BerandaDARI REDAKSIPembaca Merespons Udin Award...

Pembaca Merespons Udin Award untuk Floresa

Dari berbagai lokasi dan latar belakang, pembaca berbicara tentang alasan mereka selalu mengikuti pemberitaan Floresa, juga harapan-harapan pasca penerimaan Udin Award.

Floresa.co – Berada di tempat jauh dari Flores, Fitri Wahyuningsih mengatakan dalam beberapa tahun terakhir Floresa masuk di daftar media yang sering ia baca dan tempatnya untuk belajar.

Jurnalis Kaltimtoday.co yang berbasis di Kalimantan Timur itu “suka Floresa karena sejak awal kenal hingga kini, konsisten dengan sikapnya mengawal demokrasi dan pemerintah.”

Fitri tahu Floresa sejak 2021 kala mengikuti Kelas Menulis Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan bersama Yayasan Pantau.

Ia bertemu Rosis Adir, Pemimpin Redaksi Floresa yang sama-sama mengikuti kelas itu dengan mentor Fahri Salam, Pemimpin Redaksi Project Multatuli.

Sejak itu, ia rutin membaca dan menemukan bagaimana Floresa “mengangkat isu-isu yang menurut saya tak semua media dan jurnalis berani garap.”

“Saya jarang menemukan media siber, berbasis di daerah pula [non-Jakarta], yang seberani dan selantang Floresa dalam penggarapan isu,” katanya.

Ia juga menemukan Floresa yang memiliki sikap yang jelas terhadap kelompok minoritas dan marginal.

“Tugas media untuk memberi suara bagi mereka yang suaranya diabaikan dan dibungkam benar-benar dijalankan. Semua ini bisa dilihat dari berbagai liputan yang diterbitkan,” katanya.

Karena itu, saat mendapat kabar bahwa Floresa mendapat Udin Award dari Aliansi Jurnalis Independen [AJI] pada 7 Agustus, ia mengatakan, “saya kira sangat, sangat layak.”

Sama seperti Fitri, Carlin Karmadina, jurnalis dan pegiat Komunitas KAHE, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang kesenian berbasis di Maumere, Kabupaten Sikka menyatakan penghargaan itu sebagai sesuatu yang layak.

Ia rutin mengikuti pemberitaan Floresa yang ia sebut sebagai “angin segar” di tengah krisis media di NTT.

Floresa menawarkan model peliputan yang lain, mendalam, kritis, berpihak kepada kepentingan publik, yang marginal dan lemah, dan yang paling utama kembali mendudukan fungsi jurnalisme itu sendiri: sebagai watchdog,” katanya.

Alih-alih mempertahankan rating pemberitaan atau didikte oleh jumlah klik, “sebagai media online, Floresa selalu berupaya mengkawal isu dengan baik.”

Floresa menjadi alternatif lain untuk merawat kegelisahan bersama atas banyak permasalahan di Flores dan NTT,” katanya.

Di Kupang, ibukota Provinsi NTT, Febry Jal, seorang mahasiswa mengatakan, sebagai pembaca setia, ia bangga dengan hadirnya Floresa “di tengah-tengah masyarakat yang semakin tidak optimis dengan pemberitaan media arus utama.”

Floresa selalu menampilkan informasi yang masih terpercaya dan independen,” katanya.

Febri, yang aktif di Ikatan Mahasiswa Manggarai Muhammadiyah Kupang mengatakan Floresa “membantu masyarakat atau pembaca melihat polemik yang tidak disoroti oleh media arus utama.”

Jonaldi Mikael, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang yang juga aktivis Forum Mahasiswa NTT mengatakan ia mengapresiasi kerja-kerja Floresa yang “pro pada perjuangan masyarakat kecil”.

Floresa, kata dia, adalah media yang sejauh ini berhasil menjadi corong perjuangan warga kendati menghadapi rentetan kasus intimidasi.

Dandhy Laksono, sutradara film Dragon for Sale, di mana pembuatannya melibatkan beberapa anggota Tim Floresa, mengatakan “sebagai anggota AJI, saya tahu betul, tidak mudah atau tidak semua media atau jurnalis bisa mendapatkan Udin Award.”

“Kawan-kawan di Floresa sebagai media independen, bahkan sebenarnya media komunitas, bukan media mainstream berbasis industri, telah menunjukkan kegigihannya dalam melakukan kerja-kerja jurnalisme,” katanya.

“Bahkan produk-produk jurnalistiknya jauh lebih keren daripada media-media mainstream berbasis industri di Jakarta,” tambah Dandhy.

Sebagai bagian dari Film Dragon for Sale, “saya merasa sebuah kehormatan bekerja dengan kawan-kawan semua.” 

“Selamat untuk Floresa dan mudah-mudah penghargaan ini menginspirasi semuanya,” katanya.

Menggemakan Suara Akar Rumput

Bagi Ignasius Jacques Juru, peneliti berbasis di Yogyakarta membaca Floresa “seperti masuk dan mengenal kondisi sesungguhnya dari pengalaman sosial, politik, budaya, dan ekonomi orang NTT.”

“Di tengah banyaknya media oligarkis, realitas akan sangat gampang terkonstruksi sesuai selera dan kepentingan ekonomi-politik banyak pihak yang selama ini membajak kekayaan NTT, sekaligus mereproduksi kondisi kemiskinan yang seakan-akan kekal,” katanya.

“Dalam konteks itulah, pilihan Floresa selama ini untuk tidak tergoda menjadi bagian dari kekuasaan yang hipokrit menjadi keistimewaan tersendiri, karena dengan begitu Floresa mampu dan tetap mau bercerita jujur tentang apa yang sedang dialami oleh masyarakat NTT.”

Ia menyebut, dalam konteks demokrasi dan politik keadilan, Floresa menjadi penubuhan yang konkret dari makna demokrasi sebagai bentuk kehadiran kontrol warga negara atas setiap urusan publik.

“Ketika urusan publik cenderung dibajak oleh otoritas yang elitis, maka Floresa sering hadir dengan wajah antagonistik yang membuka ruang bagi suara-suara alternatif sehingga mampu menunda konsensus yang sempit di antara elit dan membatalkan narasi monolitik dalam kebijakan publik,” katanya.

Floresa melalui setiap narasinya, kata dia, juga mampu merepolitisasi demokrasi.

“Artinya, demokrasi dipaksa untuk tidak berhenti pada aspek teknis-prosedural semata tetapi lebih jauh mengisi demokrasi berarti perlu mengurus hal-hal substantif seperti membawa isu-isu keadilan ke tengah publik, membicarakan secara luas persoalan akses terhadap pembangunan, pengakuan atas ruang hidup dan juga krisis representasi yang kronis di daerah,” katanya.

Rikard Rahmat, warga asal Manggarai Barat yang kini bekerja sebagai editor di sebuah penerbit di Jakarta mengatakan “saya mengikuti perkembangan media ini dari tahun ke tahun.”

“Saya  tidak kaget Floresa mendapatkan penghargaan bergengsi ini,” katanya.

Ia mengatakan Floresa hadir sebagai semacam oase visi, konten, dan delivery atau cara penyampaian kontennya berkelas, menyuarakan kebenaran sebagaimana adanya. 

“Untuk itu, investigasi dilakukan secara serius untuk mendapatkan konten [dan akhirnya kebenaran] yang lengkap. Dan kebenaran itu akan tampak telanjang, mudah dicerna ketika disampaikan dengan cara yang indah. Maka, sebenarnya, Floresa lebih tepat disebut media investigatif, bukan media berita biasa,” katanya.

Ia menambahkan, Floresa mengangkat ‘dunia pinggiran’ yang jarang disentuh, bahkan acapkali jadi medan tipu daya orang kaya dan berkuasa. 

“Berita tentang ‘keterpinggiran’ dan ‘korban’ yang diangkat selalu menggugah dan memprovokasi kesadaran pembaca untuk bergerak melakukan sesuatu. Apalagi tentang Flores dan NTT yang kerap identik dengan keterbelakangan dan ketidakberdayaan,” katanya.

Ia menambahkan, Floresa mengangkat “dunia pinggiran” itu dengan sikap kritis yang tinggi, seperti dalam kasus proyek geothermal.

Floresa mengajak pembaca untuk tidak melihatnya dari perspektif kebutuhan semata, tetapi mesti berangkat dari realitas: realitas mentalitas pelaku proyek [PT PLN] dan realitas korban, yang kekhawatiran, kecemasan eksistensial mereka dan sebagainya,” katanya.

Floresa menantang pembaca untuk berpikir panjang dan dalam terhadap segala peristiwa. Dengan cara ini, Floresa menekuni sebuah tugas khas dan mendasar para filosof: tidak pernah berhenti menggonggong jika ada sesuatu yang tidak beres di tengah masyarakat,” katanya.

“Banyak peristiwa lain yang diangkat yang mencerminkan perspektif kritis itu. Ini sesuatu yang mewah di dunia ‘kesemrawutan media digital’ saat ini,” katanya.

Dari pedalaman Manggarai Barat, Yosef Erwin di  Desa Wae Sano yang selama beberapa tahun terakhir berupaya menyuarakan protes terhadap kehadiran proyek geothermal di kampung mereka, salah satu dari beberapa proyek strategis nasional di Flores mengatakan dengan  pemberitaan Floresa, suara-suara masyarakat akar rumput dapat digemakan “ke ruang publik untuk didengarkan oleh pemangku kebijakan dan kepentingan.”

Lewat ruang yang diberikan Floresa dan “pemberitaan yang kritis dan tajam,” masyarakat juga “berani menyuarakan rasa ketidakadilan ke ruang publik untuk menjadi pertimbangan pemerintah atau pemangku kebijakan.”

“Masyarakat terorganisir untuk menyuarakan rasa ketidakadilan karena kepercayaan pada Floresa,” katanya.

Dengan itu pula, kata dia, “masyarakat merasakan kemerdekaan bersuara yang selama ini dibungkam.”

Ia mengatakan, “Floresa sebagai pers terlibat langsung bersama masyarakat korban dan turut mengalami apa yang dirasakan oleh masyarakat dan dari keterlibatan itu berita yang disampaikan ke ruang publik adalah kenyataan, jauh dari sekedar retorika.

Masyudi Onggal dari Poco Leok di Kabupaten Manggarai, warga yang juga sedang melawan proyek geothermal mengalami Floresa sebagai media “yang sangat konsen menyajikan dan menganalisis persoalan-persoalan kemanusiaan saat ini.”

“Floresa berani menampilkan spirit turun untuk tetap mengabdi kepada orang kecil, para korban pembangunan, mereka yang ditindas,” katanya.

Ia menjelaskan, melalui “berbagai tulisan yang mencerahkan dan membebaskan, Floresa juga sangat militan membela kepentingan warga yang selalu dijadikan korban atas nama kepentingan umum.”

Melalui Floresa, kata dia, “saya mampu melihat kekuatan dan kedigdayaan setiap tulisan.”

Sementara Kinan, warga Pulau Komodo, mengatakan, Floresa merupakan media yang berdiri bersama mereka, Ata Modo, warga asli di pulau dalam kawasan taman nasional itu berhadapan dengan rentetan kebijakan pemerintah yang berusaha meminggirkan mereka, termasuk saat wacana relokasi Ata Modo oleh mantan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat.

“Di tengah goncangan persoalan tersebut kami warga Ata Modo berkomunikasi dengan Floresa agar membantu kami,” katanya.

Hendrika Mayora Viktoria, transpuan dari Fajar Sikka Maumere melihat Floresa sebagai media di daerah yang “ progresif, melawan arus, berani menyuarakan hak-hak kelompok rentan.”

“Secara khusus sebagai transpuan, saya merasa bahwa Floresa ikut ambil bagian dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi dengan menghadirkan liputan-liputan yang berpihak kepada kelompok rentan,” katanya.

“Saya mengapresiasi  AJI yang tidak salah memberikan penghargaan,” kata Mayora.

“Saya juga bangga media lokal seperti Floresa bisa mengangkat masalah-masalah pembangunan di Flores yang dalam banyak kasus mengabaikan hak-hak masyarakat.”

Anne Mieke de Hoon, warga Belanda yang selama 36 tahun terakhir sering berlibur ke Indonesia, termasuk Flores, mengetahui Floresa setelah membaca sebuah laporan tentang kasus kecelakaan kapal di Labuan Bajo awal tahun ini, dengan sorotan pada soal buruknya penanganan oleh otoritas setempat.

Setelah itu, ia kemudian memasukkan Floresa sebagai salah satu media rujukan di sebuah website tentang Flores yang dikelolanya.

Ia mengatakan, “Floresa membantu masyarakat jadi lebih kuat, lebih percaya diri, lebih berani dan lebih sadar” tentang hak-hak mereka.

“Saya sangat senang membaca ada orang yang mau lepas dari kultur ‘Tidak apa-apa,’” katanya merujukan pada sikap permisif.

Dari Dapur Floresa

Rosis Adir, Pemimpin Redaksi Floresa mengatakan sejak berdiri 2014, Floresa memang lahir dengan pilihan mengawal proses-proses pembangunan di NTT dan Flores khususnya yang makin masif.

Ia mengatakan, kendati membuka peluang bagi pertumbuhan ekonomi, intensifikasi pembangunan di berbagai sektor membawa serta sejumlah soal serius.

Beberapa, kata Rosis, adalah, pencaplokan sumber daya alam, penyangkalan hak masyarakat adat, penggusuran warga dari kampung halaman mereka, pengrusakan hutan dan laut, serta alih fungsi kawasan konservasi menjadi kawasan bisnis pariwisata dan pertambangan.

“Berhadapan dengan masalah-masalah ini, kami menemukan tidak banyak pihak yang memilih berdiri bersama mereka yang menjadi korban atau mau mengkritisi proses-proses yang memicu berbagai masalah serius itu,” katanya.

“Dalam situasi pertarungan kekuasaan yang asimetris semacam ini, Floresa memilih menjadi bagian dari gerakan kritis yang mau mengawal sekaligus menjadi penyambung lidah  mereka yang seringkali diabaikan,” tambah Rosis.

Dengan tim dan sumber daya terbatas, Floresa, kata dia, memang memutuskan untuk hanya berfokus pada isu-isu tertentu.

“Dua hal yang seringkali menjadi pertimbangan adalah isu itu berkaitan dengan kepentingan umum dan korbannya adalah mereka yang tidak berdaya,”

Ia mengatakan, sejak awal berdiri, Floresa memilih tetap berpegang pada sikap kritis independen, yang karena pilihan sikap semacam itu memang beberapa kali mengalami represi.

Dalam memberikan sambutan saat penerimaan anugerah Udin Award di Jakarta, Pemimpin Umum Ryan Dagur  menyampaikan, perjalanan Floresa memang naik turun, terutama karena tidak memiliki sumber daya yang memadai, termasuk dari segi pendanaan.

Namun, kata dia, selalu ada momen di mana situasi di Flores “seperti memanggil Floresa untuk mengambil peran, hadir untuk menyampaikan suara-suara warga terpinggirkan dan kelompok kritis.”

“Hal itu yang membuatnya tetap bertahan hingga kini,” katanya.

Sejak beberapa tahun terakhir, Floresa sudah mulai mendapat dukungan dari beberapa mitra yang bersedia mendukung. 

“Selebihnya kami berupaya mendapat dukungan lewat berbagai cara, termasuk mengikuti berbagai program beasiswa liputan,” katanya.

Tahun ini, kata dia, dua proposal liputan mendapat dukungan dari Earth Journalism Network, dan ada beberapa liputan kolaborasi dengan media lain, seperti dengan Project Multatuli.

“Dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah pembaca kami ada yang berinisiatif memberi dukungan langsung ke Floresa,” katanya.

Ia mengatakan, jika ada dukungan yang lebih memadai, maka “Floresa bisa menggarap lebih banyak isu dan bisa menggapai semua wilayah di Flores, bahkan NTT.”

“Saat ini kami memang lebih banyak fokus di Flores barat, karena keterbatasan-keterbatasan tadi,” katanya.

Peter Dabur, editor merangkap koordinator kontributor Floresa mengatakan, “kami masih perlu meningkatkan kerja sama antaranggota tim.”

Berupaya untuk selalu menjaga kualitas pemberitaan, “kami juga perlu meningkatkan jumlah tulisan dan keragaman topik.”

Anastasia Ika, editor lainnya mengatakan, pilihan Floresa yang berkukuh untuk selalu berpihak pada warga mendorong tim redaksi menyerap pengalaman-pengalaman baru yang serentak menciptakan kedekatan baru antara tim redaksi dan masyarakat setempat. 

“Beberapa kali kami secara tak sengaja ‘memasukkan’ emosi personal dalam tulisan yang tengah dikerjakan,” katanya.

“Kami menyadari bahwa jurnalis bukanlah robot, tetapi memasukkan emosi dalam penulisan jurnalistik juga terkadang dapat mengaburkan fakta-fakta yang sebetulnya penting ditampilkan dalam suatu tulisan,” katanya.

Ia mencatat tim redaksi Floresa “masih harus belajar menyikapi cara menempatkan emosi dalam suatu tulisan jurnalistik.”

Asa untuk Tetap Konsisten

Jonaldi Mikael berharap dengan Udin Award, “Floresa tetap menjaga independensinya, tetap memilih ‘jalan lain’ sebagai media kritis yang mampu mencerdaskan publik.”

Floresa adalah suara dari orang-orang yang tak mampu bersuara,” kata Masyudi Onggal. “Floresa kiranya tetap kritis, independen dan tetap pada pilihan mengabdi pada masyarakat sipil.”

Kinan juga berharap sama agar “Floresa selalu eksis memperjuangkan kepentingan publik.”

Yosef Erwin  berharap Floresa memperluas jaringan kerja sama dengan masyarakat akar rumput di daerah lain, karena “begitu banyak masyarakat akar rumput yang mengalami ketidakadilan dan membungkam pasrah pada nasib karena ditindas oleh bangsa sendiri.”

Ignasius Jacques Juru memberi asa agar Floresa menjadi ruang bagi proses pembentukan kesadaran dan formasi gerakan yang solid di NTT; juga arena pembentukan intelektual publik yang memiliki ketajaman penilaian atas kontradiksi, kerentanan, dan berbagai peluang di dalamnya untuk menggarap agenda-agenda perubahan.

Hendrika Mayora Viktoria berharap Floresa “konsisten menjadi media yang progresif; media yang tetap mempertahankan eksistensinya, yang berani membela hak-hak kelompok marginal.”

Fitri Wahyuningsih mengatakan semoga keberanian Floresa “bisa menular ke saya, ke ruang redaksi kami”

 “Terima kasih Floresa karena jadi bukti bahwa media dan jurnalis yang berbasis di daerah juga bisa hasilkan karya jurnalistik bermutu,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga