Cari Jawaban ke Polres Manggarai Barat Soal Penanganan Kasus Dugaan Pemerkosaan, yang Didapat Korban: Ponsel Digeledah, Dicap Baper, Disebut Sukarela Disetubuhi

Kasus ini terjadi pada 2020 dan polisi telah menghentikan penyelidikan. Korban memilih terus berjuang, karena meyakini ia diperkosa oleh dua orang saat berkunjung ke Labuan Bajo

Baca Juga

Peringatan: Artikel ini mengandung konten eksplisit terkait pemerkosaan yang dapat memengaruhi kondisi emosi dan mental Anda. Anda bisa memutuskan tidak melanjutkan membacanya jika merasa tidak siap atau pernah mengalami kejadian traumatis serupa

Floresa.co – Pada 27 Maret, seorang perempuan korban dugaan pemerkosaan oleh pemandu wisata di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat berangkat ke kota pariwisata itu.

Datang dari Bali, tempat tinggalnya, ia ditemani adiknya.

Tujuan mereka ke Polres Manggarai Barat, selain ke Rumah Sakit Umum Daerah Komodo, tempat ia menjalani visum usai kejadian pada 2020 itu.

Kedatangannya merespons langkah polisi yang tidak melanjutkan pengusutan kasusnya, kendati telah berkali-kali meminta agar kasus itu dibuka kembali.

Polisi telah memutuskan menghentikan penyelidikan kasus ini pada Februari 2021, beralasan tidak cukup bukti.

Tetap meyakini peristiwa yang menimpanya adalah pemerkosaan, korban menempuh sejumlah langkah.

Ia meminta bantuan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban [LPSK].

Hasil asesmen kedua lembaga itu mengindikasikan bahwa kejadian yang menimpanya adalah pemerkosaan.

Lewat dua surat yang telah dikirim ke Polres Manggarai Barat, Komnas Perempuan meminta kasus ini diusut tuntas, sementara LPSK menyimpulkan berdasarkan hasil pendampingan psikologis bahwa korban mengalami trauma berat karena kasus itu.

Kedua surat Komnas Perempuan tidak satupun yang dibalas oleh Polres Manggarai Barat.

Di Kantor Polisi

Karena itu, saat bertandang ke kantor polisi di ujung barat Flores itu, korban membawa pertanyaan; mengapa polisi tidak kunjung merespons surat Komnas Perempuan dan apakah mereka bisa membuka kembali kasus ini, dengan mengacu pada rekomendasi Komnas Perempuan dan hasil asesmen psikologis oleh LPSK.

Ia tiba pada 27 Maret pukul 12:15 Wita di unit Perlindungan Perempuan dan Anak [PPA] kantor itu.

Ia dan adiknya ditemui oleh beberapa polisi, termasuk Kepala Unit PPA, Ipda Nikolaus Nikson Bunganaen dan Ipda Putu Lia Ardania, seorang anggota lainnya di unit itu.

Putu Lia adalah anggota unit PPA yang sejak awal terlibat menangani kasus ini, kendati telah terjadi beberapa kali pergantian kepala unit.

Selama pertemuan itu, dari rekaman pembicaraan yang diperoleh Floresa, korban berulang kali dibentak, dicap baper ketika berusaha meyakinkan polisi bahwa ia adalah korban pemerkosaan, bahkan hendak dilempari dengan kotak berisi pulpen.

Ponsel korban dan adiknya digeledah ketika polisi tahu mereka merekam pembicaraan itu. Tidak hanya rekaman pembicaraan di kantor polisi itu yang kemudian dihapus, tetapi juga rekaman pembicaraan lainnya hari itu dengan petugas di Rumah Sakit Umum Daerah Komodo.

Salah satu ponsel lain selamat dari penggeledahan, yang juga ikut merekam pembicaraan. Floresa kemudian mengakses rekaman itu.

Dari rekaman berdurasi sejam itu, berikut adalah dialog antara Korban [K] dan adiknya [AK], dengan Ipda Nikolaus N. Bunganaen [N] dan Ipda Putu Lia Ardania [PL]:

K     : Apakah Ibu masih kenal saya? [bertanya ke Putu Lia]

PL   : Masih kenal sekali.

AK  : Saya saudarinya K.

PL   : Bagaimana? 

K     : Apakah surat terakhir saya sudah diterima? 

PL   : Apakah Ibu menerima surat kami di tahun 2020. Dalam surat itu sudah dimuat bahwa kasusnya sudah diberhentikan, tapi kalau ada bukti baru bisa dibuka kembali. 

K     : Jadi, belum ada perubahan? 

PL   : Belum.

K     : Apakah hasil [pendampingan] psikologi yang kami sertakan dalam surat terakhir itu tidak berguna? [Surat yang dimaksud adalah hasil asesmen LPSK menyimpulkan bahwa korban mengalami trauma berat karena kejadian itu]

PL   : Surat yang mana Bu? Hasil [tes] psikologi yang mana Bu? Kami tidak menerima surat itu.

K     : Kapan terakhir ibu menerima surat dari pengacara saya? 

PL   : Soalnya ibu gonta-ganti pengacara. Dari pengacara yang mana? 

K     : Dari Ibu Siti Sapurah. 

PL   : Oh, ada ini. Kami terima surat ini tanggal 25 Maret. [Putu Lia berkata usai memeriksa berkas. Surat tersebut berisi permintaan kepada Polres Manggarai Barat untuk membuka kembali kasus ini, dikirim pada 21 Maret 2024 oleh pengacara korban. Surat itu melampirkan hasil pendampingan psikologis LPSK]

K     : Apakah tidak ada hasil tes psikologi yang dilampirkan? 

PL   : Ada. 

K     : Apakah tidak bisa dipertimbangkan sebagai alat bukti agar bisa buka kembali kasus ini?

PL   : Kalau terkait itu kami sudah menghentikan proses berdasarkan hasil BAP [Berita Acara Pemeriksaan] Ibu. Jadi, untuk dibukakan kembali harus ada gelar perkara internal.

TK   : Kalau gelar perkara, saya harus ada kan Bu? 

PL   :  Itu gelar perkara [internal] Polri.

K     : Kapan ini diproses kembali? Kan sudah menerima surat di tanggal 25 Maret.

PL   : Pimpinan kami belum ada, dan suratnya kami baru terima dua hari yang lalu.

N     : Ibu pernah menerima surat SP2HP yang kami kirimkan? Laporan ibu masih dalam tahap penyelidikan, belum sampai penyidikan sehingga kami hentikan.

[Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan atau SP2HP diberikan oleh penyidik kepada pelapor. Surat yang berisi perkembangan penyidikan itu diteken kepala penyidik]

TK   : Kenapa dihentikan?

N     : Karena belum cukup bukti. Masalahnya apa di sini? [Niko dengan nada tinggi]

TK   :  Saya tidak terima kasus ini diberhentikan, Pak [Direspons K dengan nada tinggi]

N     : Jangan marah, dengar dulu penjelasan saya. Bagaimana kami harus memaksa orang yang tidak bersalah untuk mengakui? [Dengan nada tinggi]

TK   : Mereka sudah mengaku dengan saya, ada chat-nya. 

N     : Oke mereka mengaku, tapi kami bekerja berdasarkan asas praduga tak bersalah. Kami tidak bisa bekerja berdasarkan maunya Ibu. Kami bekerja berdasarkan fakta. Yang kami temukan tidak ada unsur pidana, bagaimana mau memaksakan? Jika sampai di persidangan, kami yang disalahkan, bukan Ibu. Kami tidak serta merta mengatakan bahwa ini adalah kasus pidana [dengan nada tinggi]. Kalau suatu hari ada bukti baru untuk menjadi petunjuk agar bisa dibukakan kembali kasusnya, akan kami pertimbangkan, tetapi harus sesuai dengan nilai yang sudah diperhitungkan, apakah cukup? Menurut Ibu ada pemerkosaan, [tetapi] kami sendiri belum bisa mengatakan bahwa itu pemerkosaan. Kami belum bisa membuktikan adanya pemerkosaan. 

K     : Berarti chat pelaku mengaku dengan saya bahwa sudah melakukan pemerkosaan tidak bisa menjadi bukti? 

N     : Kami sendiri tidak mengatakan bahwa itu pemerkosaan.

K     : Tapi pelaku mengaku? 

N     : Tetapi dalam berkas yang sudah diproses ini tidak ditemukan unsur pidana [Niko dengan nada tinggi, sambil menunjukkan berkas]

K     : Berarti chat pelaku dengan saya tidak bisa menjadi barang bukti? 

N     : Kalau memang pada saat itu tidak memenuhi unsur, bagaimana? 

TK   : Saya tanya, apakah chat pengakuan pelaku tidak bisa dijadikan petunjuk? 

N     : Petunjuk itu berbeda dengan alat bukti. 

TK   : Berarti chat ini bukan petunjuk? 

N : Tidak memenuhi unsur, bagaimana? 

K     : Kok bisa? Ada chat pelaku, nanti saya akan kirimkan ke Bapak? 

N     :  Tidak bisa dari pengakuan pelaku bisa membuktikan bahwa dia bersalah. 

K     : Oh, wow

PL   : Itu bukan pemerkosaan, Bu. Itu persetubuhan. Jadi, beda. 

AK  : Siapa sih yang mau disetubuhi oleh dua orang laki-laki, Ibu? 

PL   : Itu atas dasar mau sama mau.

N     : Ibu tahu kejadiannya? [Niko bertanya kepada adik korban]

AK     :  Iya, saya tahu karena waktu kejadian itu saya juga ada di Labuan Bajo. Sehari setelah kejadian itu, K pergi ke rumah saya, kemudian saya melihat bekas merah-merah di leher, banyak. Ibu ingat? [Adik korban tanya ke Putu Lia, karena dia yang memeriksa korban usai melapor kasus ini]

PL   : Iya ingat. 

F      : Apakah itu normal, Bu? Dan saya tidak di-BAP.

K     : Kenapa? 

PL   : Yang kami BAP itu yang ada di sana [tempat kejadian].

K     : Terus bagaimana dengan pelaku mengaku telah memperkosa saya di saat saya tidak sadar diri? 

PL   : Saya yang BAP Ibu. Ibu melakukan itu dalam keadaan sadar karena setelah itu Ibu ngobrol sama pelaku. Itu tandanya Ibu masih dalam keadaan sadar. 

TK   : Kalau saya dalam pengaruh narkoba bagaimana? 

PL x N: Berarti ibu pakai narkoba? [Putu Lia dan Niko serempak bertanya]

TK   : Saya tidak tahu karena apa yang mereka masukkan dalam minuman saya waktu itu tidak pernah diperiksa oleh kepolisian. [Saat menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Umum Daerah Komodo, korban bersikeras agar ia menjalani tes narkoba. Waktu itu polisi yang menemaninya menolak. Korban akhirnya melakukan tes urine tersebut dengan biaya sendiri]

PL   : Ibu menerangkan waktu itu kalau minum bersama-sama dengan mereka, yaitu Soju. Apakah ibu masih ingat dengan apa? 

TK   : Saya tidak tahu apa yang mereka masukkan [ke dalam minuman] dan polisi tidak pernah cari tahu itu. Saya dipaksa untuk minum.

PL   : Ibu tidak menerangkan kalau mereka memaksa Ibu. 

AK  : Karena ditanyakan pada saat dia lagi linglung saat melaporkan, belum sadar betul. 

PL   : Kenapa linglung? Pakai apa Ibu sebelum minum? Saat disetubuhi saja dia masih sadar, Ibu tahu tidak? [Putu Lia bertanya kepada adik korban]

AK  : Gak mungkin buk, gak masuk di akal.

PL   : Ibu juga tidak masuk akal.

K     : Ibu tidak ada di lokasi, bagaimana Ibu tahu saya tidak linglung? 

PL   : Ibu yang menjelaskan di BAP. 

K     : Apakah kalau ngobrol tidak linglung?

PL   : Tidak linglung.

N     : Sekarang maunya apa sekarang? 

K     : Saya mau ini diproses.

N     : Kami sudah tutup [kasusnya], karena kurang bukti.

K     : Kalau kurang bukti, kenapa sampai detik ini surat Komnas Perempuan tidak pernah dibalas? Dua kali Komnas Perempuan mengirim surat ke Polres Manggarai Barat, tidak pernah dibalas.

PL   : Karena sudah dihentikan.

K     : Tapi kenapa tidak konfirmasi seperti itu? 

N     : Ibu sudah terima SP2HP dari kami kan

K     :  Sudah. Jadi, karena SP2HP itu kalian tidak perlu membalas surat Komnas Perempuan? 

PL   : Kami, saya kan berhubungan sama Ibu.

K     : Saya didampingi oleh Komnas Perempuan.

PL   : Kapan, mana buktinya? 

K     : Saya didampingi secara online sejak awal oleh Komnas Perempuan.

PL   : Saya BAP Ibu itu tanpa didampingi oleh siapa-siapa. 

K     : Apakah tidak ada kewajiban untuk membalas surat itu? [K bertanya dengan nada tinggi]

N     : Santai saja, tidak perlu emosi.

K     : Bagaimana saya santai? Kasus ini sudah berjalan empat tahun.

N : Teman-teman sudah melakukan penyelidikan atas laporan Ibu, tapi karena tidak cukup bukti, dihentikan.

K     : Apakah rekaman yang saya bawa ini bukan bukti? [Rekaman suara antara korban dan E, saksi kunci yang ada di lokasi pada saat kejadian]

PL   : Rekaman yang mana, Ibu? Kenapa baru ditunjukkan sekarang? 

K     : Saya sudah kirimkan ke Ibu sejak lama. Mau saya tunjukkan bukti chat-nya? 

PL   :  Saya tidak menerima rekaman itu.

K     : Saya sudah kirim ke Ibu. 

PL   : Kenapa dikirim setelah Ibu diperiksa? 

K     : Karena saya baru ambil setelah diperiksa. Kalau memang tidak ada rekaman itu, saya kirimkan ulang sekarang ke Ibu. Saya merasa bukti yang saya kirimkan itu ternyata tidak dibaca, rekaman yang saya kirimkan ke Bu Putu Lia tidak dibaca. Surat terakhir yang dikirim oleh pengacara saya tidak dibaca dan tidak dimengerti apa isinya. Setelah saya sampaikan ada surat terakhir, baru bilang, ‘Oh ada suratnya.’ 

N     : Silakan dilampirkan sebagai petunjuk baru. Itu hak Ibu, nanti kita akan menilai isi dari rekaman itu. Bukan serta merta [berkata], ini Pak, ini bukti baru, tapi kami tidak bisa memastikan bahwa apakah yang Ibu tunjukkan ke kami bisa membuktikan bahwa ini benar, ini buktinya. 

K     : Kira-kira kapan bisa dilakukan gelar perkara? 

N     : Tunggu Ibu kirim ya, silakan kirim sekarang. Kalau ada petunjuk baru lagi nanti, silakan.

PL   : Jangan kirim ke saya, semua jangan kirim ke saya. 

N     :  Saya ingatkan lagi ya Ibu. Kasus ini sudah diberhentikan pada 2020. 

TK   :  Iya, itu karena kalian tidak kerja. [Korban mengaku mengatakan demikian karena ketika ia mau serahkan bukti baru, Niko kembali menjelaskan kepadanya bahwa kasusnya sudah diberhentikan] 

N     : Siapa yang bilang kami tidak kerja? Terus, ini apa? [Niko berdiri, menggebrak meja, sambil menunjukkan sebuah berkas dan membantingnya ke atas meja] 

PL   : Memangnya laporan Ibu saja yang kami terima di sini? [Putu Lia teriak]

N     : Siapa yang bilang kami tidak kerja? Teman-teman saya yang kerja sebelumnya sampai di Polda [NTT]. [Niko berkata dengan nada tinggi]

K     : Saya heran kenapa pembuktian itu dibebankan kepada saya?

N     : Yang bebankan Ibu siapa? 

K     : Karena polisi cuma bilang kurang bukti, tapi tidak mau mencari bukti.

N     : Kami menyuruh Ibu mencari bukti? 

K     : Karena polisi tidak mencari bukti kan? 

N     : Kamu jangan baper kayak gitu.

K     : Saya tidak baper. Saya berusaha cari bukti sendiri. Polisi tidak bekerja. Secara tidak langsung polisi membebankan saya untuk mencari bukti. 

PL   : Kami tidak menyuruh Ibu cari bukti.

TK   : Terus kenapa polisi tidak ada usaha cari bukti? 

PL   : Apakah pelaku yang kami periksa itu kami tidak periksa? Kami tidak pernah suruh Ibu cari bukti.  Ibu sendiri yang kirim bukti ke kami! [Dengan nada tinggi]

N     : Silakan ibu kirim bukti barunya sekarang secara tertulis.

K     : Saya mau kirim rekaman dan bukti lainnya.

N     : Mau kirim ke siapa? [Dengan nada tinggi]

K     : Ke Kapolres.

N     : Oke, Ibu kirim secara resmi.

K     : Terus, Bapak tidak mau bantu?

N     : Sebenarnya saya mau bantu, tapi model kayak begini, percuma nanti. 

K     : Bapak ini bagaimana? Saya ini korban. Bapak tidak punya empati dengan saya. Seolah-olah pro dengan pelaku. 

N     : Saya tidak kenal pelaku.

PL   : Ya memang tidak kenal. Apa hubungan kami dengan pelaku? 

N     : Dengar, Ibu silakan kirim bukti itu secara resmi ke Kapolres. Bilang ke pengacara Ibu. 

K     : Kenapa Bapak tidak mau terima? Tadi bilang mau terima bukti yang saya mau kirim. 

N     : Saya tidak mau terima. Nanti Ibu baper lagi.

K     : Jadi itu alasan selama ini kasusnya diberhentikan? 

N     : Jangan kirim ke saya secara pribadi, kirim ke Kapolres secara resmi. 

TK   : Tadi Bapak bilang mau terima.

N     : Tidak. [dengan nada tinggi] 

K     : Saya tidak paham, kenapa saya seperti ini di sini.

PL   : Saya juga tidak paham kenapa Ibu seperti itu.

K     : Saya tidak paham seorang polisi perempuan yang tidak punya empati dengan sesama perempuan. 

PL   : Saya awalnya punya empati sama Ibu.

K     : Ibu ingat, di BAP kedua, Ibu menjebak saya dengan bertanya history seksual saya.

PL   : Saya tidak menjebak Ibu, itu juga merupakan bukti, kesaksian ibu. Kenapa kamu baru bilang sekarang? Makanya mikir, mikir, mikir. Kamu disetubuhi oleh dua orang secara sukarela [Putu Lia ambil berdiri dan menunjuk kepala K]

AK  : Seorang perempuan yang bekerja di Unit PPA kok begini? 

PL   : Suruh adikmu jaga mulutnya. [Putu Lia berdiri sambil teriak menghadap korban]

K     : Ibu sudah dibayar oleh pelaku. [Korban mengaku berkata demikian karena sakit hati dikatakan Putu Lia bahwa ia disetubuhi secara sadar dan sukarela oleh terduga pelaku]

PL   : Siapa yang dibayar pelaku? Mana buktinya? Saya pidanakan kamu. Saya BAP kamu itu berarti saya menolong kamu.

Putu Lia berteriak sambil mengambil dos yang berisi pulpen untuk dilempar ke korban, namun dijegal oleh beberapa anggota polisi lainnya. Saat itu, seorang polisi lainnya di dalam ruang itu terdengar berteriak, ‘Mati kau, mati kau!’ Korban dikelilingi oleh beberapa anggota polisi, lalu mencecar dengan beberapa pertanyaan soal bukti terkait perkataannya terhadap Putu Lia.

TK   : Saya merasa di sini orang tidak berempati dengan saya. Saya akan laporkan kalian kepada Komnas Perempuan.

PL   : Silakan laporkan saya ke presiden! [Dengan nada tinggi]

Korban menangis histeris

PL   : Diam, Ibu, diam. Kami bukan presiden, kami hanya penyidik. 

K     : Saya berusaha untuk berikan bukti rekaman percakapan saya dan E sebagai saksi kunci, tapi Ibu mengaku tidak menerima chat saya. 

PL   : File-nya tidak bisa buka Ibu. 

TK   : Kenapa tidak bisa konfirmasi ke saya? Empat tahun saya berjuang sendiri untuk kasus ini.

N     : Ibu, kami tidak kekurangan uang di sini.

K     : Saya kecewa kenapa saya dituduh berhubungan seksual secara sadar dan sukarela. 

N     : Kami tulis berdasarkan keterangan Ibu sendiri. 

K     : Terus bagaimana dengan keterangan pelaku, apakah dipercaya begitu saja? 

N     : Kami tidak bisa percaya begitu saja keterangan pelaku. Harus ada pembuktiannya. 

TK   : Kenapa surat Komnas Perempuan tidak pernah dibalas? Saya minta surat itu dibalas.

N     : Oke. 

TK   : Kapan membalasnya? 

Niko : Kami tidak punya kewenangan untuk membalas. Ada pimpinan kami untuk menjawab itu.

TK   : Ada kemungkinan suratnya dibalas? 

Niko : Saya tidak bisa memastikan. Itu tergantung pimpinan saya. 

TK   : Pimpinan siapa? 

N : Pertanyaan itu menyudutkan saya.

TK   : Saya pengen tahu.

N : Ibu kan sudah tahu yang menjadi pimpinan di sini, Kapolres. 

TK   : Oh baik, Kapolres. Empat tahun surat yang dikirim ke Polres Manggarai Barat tidak pernah dibalas. Bukti apalagi biar kasusnya dibuka kembali? 

N     : Untuk sekarang belum bisa bisa karena bukti belum cukup. 

AK  : Terus bukti apa lagi yang belum cukup? 

N : Ibu diam.  Ibu bukan pengacaranya dia. Ibu datang, duduk, diam saja di sini. [Dengan nada tinggi]

AK  : Saya saudaranya dia, Pak.

N : Hanya datang menemani di sini, kalau saya suruh keluar, bisa. Jangan menjadi kompor di sini.

AK  : Saya hanya mau tanya Pak. 

Niko : Kau tidak boleh bicara. Kau diam saja.  Dalam proses penyelidikan yang sudah dilakukan sebelumnya, tidak ditemukan bukti. Kalau pun Ibu merasa sudah disetubuhi, diperkosa, setiap orang yang sudah menjadi korban ya seperti itu. Teman-teman yang sudah melakukan penyelidikan tidak temukan bukti yang cukup. Tidak bisa berdasarkan pengakuannya Ibu saja, beda halnya dengan Undang-Undang TPKS [Tindak Pidana Kekerasan Seksual]. Undang-Undang TPKS tidak berlaku pada kasus ini. 

TK   : Saya harus bawa bukti apa lagi? Yang kurang apa, supaya saya cari.

N     : Silakan Ibu bawakan bukti kalau ada bukti. Buat surat ke Kapolres.

Tiba-tiba Niko bereaksi melihat korban yang memegang ponselnya, merekam pembicaraan itu.

N     : Jangan ada rekaman. Kalau ada, saya proses Ibu. 

TK   : Kenapa tidak bisa direkam? 

N     : Ibu rekam atas izin siapa? 

TK   : Saya awam, saya tidak tahu.

PL   : Ngaku awam tapi seolah-olah tahu semua proses kasus ini.

Beberapa anggota polisi lalu menggeledah ponsel korban dan adiknya, menghapus berkas rekaman itu serta rekaman suara lainnya.

N     : Jangan coba-coba kamu di sini ya. 

K     : Bagaimana keterangan saya bahwa saya sudah disetubuhi? Apakah polisi tidak percaya? 

N     : Itu kan keterangannya ibu, kami tidak bisa percaya. Kami butuh bukti.

Rekaman berakhir 

Korban menemui Floresa usai pertemuan itu. Sambil menangis histeris, ia berkata, “kenapa saya diperlakukan seperti ini?”

“Padahal, saya berharap mereka memahami kondisi saya,” katanya.

“Tetapi mereka seolah-olah menganggap remeh semua upaya saya memperjuangkan keadilan,” katanya.

Korban berkata terus memperjuangkan keadilan karena saat mendapat SP2HP pada 4 Februari 2021, polisi menerangkan bahwa penyelidikan dihentikan karena belum menemukan fakta hukum yang bisa memenuhi unsur pemerkosaan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 285 KUHP.

Dalam surat itu, kata dia, disebutkan bahwa jika di kemudian hari ditemukan bukti permulaan yang cukup maka penyelidikan akan dibuka kembali. 

“Berdasarkan isi surat tersebut, saya memberikan bukti permulaan,” katanya kepada Floresa, merujuk pada sejumlah berkas yang telah dikirimkan kepada polisi, juga hasil asesmen LPSK.

Pengacara Korban Kecam Tindakan Polisi

Siti Sapurah, kuasa hukum korban mengecam tindakan polisi terhadap kliennya.

“Tindakan itu tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun. Apalagi dilakukan oleh Unit PPA yang seharusnya melindungi korban dan mengayomi siapa saja yang datang mencari keadilan,” katanya.

Ia menyatakan, tindakan polisi tersebut juga tidak sesuai dengan prosedur standar operasional.

“Seharusnya masyarakat yang datang ke polisi untuk bertanya dianggap tidak paham hukum. Artinya dengan ketidakpahaman hukum masyarakat, polisi harus bersikap layaknya seorang polisi sebagai pengayom masyarakat,” katanya.

Ia berkata walaupun penyelidikan kasus ini sudah dihentikan, namun sesuai undang-undang bisa dibuka kembali sebelum lewat 12 tahun.

Seharusnya, kata dia, “polisi tahu sehingga setiap orang yang datang ke polisi dan membawa petunjuk baru untuk dibukakan kembali kasusnya, ditindaklanjuti sesuai prosedur hukum, bukan langsung menolak dan mengatakan kasusnya sudah ditutup.”

“Saya menilai polisi yang bertugas di Unit PPA Polres Manggarai Barat tidak paham hukum, sehingga bertindak semena-mena terhadap klien saya,” katanya.

Siti Sapurah, pengacara korban pemerkosaan di Labuan Bajo. (Dokumentasi Floresa)

Siti juga menyoroti Ipda Putu Lia, “yang sebagai seorang polisi perempuan seharusnya tidak memperlakukan klien saya seperti itu dan menyimpulkan bahwa klien saya melakukan hubungan seksual dengan dua laki-laki secara sukarela dan secara sadar.”

“Apakah pantas seorang polisi seperti itu? Apakah Putu Lia ada saat kejadian sehingga ia mengatakan bahwa kejadian itu adalah sukarela dan sadar?,” katanya.

Ia mengatakan seandainya penyidik punya hati untuk menyelidiki kasus tersebut, korban pasti mendapatkan keadilan.

Tapi sayangnya, kata dia, “polisi hanya percaya pada pengakuan pelaku.”

Ia juga mengecam aksi polisi yang menggeledah dan menghapus rekaman dalam ponsel kliennya, menyebutnya sebagai tindakan semena-mena.

Siti berkata kliennya berhak merekam pembicaraan itu karena itu haknya sebagai korban yang sedang mencari informasi terkait kasusnya.

“Klien saya bukan penjahat, bukan teroris, bukan tersangka kejahatan apapun. Kenapa harus digeledah?,” katanya.

“Dia korban yang sedang mencari informasi kasus kepada polisi. Ia berhak merekam pembicaraan itu sebagai dokumen dan alat bukti di kemudian hari jika dibutuhkan,” ujarnya.

“Ada apa dengan sikap reaktif kepolisian Manggarai Barat dalam kasus ini?” katanya mempertanyakan sikap polisi.

“Saya membayangkan ada korban lainnya yang diperiksa oleh Unit PPA Polres Manggarai Barat lalu diperlakukan seperti itu. Hal tersebut membuat korban akan menjadi korban untuk kesekian kalinya, jika berhadapan dengan aparat,” ujarnya.

Siti juga mengecam tindakan Kepala Unit PPA, Nikolaus Nikson Bunganaen yang mengatakan bahwa kliennya baper.

Ia mengatakan hal itu menunjukkan tidak adanya empati terhadap korban.

“Kata baper yang diperuntukkan bagi korban menambah luka dan trauma bagi korban.”

Ia mengaku heran “kenapa orang-orang seperti itu ditempatkan di unit PPA?,” yang menurutnya “tidak memiliki pengetahuan hukum ramah korban dan tidak punya empati.”

Ia berharap kepolisian menempatkan anggota yang paham hukum, punya empati dan paham psikologi korban di unit PPA. 

“Tidak bisa dibayangkan bagaimana korban lainnya diberlakukan seperti klien saya ini,” ujarnya.

Ia mengaku telah melaporkan kejadian itu kepada Kapolres Manggarai Barat AKBP Ari Satmoko via WhatsApp dan mendesak segera memeriksa anggotanya yang bertugas di Unit PPA. 

Ipung juga berencana melaporkan hal ini ke Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri.

Floresa menghubungi Kepala Unit PPA, Ipda Nikolaus N. Bunganaen pada 1 April pagi, menanyakan penjelasan versinya terhadap kejadian pada 27 Maret, serta tanggapan atas pernyataan pengacara korban.

Namun, pertanyaan yang dikirimkan via WhatsApp hanya dibaca. Permintaan lanjutan untuk bisa mendapat komentar itu pada 1 April sore juga hanya dibaca.

Kepala Unit PPA Polres Manggarai Barat, Ipda Nikolaus Bunganaen. (Situs Humas Polres Manggarai Barat)

Bagaimana Kasus Ini Bermula?

Korban mengaku mengalami pemerkosaan oleh dua pemandu wisata di Labuan Bajo pada Juni 2020.

Ia meyakini sebagai korban pemerkosaan karena kehilangan kesadaran saat malam kejadian setelah ikut mengonsumsi minuman jenis Soju yang dibawa oleh dua pelaku bersama empat teman mereka.

Tidak butuh waktu lama, saya langsung hilang ingatan dan tidak sadarkan diri setelah meneguk minuman tersebut. Meski tidak melihat sendiri, namun saya menduga malam itu minuman tersebut dicampuri obat-obatan tertentu untuk bisa melumpuhkan saya,” katanya.

Segera tidak sadarkan diri, kata dia, E, saksi kunci,  memberikan akses kepada SF dan NL – dua terduga pelaku membawanya ke kamar. 

“Di sanalah, mereka berdua memperkosa saya, secara bergantian,” katanya.

Keesokan harinya, kata dia, “setelah menyadari bahwa saya telah diperkosa dalam keadaan tidak sadarkan diri, saya yang seharusnya balik ke Pulau Jawa, memilih membatalkan tiket pesawat.”

“Saya menangis di Bandara Komodo Labuan Bajo, lalu memutuskan mendatangi Polres Manggarai Barat, melaporkan kasus ini,” tutur korban.

Namun, ia mengaku menemukan berbagai kejanggalan sejak awal penanganan kasus ini.

Salah satu misteri yang hendak dicari jawaban oleh korban adalah penyebab ia kehilangan kesadaran saat kejadian, kendati hanya mengonsumsi minuman dalam jumlah sedikit. 

Karena itu, saat menjalani visum et repertum, ia  bersikukuh meminta dilakukan tes urine untuk mengetahui kandungan minuman itu. 

Visum et repertum merupakan keterangan tertulis dari dokter dan ditujukan kepada penyidik suatu perkara yang nantinya digunakan untuk kepentingan peradilan.

Ia menyatakan, polisi yang mendampinginya sempat “mempersulit saya mendapatkan tes tersebut, padahal semua biaya visum, juga tes urine itu saya tanggung sendiri.”

“Setelah perdebatan yang panjang, ia berkata bahwa atasannya telah memberi izin melakukan tes urine,” katanya.

Proses visum belum selesai, polisi itu, kata dia, memutuskan pulang, meninggalkannya sendirian.

“Sebelum pergi, ia meminta uang sebesar Rp780.000, yang ia sebut sebagai biaya administrasi untuk visum,” tutur korban.

Ia menjelaskan kejanggalan berlanjut saat mengisi BAP.

Ia mengaku dipaksa Putu Lia, polisi di Unit PPA Polres Manggarai Barat untuk mengaku sehat.

“Padahal, saat itu saya merasakan sakit dada yang amat sangat, kesulitan bergerak, bernapas, dan merasa sakit saat bersin atau batuk. Ia juga mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang justru menjebak saya dan berpotensi meringankan pelaku,” katanya.

Di sisi lain, jelasnya, “pencarian bukti justru di beban kepada saya.”

“Saya harus mengumpulkan sendiri botol-botol minuman yang kami konsumsi malam itu dan menyerahkannya kepada polisi. Saya sendiri yang juga berinisiatif memberikan semua salinan percakapan antara saya dan para pelaku melalui aplikasi WhatsApp dan Instagram,” tuturnya.

Kejanggalan kembali terjadi ketika kemudian ia mendapat hasil visum. Ternyata hasil tes urine tidak muncul, seperti yang dijanjikan perawat di RSUD Komodo.

“Saat saya tanyakan ke Putu Lia, ia malah menyuruh saya menanyakan sendiri ke RSUD Komodo. Ia beralasan, tes itu bukan tanggung jawab polisi dan tidak berhubungan dengan kasus yang saya alami. Sementara itu, polisi tetap bersikeras bahwa saya tidak memiliki cukup bukti dan terus-menerus membebani saya untuk mengumpulkan bukti-bukti lainnya,” katanya.

“Polisi juga menganggap luka dan lebam pada tubuh dan vagina saya tidak cukup membuktikan bahwa yang saya alami adalah pemerkosaan,” tambahnya.

Keanehan berlanjut karena pihak rumah sakit tidak menyerahkan hasil tes urine kepada korban.  Lebih dari tiga tahun kemudian, yaitu pada Oktober 2023, pihak rumah sakit baru mengirim salinannya kepada korban dengan hasil negatif, setelah korban terus menuntut.

Melihat Polres Manggarai Barat sudah tidak berpihak kepadanya, ia sempat pun melaporkan kasus ini ke Polda NTT di Kupang.

“Laporan saya diterima dengan baik dan mereka berkata segera melakukan gelar perkara di Polres Manggarai Barat. Anehnya, saya tidak pernah dilibatkan dalam proses gelar perkara tersebut. Kasus ini kemudian didiamkan,” katanya.

Karena kecewa, ia kemudian membuat laporan ke Mabes Polri di Jakarta. 

“Selang seminggu setelah laporan saya kirim, Kapolda NTT meminta saya dan pengacara saya, Bu Siti Sapurah atau Ipung, melalui salah satu anggota Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan pertemuan di Hotel Sultan Jakarta. Karena tidak ada keterbukaan tentang apa yang akan dibahas, saya dan Ipung memutuskan untuk tidak ikut pertemuan tersebut.

Pada Agustus 2023, Komnas Perempuan kembali menulis surat ke Polres Manggarai Barat. Namun, surat itu juga tidak dibalas.

“Saya pun memberanikan diri untuk menceritakan kisah saya di platform X pada September 2023,” katanya.

Dari kisah itu, media mulai memberitakan kasus ini, termasuk Floresa. 

Dalam sebuah surat yang dikirim pada Oktober 2020, Komnas Perempuan mengatakan kasus ini merupakan pemerkosaan yang dilakukan secara terencana, tidak seperti klaim pelaku dan kesimpulan polisi bahwa hubungan seksual dengan korban atas dasar suka sama suka.

Pemerkosaan, kata Komnas Perempuan, memanfaatkan kondisi korban yang tidak sadarkan diri dan karena itu tidak ada alasan yang meringankan terduga pelaku.

Editor: Ryan Dagur

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini