Pantai Pede, Surga yang (akan) Terluka

Baca Juga

Oleh: MARSELINUS NIRWAN LURU

 Pede (kata Bahasa Manggarai) bila di-Indonesia-kan berarti pesan, bisa juga titipan. Sebuah nama yang mengandung makna sangat dalam. Bagi saya, Pantai Pede berarti lokasi yang di-pede-kan (dititipkan) oleh leluhur agar selalu dijaga dan dilestarikan sampai kapanpun.

Akan tetapi, beberapa bulan terakhir, ada wacana bahwa Pantai Pede diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta, PT. Sarana Investama Manggabar (PT. SIM). Kalangan masyarakat seperti mahasiswa, LSM, dan warga di Labuan Bajo pun menyatakan sikap penolakan terhadap rencana pemerintah itu.

Santer diberitakan bahwa tidak lama lagi kawasan pantai seluas 3,5 hektar itu akan dialihfungsikan menjadi tempat pembangunan hotel berbintang.

Memang miris mendengar berita tersebut. Ruang terbuka publik menjadi tak bernilai ketika dilihat dari kaca mata ekonomi semata. Alih fungsi lahan ini begitu gampang atas dasar hitungan keuntungan, demi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Ruang publik begitu mudah dijadikan sebagai modal transaksi antara penguasa dan pengusaha. Akibatnya, rakyat termarginalkan.

Banyak kasus serupa yang terjadi di wilayah lain. Kongkalikong antara investor dan pemerintah membuat rakyat jadi korban. Seolah-olah rakyat tak ada apa-apanya.

Di Jakarta, misalnya, kuburan digusur demi pembangunan gedung pencakar langit. Di Kalimantan, hutan lindung dijadikan kebun kelapa sawit. Tak ada ruang untuk fungsi ekologis. Semuanya bernilai dari kaca mata ekonomi.

Para pengambil kebijakan seakan menutup mata akan pentingnya kawasan Pantai Pede selama ini. Tidakkah mereka menyaksikan bahwa masyarakat memanfaatkan lokasi tersebut untuk berekreasi?

Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur mengenai kawasan sempadan pantai. Dikatakan bahwa minimal 100 meter dari pasang air tertinggi ke arah daratan adalah kawasan terlindungi.

Karena itu, zona tersebut harus dilindungi dari kegiatan pembangunan. Bahkan dalam Peraturan Daerah Provinsi NTT yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Provinsi NTT Tahun 2006-2020 telah tertera mengenai peraturan kawasan perlindungan pantai tersebut.

Dalam kasus Pantai Pede, tentu saja pemerintah sudah melanggar aturan itu. Undang-undang penataan ruang mengharuskan masyarakat mengetahui dan berhak menolak berbagai rencana yang menyimpang dari kebijakan yang ada. Bahkan pemberi ijin dan investor dapat dipidanakan.

Surga Terluka

John Ormsbee dalam Budihardjo (Reformasi Perkotaan, 2014) menyebutkan bahwa taman, lapangan olahraga, ruang terbuka, dan tempat bermain merupakan urban paradise atau surga perkotaan.

Tempat-tempat tersebut dijadikan orang sebagai pelepas lelah, penghilang kepenatan dan kejenuhan terhadap kesehariannya serta mendapatkan kebebasan di luar bangunan atau rumah.

Sebaliknya yang terjadi di Pantai Pede. Kebiasaan masyarakat selama ini yang dengan leluasa memasuki kawasan Pantai Pede untuk melepas lelah dan berwisata bersama keluarga, merasakan ramahnya surga kecil tersebut dirampas oleh munculnya privatisasi kawasan tersebut.

Kerinduan anak-anak dan remaja yang selama ini menikmati liburan di Pantai Pede akan tinggal kenangan. Nelayan tak lagi seleluasa dahulu. Disparitas antara orang mampu dan tak mampu akan semakin jelas. Masyarakat akan terasingkan oleh kondisi ini.

Dimanakah pemerintah yang katanya pro rakyat? Dimanakah wakil rakyat yang katanya wakil rakayat? Apakah Tata Ruang sudah bergeser menjadi Tata Uang?

Merealisasikan alih fungsi Pantai Pede menjadi kawasan komersial privat adalah sebuah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat yang telah mempercayakan pemerintah untuk mengelola kota Labuan Bajo.

Orientasi untuk Masyarakat

Pantai Pede akan tetap sebagai surga apabila pemerintah sebagai pemangku kepentingan mengedepankan perencanaan yang berorientasi pengguna (User-Oriented Planning) (Fainstein dan Norman, 1991).

Konsep perencanaan ini menempatkan masyarakat sebagai ‘mesin’ rencana. Masyarakat diposisikan sebagai subjek dan ojek perencanaan. Karena bagaimanapun, sasaran perencanaan dalam sebuah wilayah adalah masyarakat itu sendiri (city about citizen). Keterlibatan aktif masyarakat sangat diperlukan dalam menentukan pembangunan kota. Masyarakat tidak boleh ditempatkan sebagai ‘cukup tahu’ seperti dalam rencana pengelolaan Pantai Pede sekarang.

Teriakan masyarakat untuk menyelamatkan surga kecil Pantai Pede seyogianya didengar dan diperhitungkan. Pemerintah jangan menyumbat telinga dengan ‘rupiah’ serta menutup mata dengan ‘lembaran merah’ dan membiarkan rakyat menjerit.

Sebab berhasilnya privatisasi Pantai Pede merupakan awal rusaknya lingkungan (degradasi). Anak-anak dan remaja akan kehilangan tempat bermain. “Surga” perlahan menjadi neraka bagi warga biasa.

Karena itu, tuan-tuan pejabat, biarkan masyarakat dengan leluasa menikmati surga di Pantai Pede. Tolong jangan dilukai!

Penulis adalah mahasiswa Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta

Terkini