PLN Ruteng, Stop Berbohong!

Baca Juga

Oleh: ALFRED TUNAME

Perusahaan Listrik Negara (PLN) Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT menyampaikan bahwa listrik sering padam dikarenakan oleh kebiasan masyarakat yang menebang pohon. Begitu alasan disampaikan oleh supervisor teknik PLN Ruteng saat dimintai keterangan di depan anggota DPRD Kabupaten Manggarai perihal pemadaman bergilir (Floresa.co, 27/04/2016).

Itulah alasan paling klasik dan paling lugu yang diutarakan oleh PLN Ruteng. Boleh jadi alasan itu benar, bahwa kabel-kabel listrik yang tertindih pohon yang patah akan menggangu aliran listrik. Tetapi, hal itu hanya bisa rasional kalau pemadaman hanya terjadi sehari atau beberapa hari. Anenya, pemadaman listrik bergilir telah terjadi beberapa tahun di setiap harinya.

Publik tentu geram dengan alasan PLN Ruteng tersebut. Ada yang sedang disembunyikan oleh PLN. Publik tidak sedang menuduh supervisor teknik PLN Ruteng bahwa ia sedang membohongi masyarakat Manggarai. Publik hanya ingin transparan atas apa yang terjadi dengan manajemen PLN Ruteng. PLN Ruteng tidak terbuka kepada masyarakat atas pengelolaan PLN. Oleh karena itu, manajemen PLN Ruteng dinilai tidak becus melayani masyarakat.

Perangkap Liberalisasi

Ketidakbecusan PLN Ruteng tidak lepas dari persoalan pengelolaan PLN dari tingkat pusat. Setelah masyarakat diwajibkan menggantikan layanan listrik pasca-bayar dengan listrik pintar (layanan listrik pra-bayar), kualitas layanan penerangan tidak cenderung membaik, justru semakin memburuk. Pemadaman listrik begilir terjadi dimana-mana. Pelayanan PLN wilayah NTT terus dikeluhkan warga. Manajeman pelayanan PLN pun tidak pernah transparan berkaitan dengan persoalan tersebut.

Dengan layanan listrik pra-bayar, pihak PLN melibatkan pihak ketika dalam administrasi pembayaran listrik. Telkomsel adalah pihak ketiga yang terlibat dalam proses pembayaran listrik pintar. Dengan sistem pembayaran pulsa listrik dianggap memudahkan konsumen listrik, diantaranya kemudahan pembelian pulsa/token, tidak ada sanksi pemutusan, tidak dikenakan biaya beban, pelanggan tidak lagi berurusan dengan pencatat meteran listrik dan lain-lain. Kemudahan-kemudahan tersebut harus diikuti dengan konsekuensi ekonomi yang mencengangkan. Logika efisiensi manajemen listrik tersebut membawa kerugian besar dirasakan oleh anak negeri sendiri.

PLN merupakan badan usaha milik negara (BUMN) tetapi dikelola bukan dengan semangat kesejahteraan masyarakat banyak, melainkan semangat liberalisme ekonomi. Ekonomi Pancasila tidak ada dalam semangat pelayanan PLN. Justeru, ekonomi laissez faire sedang menggerogoti pengelolaan BUMN, dalam hal ini PLN. Liberalisasi PLN tersebut menjadikan pemerintah tidak lagi sebagai operator utama dalam pengelolaan sumber daya energi listrik. Hal itu ditandai dengan praktik pemisaan (unbundling) pengelolaan energi listrik, tidak lagi monopoli pemerintah.

Dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, pihak swasta boleh mengakses pengelolaan listrik. Karena itu, terjadilah pemisahan (unbundling) pengelolaan, yakni pembangkit (oleh korporasi), transmisi dan distribusi (oleh BUMN), pengatur pasar dan sistem (oleh lembaga independen).

Atas dasar UU tersebut, pemerintah sering menaikan tarif dasar listrik untuk menarik investor dan pemodal untuk masuk dalam pengelolaan kelistrikan. Saat ini, hanya transmisi yang dikuasai oleh BUMN. Selebihnya, pengelolaan listrik telah dikuasai oleh korporasi asing.

Perusahaan asing, diantaranya dari China dan Jepang, telah menguasai beberapa pembangkit listrik. Maka tidak heran, pembangkit listrik Ulumbu di Kabupaten Manggarai, sangat diminati oleh korporasi asal negara Jepang.

Retail penjualan ke konsumen listrik telah dimonopoli oleh Telkomsel. Dengan sistem monopoli tersebut, perusahaan Telkomsel yang dikuasai oleh Temasek (BUMN-nya Singapura) sangat mudah menentukan harga tarif dasar listrik di tanah air. Itulah proses liberalisasi PLN yang menguntungkan korporasi asing.

Liberalisasi PLN, khususnya dalam konteks sistem pembayaran pra-bayar, berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada banyak tenaga kerja. Mulai dari tenaga teknis hingga tenaga administrasi pembayaran. Selain itu, dengan munculnya agen-agen pembayaran elektronik listrik pintar, tarif listrik pun semakin mahal.

Praktik liberalisasi PLN sejatinya membuat masyarakat Indonesia menjadi budak di negeri sendiri. Kelistrikan Indonesia tidak lagi dikuasai oleh negara untuk hajat hidup orang banyak, tetapi sudah dikuasai oleh korporasi asing demi keuntungan ekonomi yang sebesar-sebarnya.

PLN Ruteng

Liberalisasi PLN telah dirasakan oleh masyarakat Manggarai. Atas dasar binis, tarif pulsa listrik berbeda-beda ditiap agen. Semakin jauh dari dari kota Ruteng, tarif pulsa listrik makin mahal.

Ironisnya, beban kerugian konsumen/pelanggan tidak diimbangi dengan pelayanan penerangan listrik yang prima. Masyarakat pelanggan listrik harus menerima pemadaman bergilir setiap hari sak kepena’e udele dewe (sekehendak maunya sendiri). Tekanan masyarakat dan politik di DPRD Manggarai tidak membuat pelayanan listrik menjadi lebih baik.

Akibat pelayanan listrik yang tidak becus, transaksi dan aktivitas ekonomi masyarakat menjadi terganggu, bahkan menderita kerugian. Perkakas eletronik rusak tidak karuan. Tentu aktivitas pelayanan publik (pemerintahan dan rumah sakit) menjadi terhambat.

Begitu pula aktivitas sosial-budaya menjadi terganggu. Sayangnya, PLN Ruteng tidak mempedulikan kerugian ekonomi, politik dan sosial-budaya tersebut. Masyarakat malah disuguhi dengan alasan paling tolol oleh PLN Ruteng, yakni pemadaman bergilir akibat penebangan pohon dan faktor cuaca.

Sejatinya masyarakat tidak membutuhkan alasan tolol itu. Masyarakat butuh keterangan yang transparan dari PLN Ruteng. Dengan transparasi, masyarakat dan pemerintah daerah Kabupaten Manggarai dapat mencari solusi dan upaya yang maksimal untuk mengembalikan kualitas pelayanan penerangan listrik yang prima.

Tanpa transparasi, itu berarti “pejabat” PLN Ruteng mengambil keutungan pribadi dari pemadaman bergilir. Cukuplah membohongi bangsa sendiri! Listrik itu untuk kehidupan masyarakat banyak, bukan untuk muslihat dan keuntungan pribadi “pejabat” PLN dan korporasi asing.

Penulis adalah adalah peneliti, meminati isu-isu sosial dan politik.

Terkini