Klaim Laiskodat Tidak Ikut Pilgub Lagi Muncul di Tengah Berbagai Kontroversi Kebijakannya

Laiskodat sedang menjadi sorotan dalam beberapa waktu terkakhir terkait dengan berbagai keputusannya yang memicu perlawanan warga.

Baca Juga

Floresa.co – Pernyataan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat untuk tidak akan maju dalam pemilihan pada periode kedua muncul di tengah berbagai kontroversi atas kebijakannya semenjak ia menjabat empat tahun lalu.

Ia sedang menjadi sorotan dalam beberapa waktu terkakhir terkait dengan berbagai keputusannya yang memicu perlawanan warga.

Beberapa diantaranya adalah  terkait pemaksaan kebijakan pengelolaan Taman Nasional Komodo di Kabupaten Manggarai Barat yang melanggar undang-undang, penggusuran warga Besipate dari Hutan Adat Pubabu di Kabupaten Timor Tengah Selatan [TTS] dalam konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun, dan kekalahannya dalam konflik terkait izin tambang batu gamping di Kabupaten Manggarai Timur.

Pernyataan Laiskodat untuk tidak akan maju lagi dalam pemilihan gubernur 2024 disampaikan saat ia memberi sambutan dalam acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun 2023 di Aula Utama El Tari, Kupang, Jumat, 9 Desember 2022.

“Saya tidak akan maju lagi menjadi calon gubernur pada tahun 2024 nanti,” katanya di hadapan para pimpinan OPD dan instansi pemerintah tingkat Provinsi NTT.

Mantan Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR RI ini menyatakan akan kembali ke Jakarta karena “ada hal yang harus kita urus dari pusat supaya mindset orang pusat terkait pembangunan di daerah itu bisa dipahami dengan baik.”

“Kita butuh orang yang tepat mengurus daerah ini,” katanya.

Pernyataannya itu telah memicu diskusi luas di NTT, mengingat hampir semua gubernur-gubernur NTT kembali bertarung untuk periode kedua masa jabatan mereka.

Laiskodat memimpin NTT sejak 2018, bersama wakilnya, Josef Nae Soi. Ia memenangkan pemilihan gubernur dengan mudah pada 2018, setelah Marianus Sae, mantan Bupati Ngada dan sosok yang disebut-sebut sebagai salah satu calon kuat lainnya saat itu tersangkut kasus korupsi.

Selama kepemimpinannya, banyak kebijakan Laiskodat memicu konflik dengan warga.

Pada pekan ini, ia didemo oleh masyarakat adat Pubabu-Besipae. Mereka mendatangi kantornya di Kupang, meminta solusi yang adil atas konflik lahan mereka dengan pemerintah provinsi.

Sejumlah media melaporkan bahwa ia menghindari warga dan terburu-buru meninggalkan kantornya, hingga menerobos lampu merah.

Konflik lahan seluas 3.780 hektar ini berawal dari proyek percontohan intensifikasi peternakan – kerjasama Pemprov NTT dengan pemerintah Australia – pada 1982.

Sejak 2020, konflik kembali memanas setelah Pemprov NTT hendak mengintensifkan upaya untuk menjalankan pengembangan peternakan di atas lahan tersebut. Pemprov NTT mengklaim lahan tersebut sebagai haknya, sementara warga Besipae masih mempersoalkan klaim tersebut.

Selama kepemimpinan Laiskodat, terjadi lima kali penggusuran warga Besipate. Peristiwa terakhir terjadi pada 20 Oktober, di mana rumah sejumlah warga diratakan dengan tanah.

Kontroversi lain Laiskodat adalah terkait kebijakannya memberikan karpet merah bagi PT Flobamor, perusahaan milik provinsi untuk mengelola bisnis pariwisata di TN Komodo.

Langkah itu menuai kontroversi karena dituding oleh warga dan pelaku wisata sebagai bentuk monopoli bisnis, apalagi dengan penetapan tarif masuk 3,75 juta rupiah per orang dengan sistem keanggotaan selama satu tahun.

Gubernur Laiskodat menerbitkan Peraturan Gubernur [Pergub] Nomor 85 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Konservasi di Taman Nasional pada Juli 2022 sebagai payung hukum bagi penerapan kebijakan itu. Pergub itu telah dicabut kembali pada 28 November, pasca munculnya surat dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menyatakan isinya bertentangan dengan undang-undang.

Meski demikian, Pemprov NTT menyatakan tetap memberlakukan kebijakannya itu dan pencabutan Pergub tidak berarti rencana mereka batal. Kenaikan tarif itu dinyatakan akan berlaku pada awal tahun depan.

Ini hanyalah salah satu dari kebijakan Laiskodat yang memicu gelombang perlawanan di TN Komodo.  Pada 2018, tidak lama setelah dilantik, ia mewacanakan relokasi warga Kampung Komodo dan menaikkan tiket masuk menjadi 1.000 dolar Amerika Serikat, atau setara 14 juta rupiah sesuai nilai tukar saat itu.

Pada Oktober lalu, pemerintahan Laiskodat juga menelan kekalahan dalam polemik izin tambang di Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur. Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung, izin tambang batu gamping yang dikeluarkan rezimnya pada 2020 dinyatakan tidak sah.

Gugatan hukum itu ditempuh setelah protes publik, baik di Jakarta, Kupang, Borong, dan sejumlah tempat lainnya terhadap izin tambang yang mengancam ruang hidup warga itu diabaikan.

Selain di Flores dan Timor, di Pulau Sumba juga masyarakat menentang kebijakan Laiskodat. Pada 27 November 2021, masyarakat adat di Sumba Timur sempat berdebat dengan Gubernur Laiskodat  terkait tanah 500 hektar yang diklaim milik pemerintah provinsi yang hendak dimanfaatkan untuk proyek pengembangan sapi.

Laiskodat mengancam memenjarakan warga yang ia anggap menentang proyek tersebut, hingga mengeluarkan kata “monyet” kepada rakyatnya.

Berbagai rekam jejak seperti itu membuat para aktivis menilai, sejauh ini Laiskodat tidak memiliki terobosan yang layak diacungi jempol, selain kontroversi-kontroversinya.

Venansius Haryanto, peneliti pada Sunspirit for Justice and Peace di Labuan Bajo mengatakan pernyataan Laiskodat untuk tidak maju dalam Pilgub NTT 2024 dan memilih “berjuang dari pusat untuk memajukan NTT” mesti dilihat sebagai sebuah “ancaman yang lebih besar terhadap upaya pencaplokan sumber daya agraria di NTT.”

“Tidak ada jaminan dengan dia tidak maju, niat dia untuk menguasai sumber daya agraria di NTT akan berakhir,” kata Venan.

Sementara itu, Melky Nahar, dari Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] yang terlibat dalam advokasi kasus tambang di Lengko Lolok dan polemik lahan di Besipae mengatakan “maju atau tidak majunya Laiskodat dalam Pilgub mendatang itu tidak penting bagi rakyat yang terus menderita akibat produk kebijakan dan regulasi yang bias kepentingan”.

“Masyarakat NTT, terutama yang tak tersentuh dan atau justru menjadi korban dari ‘pembangunan’ itu sendiri, mesti paham, bahwa urusan kontestasi dalam pesta elektoral, berikut calon yang diusung, lebih terlihat sebagai agendanya partai politik dan para bohir yang berkepentingan besar merebut kekuasaan, lalu pada akhirnya bekerja untuk kepentingan mereka sendiri,” katanya.

Melky menyebut contoh berbagai kebijakan kontroversial Laiskodat, seperti dalam kasus di Besipae di mana “warga aslinya justru disingkirkan demi sebuah proyek yang diduga terafiliasi dengan lingkaran Laiskodat.”

“Hal serupa juga dengan warga di Satar Punda, Manggarai Timur yang setelah berdekade dijarah korporasi tambang, bukannya dipulihkan ruang hidupnya, kini justru kembali memberi karpet merah bagi penjahat yang sama untuk mengokupasi tanah-ruang hidup warga” katanya.

“Ini belum termasuk dengan rencana mengaktifkan seluruh wilayah kerja tambang panas bumi di Flores, mulai dari Flores Timur, Ende, Ngada, Manggarai,  dan Manggarai Barat yang, semuanya menjadi momok menakutkan bagi warga setempat,” kata Melky.

Contoh-contoh ini, kata dia, “menunjukkan bahwa kekuasaan politik untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat itu pepesan kosong.”

“Masyarakat NTT mesti kritis, bahwa tak ada satu pun langkah progresif dari Laiskodat untuk memberikan jaminan perlindungan atas ruang hidup warga. Yang terjadi, warga yang mempertahankan ruang hidupnya justru diladeni dengan pendekatan keamanan yang represif, sebagaimana terjadi di Pubabu, Satar Punda, dan Labuan Bajo,” katanya.

“Dan, di tengah seluruh penderitaan ini, kita tak melihat Laiskodat berpihak kepada warga. Lantas, apa pentingnya bagi warga Laiskodat maju atau tidak lagi dalam kontestasi politik mendatang?” tambahnya.

Terkini