Sakralitas Pilkada

Baca Juga

Beberapa unsur sakral sudah sangat terasa, setidaknya dari beberapa momentum ini.

Pertama, kampanye publik beberapa waktu lalu di Manggarai menampilkan wajah rakyat di bawah panggung yang menengadah berharap.

Di sana ada optimisme, kepercayaan, harapan, air mata dan keringat haru, doa-doa syukur dan mohon, dalam kebersamaan demi satu tujuan: kesejahteraan hidup.

Keberadaan (eksistensi) mereka sangat tergantung pada pemimpin yang ada di atas panggung depan mereka sekarang. Bukankah, dengan demikian, para pemimpin ‘mengemban tugas mulia milik Tuhan Allah’?

Kedua, pertarungan emosi dan ‘konspirasi hati’ sedang berlangsung baik secera diam-diam maupun terbuka antar kubu-kubu calon kepala daerah.

Ke Gereja membawa doa-doa permohonan, salah satunya agar tidak sakit hati (Manggarai: beti nai). Di sini, kalau sudah menyinggung ‘hati’, menurut saya, sakralitas pribadi tidak bisa tidak dibahas.

Politik Belas Kasih

Apakah unsur sakralitas berhenti di hari H? Tentu saja tidak. Kinerja dan strategi politik sang terpilih masih dinanti. Ini yang paling sulit.

Namun, jangan pesimis. Jika semuanya utuh, sejak Pilkada hingga tuntas dalam 5 tahun ke depan, sempurnalah dimensi sakralitas itu.

Politik yang belas kasih, yang barangkali masih terkesan kuno untuk diangkat dalam ranah praksis politik modern, merupakan turunan dari sakralitas politik.

Sederhananya, sulit sekali dibayangkan jika pemimpin masyarakat tidak memiliki sikap belas kasih.

Dalam konteks NTT, yang namanya selalu akrab di posisi-posisi terbawah provinsi sejahtera tingkat nasional, sikap belas kasih pemimpin sangat dibutuhkan karena menentukan keberlanjutan nafas hidup rakyatnya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini