Oktober itu.

Dari pengakuan mereka, keributan ini memang benar terjadi antara Manajer Restoran Bajo Booze, Yohanes Nanggut, 38 tahun, dengan Kuri Umar, warga yang rumahnya tak jauh dari restoran itu.

Restoran yang terletak di Jalan Alo Tanis ini berada di antara beberapa rumah warga di RT 20, Kelurahan Labuan Bajo. Salah satunya rumah milik Kuri, berjarak sekitar delapan meter dari restoran.

Floresa menemui Kuri dan istrinya, Nurdia pada Senin, 23 Oktober. 

Peristiwa itu, kata Kuri yang bekerja sebagai nelayan, bermula saat Kamis, 19 Oktober sekitar pukul 19.00 Wita, kala ia kembali dari melaut.

Ia mengaku mendengar kata-kata istrinya yang menawarkan agar salah satu pintu rumah mereka yang mengarah ke jalan raya ditutup permanen saja. Ia lantas menanyakan alasannya. 

Nurdia – yang berdagang es batu – pun menceritakan kejadian sekitar satu jam sebelumnya.

Nurdia menuturkan saat sedang membakar sampah di samping rumah mereka dan menunggu sampahnya habis terbakar, Yohanes mendatanginya, seraya memotret aktivitasnya itu.

Kepada Yohanes, Nurdia pun bertanya, “Nana, [panggilan untuk laki-laki dalam Bahasa Manggarai] kenapa difoto?”

Menurut Nurdia, Yohanes beralasan memotret aktivitasnya untuk dokumentasi, karena tempat itu berdekatan dengan kabel listrik serta dedaunan kering.

Mendengar itu, Nurdia pun bergegas masuk ke rumahnya, mengambil air untuk mematikan api itu.

Ia mengaku lalu memanfaatkan kesempatan itu untuk mengajak Yohanes mengobrol di teras rumahnya.

Kata Nurdia, ia menyampaikan keluhan terkait asap hasil pembakaran daging babi dari Restoran Bajo Booze.

Nana, tombo cama mendi dite ho’o, ai ata mesen dite ata Manggarai hoo, tombo dia’a,” ujar Nurdia dalam Bahasa Manggarai: “Kita bicara sebagai sesama orang kecil. Yang paling penting bagi kita orang Manggarai adalah bicara baik-baik.”

Ia berkata; “Saya tidak tahan dengan bau asap dari sebelah [dari restoran], entah apa pun yang dibakar. Setiap kali mencium asap itu, kepala saya sakit, asapnya terlalu menyengat.”

Tegi campe daku ngasang endem ta nana [Sebagai ibu, saya meminta tolong], mungkin lain kali bisa bakarnya di dapur saja. “Ae mose dite hoo paka nuk cama tau [Karena dalam hidup ini, kita mesti mempertimbangkan orang lain].

Mendengar keluhan itu, menurut Nurdia, Yohanes berjanji akan menyampaikan hal itu kepada atasannya.

Kuri mengatakan, mendengar cerita istrinya, terutama terkait tindakan Yohanes yang memotret, ia merasa jengkel.

Ia pun keluar rumah dan mendapati salah satu karyawan sedang berada di depan restoran itu, membakar daging babi.

Dari rumahnya, Kuri pun lantas bertanya. “Nana, kalian masih bakar di situ kah? Mana realisasi yang kita sudah sepakati?”

Lokasi pemanggang daging babi di restoran itu memang berada di bagian depan, di tempat terbuka.

Kuri mengaku saat bertanya memang suaranya keras, beralasan, “biar mereka bisa dengar jelas”. 

Kuri mengatakan ia sedang menagih kesepakatan yang telah dibuat dua bulan sebelumnya antara pihak restoran dan tiga orang perwakilan warga setempat.

“Kami sudah sepakat bahwa nanti akan dibuat pipa ke atap rumah agar asap [hasil pembakaran daging babi] dibuang ke udara saja,” ujarnya. 

Yohanes, menurutnya, sudah  berjanji menyampaikan kesepakatan itu ke atasannya.

Sengsara daat mose cimping ise hoo [Sengsara sekali hidup berdekatan dengan mereka ini],” katanya.

“Sering pengujung restoran memarkirkan mobil dan motor menutup akses jalan ke rumah saya. Beberapa kali sudah saya tegur, namun sampai tadi malam [Minggu, 22 Oktober] masih menutup jalan akses ke rumah saya,” ujarnya.

Saat Kuri menanyakan soal kesepakatan antara pihak restoran dan warga sekitar, kata dia, Yohanes yang sedang mengobrol dengan tamu pun bereaksi.

Menurutnya, Yohanes berlari dari arah restoran menuju rumahnya sambil berkata: “Apa kau? Kau mau apa?” 

Ia berkata, Yohanes juga sempat memegang kerah bajunya.

“Saya tidak bisa melawan karena saya tidak punya kekuatan jika beradu fisik,” ujar Kuri.

Lantas kepada Yohanes, ia menanyakan lagi realisasi kesepakatan bersama itu.

“Mana sudah realisasi kesepakatan kita? Saya tidak melarang kalian untuk bakar apa saja di situ,” ujarnya.

Namun, menurut Kuri, dengan nada emosi, Yohanes menjawab; “Silahkan lapor saya di polisi atau di bupati, saya tidak takut.”

Melihat keributan itu, Nurdia mengatakan melerai agar tidak terjadi perkelahian. Namun, menurut Nurdia, Yohanes malah mendorongnya hingga terjatuh.

Kedua anak laki-laki Kuri yang pada saat itu berada di tempat marah pada Yohanes. Kuri mengulang kata-kata dua anaknya: “Bagaimana kalau orang tuamu saya buat begini, apakah kau bisa terima?”

Alih-alih tenang, menurut Kuri, Yohanes berlari menuju restoran dan kembali sambil membawa parang, menodongnya ke arah rumah Kuri.

Sambil memegang parang itu, kata dia, Yohanes menyampaikan kata-kata ancaman.  “Supaya kau tahu, saya ini preman, saya akan gusur dan bakar kau punya rumah.”

Saat Yohanes marah-marah sambil mengacungkan parang itu, menurut Kuri, orang-orang yang melewati jalan sekitar lokasi berhenti dan menyaksikan situasi itu. 

Ketika melihat ada yang memvideokan kejadian itu, Yohanes, kata dia, melepaskan parang dari tangannya.

Ramiati, 23 tahun, putri Kuri pun diam-diam menyembunyikan parang itu.

“Saya takut terjadi pembunuhan, makanya saya sembunyikan barang tajam itu”, katanya kepada Floresa.

Keributan antara Yohanes dan Kuri pun berakhir saat polisi datang ke lokasi dan membawa dua belah pihak ke kantor polisi.

Versi Manajer Restoran Bajo Booze

Sehari setelah mewawancarai keluarga Kuri, Floresa menemui Yohanes di restorannya.

Sebelum memberikan keterangan, ia menyarankan agar dalam pemberitaan nanti “tidak boleh ditambah-tambah.”

Ia menjelaskan, Kuri sudah beberapa kali mendatangi Restoran Bajo Booze.

“Kalau saya hitung, sudah lima kali dia datang komplain soal asap ini”, katanya. 

“Saya sudah sampaikan apa yang menjadi keluhan mereka ke bos saya, tapi karena usaha kami baru berjalan dua bulan, kecil kemungkinan untuk kami penuhi permintaan mereka, sementara modal usaha ini belum kembali ke kami,” tambahnya.

Yohanes membantah beberapa keterangan Kuri, seperti melakukan kekerasan dan ancaman.

“Saya sangat menghargai orang tua dan saya anggap mereka orang tua saya. Tidak mungkin itu saya lakukan untuk mereka,” katanya.

Yohanes mengaku pihaknya memang membakar daging babi di depan restoran itu.

Untuk mencegah asapnya ke rumah warga, katanya, solusi sementara yang disiapkan adalah memasang kipas angin.

Ia mengakui mengambil parang karena “memang pada saat itu saya emosi.”

“Dengan refleks saya mengambil parang [di restoran] untuk membela diri, karena saat itu masa melempar batu ke arah restoran,” katanya.

“Saya tidak bermaksud lain,” katanya, terkait upaya mengambil parang itu.

Ketika anak perempuan Kuri “mengambil parang dari tangan saya, untuk menghargai perempuan, saya berikan saja,” katanya.

Yohanes membantah soal kesepakatan yang  pernah dibuat antara pihaknya dengan warga, sebagaimana dikatakan Kuri. 

Yohanes mengklaim “itu bukanlah kesepakatan. Saya hanya sampaikan bahwa apa yang menjadi keluhan mereka akan saya sampaikan ke bos karena saya tidak punya hak untuk bertindak lebih.”

Saling Lapor

Kedua pihak telah saling melapor kasus ini ke Polres Manggarai Barat. Yohanes yang lebih dahulu melapor pada 19 Oktober malam. Kuri kemudian mengajukan laporan serupa sehari setelahnya, 20 Oktober.

Floresa mendatangi Polres Manggarai Barat pada Senin, 23 Oktober. Polisi yang berjaga mengarahkan menemui bagian Humas. Namun, ruangan unit Humas sedang kosong.

Dihubungi via WhatsApp pada 23 dan 24 Oktober, Kepala Seksi Humas Polres Manggarai Barat, Iptu Eka Dharma Yudha tidak merespons.

Yohanes sempat mengatakan kepada Floresa, polisi memang melarangnya untuk berkomunikasi dengan media terkait kasus ini.

Ia mengatakan meladeni Floresa karena “takut ada dugaan lain dari publik jika dirinya tidak merespons.”

Sementara itu, permintaan tanggapan dari Lurah Labuan Bajo pada Selasa, 24 Oktober terkait langkah mereka menyikapi dan mencegah konflik seperti ini tidak berhasil

 Saat mendatangi kantornya, lurah sedang tidak berada di tempat. Pesan yang dikirim via WhatsApp juga tidak dibalas.

Ketua RT setempat juga demikian. Rumahnya kosong saat didatangi pada 23 Oktober. Pesan via WhatsApp juga tidak ia respons.

Catatan Redaksi: Kami melakukan revisi pada artikel ini, Kamis, 26 Oktober pukul 10.50 Wita, khususnya pada pernyataan Yohanes Nanggut. Meski mengakui mengambil parang di restorannya, namun ia membantah mengatakan ‘menodong’ parang itu ke arah warga, seperti yang kami tulis sebelumnya. Kami melakukan revisi ini setelah menyesuaikannya dengan isi rekaman wawancara.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini