Sidang Sengketa Tanah Puskemas Borong yang Menahun Dikuasai Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur, Tiga Saksi Perkuat Klaim Ahli Waris 

Melintas generasi, warga yang merasa berhak atas tanah itu terus menagih janji pemerintah

Baca Juga

Floresa.co- Kelima ahli waris Alex Tundur menghadirkan tiga saksi dalam sidang sengketa tanah yang bertahun-tahun dikuasai Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Kelima ahli waris itu yang masing-masing sebagai penggugat adalah Katarina Tundur, Agustinus Tundur, Vincentius Tundur, Beneria Sardina Tundur, dan Marsel Tundur. 

Kecuali Vinsentius, empat ahli waris lainnya hadir dalam persidangan di Pengadilan Negeri Ruteng, Manggarai pada 10 Januari.  Vinsentius absen lantaran bekerja dan menetap di Jakarta sejak 48 tahun silam, tak lama usai menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas.

Tiga saksi dihadirkan dalam sidang tersebut, masing-masing Darius Jehedo, Albertus Stefanus Nakar, dan Nurdin Daeng Pesore.

Menurut Marsel, Darius dan Nurdin memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan ahli waris.

Sementara Albertus, katanya, sudah lebih dari 30 tahun tinggal di atas tanah milik ahli waris tertua yakni Katarina Tundur.

“Dari masa muda sampai berkeluarga, dia tinggal di atas tanah itu. Bahkan rumahnya, kakak [Katarina] yang buat,” ungkapnya.

Mikael O.L Prambasa, kuasa hukum ahli waris yang berbicara kepada Floresa sebelum sidang mengatakan “tugas kami adalah menggali dan mengkaji fakta dan kebenaran tentang tanah objek sengketa.” 

Hasil kajian kuasa hukum, katanya, “menunjukkan tanah yang menjadi objek sengketa milik Alex, ayah kelima ahli waris.”

Berdasarkan temuan kuasa hukum, “diketahui Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur melalui kuasa hukumnya mengakui bahwa tanah objek sengketa adalah milik Alex.”

Sementara temuan empat anggota tim kuasa hukum Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur, “terdapat kesepakatan tukar guling secara lisan,” kata Mikael.

Kesepakatan lisan itu menyebutkan tanah milik Dinas Kesehatan yang di atasnya berdiri Puskesmas Borong akan ditukar dengan tanah sawah di Loba, Kecamatan Borong.

Namun, “sampai hari ini ahli waris belum terima tanah di Loba. Saya juga tidak tahu lokasi tanah itu. Tetapi dalam dokumen mereka disebutkan seperti itu.”

Mikael mengaku tidak tahu apakah tanah di Loba itu benar milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur. 

Sebab, katanya, “pemerintah tidak mempunyai tanah, dan regulasi yang mengatur pemerintah tidak boleh melakukan transaksi jual beli tanah dengan masyarakat.” 

Mengacu pada temuan itu, “tanah yang ditempati pemerintah itu bukan hak milik. Itu hak pakai, kecuali kalau masyarakat menghibahkannya.”

Berangkat dari pandangan tersebut “kami mengajukan gugatan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur supaya persoalan tanah ini menjadi terang.” 

Ahli waris Alex Tundur (kiri ke kanan), Katarina Tundur, Beneria Sardina Tundur, Marsel Tundur, Agustinus Tundur. (Dokumentasi Floresa)

Kesaksian akan Tanah

Saksi pertama yang diperiksa dalam sidang 10 Januari itu adalah Darius. 

Mikael, majelis hakim, maupun kuasa hukum tergugat menanyai dia sejumlah hal, terutama terkait kepemilikan tanah serta perjanjian lisan yang dilakukan pada 1970 antara Alex dengan Frans Sales Lega, Bupati Manggarai pada masa itu.

Ia juga ditanyai soal demo damai yang melibatkannya dan ahli waris pada 1992.

Dalam kesaksiannya, Darius mengatakan tanah yang di atasnya didirikan Puskesmas Borong dan dikuasai Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur melalui Dinas Kesehatan adalah milik Alex. 

Pernyataannya mengacu pada cerita yang dulu ia dengar dari Katarina.

Tanah itu, kata dia, diperoleh Alex dari ibu angkatnya, Siti Bese melalui pemberian secara adat, yang dalam bahasa warga setempat disebut widang.

Ia menjelaskan Bese tinggal bersama-sama dengan keluarga besar Alex sampai meninggal karena sakit pada usia 64 tahun.

“Ia dimakamkan di atas tanah yang sekarang dikuasai dan menjadi hak milik ahli waris Alex,” katanya.

Darius menjelaskan suatu hari pada 1970, Frans Sales Lega mendatangi rumah Alex meminta izin supaya pemerintah dapat membangun tempat pelayanan kesehatan di atas tanah yang pernah dipinjam Yayasan Persekolahan Umat Katolik Manggarai atau Yasukma untuk mendirikan Sekolah Usaha Tani [SUT]. Yasukma, milik Keuskupan Ruteng, mengelolah sekolah-sekolah swasta Katolik.

Katarina Tundur hadir dalam pertemuan itu, yang berbuah perjanjian adat tukar guling tanah.

“Bapa tua [Alex] berikan, dengan syarat ‘tanah ganti tanah,’” kata Darius.

Ia menjelaskan syarat lainnya adalah “pemerintah hanya boleh membangun gedung pos pelayanan kesehatan, tidak untuk bangunan yang lain.” 

Namun, kata dia, waktu itu, Frans Sales Lega tidak menunjukkan lokasi tanah pengganti kepada Alex.

Ia mengatakan Frans Sales Lega juga tidak memberi tahu waktu penyerahan tanah pengganti itu kepada Alex.

“Sampai sekarang, ahli waris belum menerima tanah pengganti yang dijanjikan itu,” ungkapnya.

Ia menjelaskan pada 1992, “Pemerintah Kabupaten Manggarai datang dan memotong semua tanaman yang ditanam ahli waris di sekitar tempat pelayanan kesehatan.”

Pemerintah, kata dia, hendak “membangun gedung baru di situ”.

Merespons hal itu, ia bersama Marsel, Agustinus, Geradus Tundur, kakak tiri ahli waris, serta Albertus Stefanus Nakar melakukan aksi “demo damai.”

“Kami menanam tanaman jangka pendek di situ,” ungkapnya.

Sebagai bagian dari demo damai, ahli waris menuntut pemerintah “segera merealisasikan janji memberikan tanah pengganti atau setidak-tidaknya menyerahkan kembali tanah warisan Alex kepada ahli waris.”

Darius mengaku terlibat dalam demo damai itu karena waktu itu “saya bekerja menggarap tanah ahli waris.”

Selama bekerja bersama ahli waris, kata dia, “saya diperlakukan dengan baik, bahkan dianggap sebagai keluarga.”

“Sebagai pekerja yang loyal, maka saya ikut dalam demo damai itu,” ungkapnya.

Saksi kedua yang diperiksa adalah Nurdin Daeng. Mikel, majelis hakim, dan kuasa hukum Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur menanyai dia terkait pengetahuannya tentang kepemilikan tanah objek sengketa.

Dalam kesaksiannya, Nurdin dengan tegas mengatakan tanah objek sengketa itu adalah “benar milik Alex yang diperoleh dari Bese.” 

Hal itu ia ketahui dari cerita Umar, ayahnya, yang merupakan salah satu anak angkat Bese dan “turut mendapat jatah tanah darinya.” 

Sebelum meninggal, kata dia, Bese menitipkan pesan kepada Alex agar “memberikan sebagian tanah kepada ayah saya.”

“Kalau nanti kamu [Alex] membagi tanah, jangan lupakan Umar karena dia juga adalah saudaramu,” kenang Nurdin tentang pesan Bese yang disampaikan Umar kepadanya. 

Saksi terakhir yang diperiksa adalah Albertus Stefanus Nakar. Ia ditanyai terkait batas-batas tanah objek sengketa, terutama sebelah selatan dari lahan tersebut. 

Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur mengklaim sebelah selatan tanah itu juga berbatasan dengan tanah milik Yohanes Angkur, kakak ipar Albertus.

Dalam kesaksiannya, Albertus mengatakan “setahu saya, sebelah selatan tanah itu hanya berbatasan langsung dengan tanah milik Beneria, Agustinus, Marsel, Katarina, Sujono, dan Frans Dermawan.”

Yohanes Angkur “memang mempunyai tanah di sekitar itu, tetapi tidak berbatasan langsung dengan objek sengketa.”

Dalam sidang, ketiga saksi juga ditanyai perihal pengetahuan mereka tentang uang sebesar Rp8 juta yang diberikan Pemerintah Kabupaten Manggarai kepada ahli waris usai demo damai. 

Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur mengklaim “uang itu adalah bukti penyerahan tanah oleh ahli waris kepada pemerintah.”

Sementara ketiga ahli waris mengaku “tidak tahu tentang pemberian uang itu.”

Pemeriksaan saksi tergugat akan dilaksanakan pada 17 Januari, sesuai pernyataan Hakim Ketua, Carisma Gagah Arisatya saat hendak menutup sidang.

Ditemui Floresa usai sidang, Fransiskus Ramli, Ketua Tim Kuasa Hukum Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur mengaku tak akan berkomentar sebelum terbit putusan tetap tentang perkara itu.

Kendati demikian, ia “mengapresiasi langkah ahli waris yang memperjuangkan haknya atas tanah objek sengketa.”

“Kalau tidak begitu, kami tidak akan tahu tentang objek sengketa ini,” katanya.

Saksi ahli waris (kiri-kanan), Albertus Stefanus Nakar, Darius Jehedo, dan Nurdin Daeng. (Dokumentasi Floresa)

Tagih Janji Lintas Generasi

Kasus ini dibawa ke meja hijau setelah upaya penyelesaian lewat mekanisme musyawarah beberapa kali gagal.

Perwakilan pemerintah Manggarai Timur beberapa kali menemui keluarga ahli waris.

Marsel bercerita, pada November 2021, Donsi, perwakilan dari Dinas Pertanahan bersama kepala dan staf Unit Pelaksana Teknis Daerah Puskesmas Borong datang bertemu Katarina untuk kedua kalinya, yang ia sebut untuk minta tanda tangan hibah.

Saat itu, katanya, ia mengatakan kepada mereka, “Kalau kamu datang minta tanda tangan hibah, tidak semudah yang kamu pikirkan. Kamu akui bahwa tanah ini milik Alex?.”

Saat itu, jelasnya, Donsi menjawab, “Betul, bapa.”

Usai pertemuan itu, kata dia, ia menemui beberapa orang tua di Borong dan “mereka mengonfirmasi tanah itu memang milik Alex.”

Marsel mengatakan pada 15 Oktober 2023 Pemerintah Kabupaten Manggarai melalui tim kuasa hukumnya melakukan “pengukuran tanah tanpa sepengetahuan ahli waris.” 

Waktu itu, kata dia, Mensi Anam, salah satu kuasa hukum Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur mengklaim “sebelah selatan tanah objek sengketa juga berbatasan langsung dengan tanah milik Yohanes Angkur.”

“Padahal, tanah milik Yohanes Angkur tidak berbatasan langsung dengan tanah itu,” ungkapnya.

Mikael mengatakan “kami tetap pada sikap bahwa tanah Puskesmas Borong yang dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur adalah milik Alex.” 

Oleh karenanya, kata Mikael, “siapapun yang melakukan pengukuran tanah untuk menerbitkan sertifikat harus menginformasikan ke ahli waris.” 

“Kami juga dapat informasi dari ahli waris bahwa tidak ada pemberitahuan tentang pengukuran itu sehingga ahli waris keberatan,” ungkapnya. 

Vitalis Sobak, kerabat ahli waris, yang berbicara kepada Floresa pada 11 Januari mengatakan jika memang benar usai demo damai, ahli waris menerima uang sebesar Rp8 juta dari Pemerintah Kabupaten Manggarai, maka, “itu bukan bukti penyerahan tanah.”

Namun, “seingat saya, sekitar 1976 atau 1977, Alex bersama Katarina pernah menemui Bupati Manggarai meminta kejelasan terkait perjanjian tukar guling.”

Artinya, kata Vitalis, “pemberian uang itu tidak membatalkan perjanjian tukar guling, tanah tetap ganti tanah.”

Ia mengatakan tuntutan agar pemerintah memberikan tanah pengganti tidak saja dimulai pada 1992 ketika ahli waris melakukan demo damai. 

Namun, “seingat saya, sekitar 1976 atau 1977, Alex bersama Katarina pernah menemui Bupati Manggarai meminta kejelasan terkait perjanjian tukar guling.”

“Tak hanya ahli waris, dahulu bapa Alex juga menagih janji pemerintah,” kata Vitalis.

Bagi Vitalis, penagihan hingga melintas generasi itu menggambarkan sengketa kronis yang mesti cepat terselesaikan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini