Mengejar Janji Kampanye

Baca Juga

Karena itu, pasca Pilkada, agak susah mengharapkan bahwa perhatian kandidat terpilih terarah pada implementasi janji kampanye. Yang diutamakan adalah “balas jasa” yang mekar dalam ragam bentuk, seperti pengembalian modal kampanye dengan menggenjot sektor-sektor potensial atau “lahan basah” yang memproduksi rupiah, memperkaya diri dan kelompok, serta mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok yang memiliki relasi atau kedekatan secara ideologis, kultur, maupun hubungan darah untuk menyelinap “masuk” ke dalam sistem pemerintahan.

Dalam hal ini pengabaian kompetensi personal menjadi lumrah. Selagi kekuasaan direngkuh, seorang kepala daerah akan terus mengutamakan kesejahteraan kelompoknya sendiri dalam bentuk yang beragam dan dengan cara yang beragam pula.

Wilayah-wilayah kritis seperti ini yang sering kali luput dari perhatian publik dan bahkan kurang digemakan secara kritis dalam ruang publik, entah karena cara pandang yang melihat hal tersebut sudah biasa atau mungkin karena pemahaman demokrasi yang keliru.

Lemahnya kesadaran kritis rakyat secara tak langsung menjungkirbalikkan pencarian panjang politik kerakyatan, yang kemudian mengalamai disorientasi. Wajah politik itu sendiri semakin terkikis substansi maupun tujuannya sebagai upaya menciptakan keadilan dan kesejahteraan.

Dalam situasi seperti inilah fatalisme politik muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang kejam sehingga realitas civil obedience menyeruak. Respon pemerintah terhadap fakta pembangunan yang menyengsarakan pun semakin menipis.

Kedua, konsepsi desain pemerintahan ke arah pemerintahan yang adil, bersih, dan berwibawa atau mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) menuntut peran aktif masyarakat.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini