Tetapi, apa yang terjadi itu tidak lebih dari eksplisitasi betapa tidak pekanya Gubernur NTT terhadap desakan rakyat. Rakyat yang pada saat itu hadir tidak dihargai keberadaannya.
Tidak Artikulatif
Pemikir demokrasi radikal Alain Badiou mengatakan bahwa politik berlangsung di pinggiran, akar rumput, praktik keseharian dan komunitas (Doni Gahral Adian: 2011). Itu berarti, bagi Badiou, esensi politik yang sesungguhnya adalah mengartikulasikan keluhan, desakan dan harapan rakyat.
Politik memang tidak pernah menegasikan aspek legal, tetapi legalitas yang berujung pada liberalisasi rakyat. Politik itu mulia, karena berusaha memuliakan manusia, memuliakan kehendaknya dan menjadikan manusia sebagai ens mulia.
Karena itu, sesuatu yang imperatif sifatnya adalah politik mesti menjunjung tinggi manusia. Politik harus mendengarkan voice of the voiceless. Dengan demikian, politik tidak boleh direduksi menjadi medan untuk mengais rejeki, mendatangkan keuntungan ekonomis lantas mengeliminasi kebutuhan jasmani dan rohani manusia.
Pantai Pede sebagai ruang publik, tempat afirmasi diri rakyat sebagai makhluk rekreaktif (memenuhi kebutuhan batin), mestinya menjadi taruhan politik bagi pemimpin.
Maksudnya adalah kebijakan yang berkaitan dengan pantai itu harusnya menjadi ajang bagi pemimpin untuk membuktikan apakah desakan rakyat didengar ataukah tidak. Kalau pemimpin merancang pengelolaan pantai itu berdasarkan permintaan rakyat, itu berarti pemimpin telah mengembalikan (kebijakan) politiknya kepada hakikatnya.
Tetapi, kalau tidak, maka dapat dipastikan bahwa pemimpin tersebut telah menjadikan Pantai Pede sebagai tempat untuk mencapai tujuan dan memperoleh ambisi-ambisi pragmatis dan mungkin juga terselubungnya. Dia menjadikan kebijakan politik bukan lagi sebagai sarana mengartikulasikan cita-cita publik, tetapi sarana untuk menyalurkan segala keinginannya belaka.
