Polemik ‘Asap Pembakaran Daging Babi’ di Labuan Bajo: Bagaimana Akun Instagram Berbasis Agama Goreng Isunya dengan Narasi Tanpa Sumber yang Jelas

Akun ‘kristen.protestant’ mengunggah video terkait kasus ini yang mengarahkan kesalahan kepada salah satu pihak.

Baca Juga

Floresa.co – Sebuah akun media sosial Instagram yang mengatasnamakan sebuah agama mempublikasi video terkait polemik asap pembakaran daging bagi di Restoran Bajo Booze, Labuan Bajo dengan narasi yang yang memojokkan salah satu pihak, tanpa menjelaskan sumber informasi yang menjadi rujukan.

Akun Instagram “kristen.protestant” itu mengunggah video berdurasi dua menit tujuh detik, disertai keterangan, “Hadeh, gak habis pikir.”

Informasi yang diperoleh Floresa, video itu telah diunduh dan disebar lagi di berbagai grup WhatsApp.

Video yang memuat logo Pergerakan Indonesia untuk Semua [PIS] itu diberi judul “Restoran Babi di Labuan Bajo Dilempari Batu dan Karyawannya Dikeroyok.”

Dalam video itu, narator Bernama Egrasia Salsabila menjelaskan kronologi terjadinya polemik itu serta tuntutan menindak tegas para pelaku pengeroyokan karyawan restoran.

Egrasia menjelaskan kekerasan itu dipicu oleh seorang warga yang merasa terganggu dengan asap panggangan babi yang sering masuk ke rumahnya.

Warga itu, kata Egrasia, keluar dari rumah lalu berteriak kepada karyawan restoran agar memindahkan tempat pemanggangan babi. 

“Dia bilang jangan bakar daging babi di sekitar situ, tapi nggak digubris,” jelas Egrasia.

Mendengar itu, lanjutnya, salah satu karyawan restoran mendatangi warga itu dan menyarankannya untuk menyampaikan keluhan atau protes secara langsung kepada pemilik restoran atau pemerintah setempat. 

“Langkah itu diambil biar situasi di restoran tetap aman dan nggak mengganggu tamu yang datang,” jelasnya.

Egrasia mengklaim warga itu sudah lima kali melayangkan protes soal asap babi itu, bahkan meminta agar menu babi dihilangkan dari restoran.

“Karyawan tadi nggak bisa berbuat banyak, soalnya kan statusnya cuman karyawan. Lagian, olahan daging babi jadi menu utama di restoran itu,” jelas Egrasia.

Tidak terima dengan respon itu, kata Egrasia, warga itu mendorong karyawan tadi sampai ke jalan dan selanjutnya dikeroyok beberapa orang tak dikenal yang diduga teman dari warga itu. 

“Karyawan restoran lain yang coba melerai ikut jadi korban kekerasan,” kata Egrasia. 

Akibat pengeroyokan itu, juga aksi warga yang melempari restoran, lanjutnya, dua karyawan mengalami luka.

Dalam penutup video, Egrasia mengatakan kekerasan yang dialami dua karyawan restoran itu tidak bisa dibiarkan dan menyarankan agar melakukan protes “dengan cara yang beradab, bukan dengan kekerasan.”

“Pelaku harus segera ditangkap dan dihukum sesuai aturan yang berlaku.”

Sepanjang video itu, sayangnya, narator tidak menjelaskan sedikitpun sumber informasi mereka. Padahal, dalam narasi itu banyak berisi tuduhan terhadap salah satu pihak.

Floresa telah menghubungi akun Instagram itu pada Sabtu, 28 Oktober, menanyakan sumber informasi dalam narasi dalam video itu. Namun, hingga laporan ini dipublikasi, pesan yang dua kali dikirimkan tidak direspons.

Video itu mendapat lebih dari 500 komentar. Sebagian besar komentar mengaitkan peristiwa itu dengan isu intoleransi beragama di Labuan Bajo.

“Jangan sampai orang-orang intoleran ini berkuasa di NTT,” demikian komentar seorang pengguna Instagram.

Pengguna Instagram lainnya menyampaikan komentar: “Usir keluar dari tanah Flobamorata. Kita NTT ada damai dan tenteram dengan toleransi tertinggi di Indonesia. Jadi, kalian jangan buat ulah duluan.”

Apa yang Sebetulnya Terjadi?

Berita tentang insiden yang terjadi pada Kamis, 19 Oktober itu memang sempat ramai dilaporkan sejumlah media lokal di Flores.

Seperti halnya dengan video itu, narasi yang berkembang adalah ada serangan terhadap karyawan restoran, dan tidak memberi ruang kepada pihak yang dituding melakukan penyerangan untuk menyampaikan cerita versi mereka.

Floresa telah menemui dua pihak yang dinarasikan dalam video itu. Dalam wawancara pada Senin-Selasa, 23-24 Oktober, keduanya memang mengakui ‘asap pembakaran daging babi’ itu adalah pemicu masalahnya.

Floresa menemui Kuri Umar, warga yang rumahnya tak jauh dari restoran itu, yang malam itu melakukan protes.

Dalam wawancara pada Senin, 23 Oktober, di mana ia didampingi istrinya Nurdia, ia mengakui berteriak ke arah restoran, bertanya mengapa pembakaran daging babi restoran itu tetap dilakukan di ruang terbuka.

Kuri mengatakan sedang menagih kesepakatan yang telah dibuat dua bulan sebelumnya antara pihak restoran dan tiga orang perwakilan warga setempat terkait penanganan masalah asap.

Yohanes Nanggut, Manager Restoran Bajo Booze itu, menurutnya, sudah  berjanji menyampaikan kesepakatan itu ke atasannya.

Kuri mengatakan, ia memang berteriak ke arah restoran malam itu, yang kemudian direspons oleh Yohanes dengan berkata; “Apa kau? Kau mau apa?”

Ia berkata, Yohanes juga sempat memegang kerah bajunya.

Saat kembali bertanya tentang kesepakatan terkait penanganan asap itu, kata dia, Yohanes menjawab; “Silahkan lapor saya di polisi atau di bupati, saya tidak takut.”

Ia menjelaskan, Yohanes juga mengambil parang di restoran dan menodongnya ke arah rumah Kuri, sambil berkata; “Supaya kau tahu, saya ini preman, saya akan gusur dan bakar kau punya rumah.”

Saat Yohanes marah-marah sambil mengacungkan parang itu, menurut Kuri, orang-orang yang melewati jalan sekitar lokasi berhenti dan menyaksikan situasi itu. 

Ketika melihat ada yang memvideokan kejadian itu, Yohanes, kata dia, melepaskan parang dari tangannya. Ramiati, 23 tahun, putri Kuri pun diam-diam menyembunyikan parang itu.

Dalam wawancara dengan Floresa pada 24 Oktober, Yohanes mengakui mengambil parang karena “memang pada saat itu saya emosi.”

“Dengan refleks saya mengambil parang [di restoran] untuk membela diri, karena saat itu masa melempar batu ke arah restoran,” katanya.

“Saya tidak bermaksud lain,” katanya, terkait upaya mengambil parang itu.

Ketika anak perempuan Kuri “mengambil parang dari tangan saya, untuk menghargai perempuan, saya berikan saja,” katanya.

Ia mengatakan, Kuri sudah beberapa kali mendatangi Restoran Bajo Booze.

“Kalau saya hitung, sudah lima kali dia datang komplain soal asap ini”, katanya. 

“Saya sudah sampaikan apa yang menjadi keluhan mereka ke bos saya, tapi karena usaha kami baru berjalan dua bulan, kecil kemungkinan untuk kami penuhi permintaan mereka, sementara modal usaha ini belum kembali ke kami,” tambahnya.

Yohanes membantah soal kesepakatan yang  pernah dibuat antara pihaknya dengan warga terkait penanganan masalah asap, sebagaimana dikatakan Kuri. 

“Itu bukanlah kesepakatan. Saya hanya sampaikan bahwa apa yang menjadi keluhan mereka akan saya sampaikan ke bos karena saya tidak punya hak untuk bertindak lebih.”

Kedua pihak telah saling melapor kasus ini ke Polres Manggarai Barat. Yohanes yang lebih dahulu melapor pada 19 Oktober malam. Kuri kemudian mengajukan laporan serupa sehari setelahnya, 20 Oktober.

Floresa sudah berusaha mendapat penjelasan dari Polres Manggarai Barat terkait kasus ini pada Senin, 23 Oktober. Polisi yang berjaga mengarahkan menemui bagian Humas. Namun, ruangan unit Humas sedang kosong. Dihubungi via WhatsApp pada 23 dan 24 Oktober, Kepala Seksi Humas Polres Manggarai Barat, Iptu Eka Dharma Yudha tidak merespons.

Yohanes sempat mengatakan kepada Floresa, polisi memang melarangnya untuk berkomunikasi dengan media terkait kasus ini. 

Sementara itu, dalam wawancara pada 28 Oktober, Matheus Siagian, pemilik Restoran Bajo Booze menduga pemicu keributan ini terjadi karena ia melaporkan Lane Ibrahim ke Polres Manggarai Barat pada 6 Oktober 2023. Lane adalah salah satu warga yang rumahnya dekat dengan restoran itu.

Laporan itu, katanya, terkait dengan transaksi pembelian tanah tempat restoran itu kini berdiri.

Menurut Matheus, saat mengajukan pembuatan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional [BPN], berkasnya ditolak karena ternyata tanah tersebut sudah bersertifikat atas nama orang lain.

“Jadi, saya curiga sekali, ya saya duga, saya tidak berani bilang 100%, pemicu nomor satunya karena mereka tidak senang saya lapor. Kalau yang lain-lain, sebenarnya tidak perlu agresif begitu,” ujar Matheus.

Dugaan ini, menurutnya, diperkuat oleh keterlibatan salah satu anak Lane berinisial B dalam peristiwa pada 19 Oktober itu.

B, katanya, “salah satu yang ikut pukul staf saya.”

Sementara itu, menurut Lane, meski mengakui adanya transaksi penjualan tanah itu yang kini menjadi masalah, namun membantah kasus itu dikaitkan dengan insiden keributan pada 19 Oktober.

“Tidak ada hubungannya masalah asap dengan tanah yang saya jual,” katanya.

“Waktu kejadian malam itu, kami kaget ada ramai di depan rumah dan kejadiannya tidak seperti yang diberitakan oleh media-media yang berlebihan bahwa itu soal daging babi. Salah itu,” katanya.

Lane mengaku asap pembakaran daging itu tidak sampai ke rumahnya.

“Namun kami perlu duduk bersama karena ada Kuri yang jadi korban [asap],”ujarnya. 

Lane juga  membantah dugaan Mateus bahwa ia mempengaruhi tetangga lainnya untuk berkonflik.

“Saya orang miskin. Setiap hari saya kerja. Tidak ada waktu untuk melakukan hal yang tidak berguna,” ujarnya. 

Yang Tidak Ada dalam Video Akun “kristen.protestant’

Merujuk pada hasil wawancara Floresa, video di akun ‘kristen.protestant’ itu tampak menarasikan persoalan ini dengan hanya memojokkan salah satu pihak, tanpa menyebut sumber informasi yang jelas.

Video itu menggiring masalah ini ke hanya soal protes terhadap penjualan daging babi di restoran, sembari tidak menyoroti sama sekali aksi Yohanes Nanggut, manajer restoran yang mengambil parang, hal yang sudah diakui oleh Yohanes.

Video itu juga tidak menyinggung kesepakatan yang pernah dibuat sebelumnya antara warga sekitar dengan pihak restoran terkait upaya menangani masalah asap itu. 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini