BerandaREPORTASEMENDALAMAnggap Proses Hukum Kasus...

Anggap Proses Hukum Kasus Terminal Kembur ‘Peradilan Sesat,’ PMKRI Nyatakan Mosi Tidak Percaya dan Desak Copot Jaksa di Kejari Manggarai

PMKRI Ruteng menggelar aksi unjuk rasa pada 5 Juni, di mana mereka ikut menuntut Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung mengambil tindakan terhadap para jaksa dan hakim yang menangani kasus Terminal Kembur

Floresa.co – Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI] cabang Ruteng menuding proses hukum terkait kasus Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur sebagai bentuk peradilan sesat dan meminta para jaksa yang menyelidiki kasus ini segera dicopot

Dalam aksi unjuk rasa di depan kantor Kejaksaan Negeri Manggarai pada Senin, 5 Juni 2023, puluhan aktivis organisasi itu menyatakan mosi tidak percaya lembaga penegak hukum itu.

“[Kami] mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk mengevaluasi Kejaksaan Negeri Manggarai dan mendesak Hakim Agung memeriksa Hakim Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Kupang,” kata mereka.

Dalam aksi itu, mereka juga mendesak untuk membebaskan Gregorius Jeramu dan Benediktus Aristo Moa [BAM], dua orang yang dianggap bersalah dalam pengadaan tanah terminal itu.

Mereka menilai, vonis penjara terhadap Gregorius dan BAM dalam sidang pada 29 Maret adalah “tidak obyektif dan tebang pilih.”

Gregorius dinyatakan bersalah karena menjual tanahnya yang belum berserfikat untuk pembangunan terminal itu. Ia hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan [SPT PBB] sebagai alas hak.

Sementara BAM yang berperan sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Manggarai Timur dinyatakan bersalah karena tidak meneliti status hukum tanah itu.

Hakim memvonis Gregoris 2 tahun penjara dan mewajibkannya mengembalikan kerugian negara senilai harga tanah Rp 402.245.455. AAristo divonis 1,6 tahun dan membayar denda senilai 100 juta rupiah.

Salah satu spanduk yang dibawa aktivis PMKRI Ruteng saat menggelar aksi unjuk rasa pada 5 Juni di Kejaksaan Negeri Manggarai. (Istimewa)

Laurensius Lasa, Ketua PMKRI Ruteng mengatakan kepada Floresa bahwa penetapan tersangka hingga vonis penjara Gregorius dan BAM menjadi preseden buruk dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, khususnya di Manggarai.

“Ini melahirkan pesimisme masyarakat terhadap penegakan hukum,” katanya.

Ia menjelaskan, PMKRI Ruteng telah menyampaikan keberatan terhadap penetapan tersangka Gregorius dan BAM melalui aksi demonstrasi pada 7 November tahun lalu.

Lasa mengatakan, sebetulnya tanah itu tidak bermasalah, karena kepemilikannya oleh Gregorius sebelum dijual kepada pemerintah adalah sah sesuai hukum adat orang Manggarai.

Hukum adat, kata dia,  dikuatkan oleh UUD 1945 setelah amandemen ke-2 pada tahun 2000 pasal 18B yang menerangkan bahwa “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Ia menambahkan, Gregorius menguasai tanah tersebut sejak 1980-an, hal yang juga diakui oleh tu’a golo (tua adat) Kembur.

“Dalam pasal 37 UU Pokok Agraria yang berbunyi bahwa ketika kita menguasai tanah selama 20 tahun atau lebih secara terus menerus, jujur, dan tidak dipersengketakan, memiliki hak untuk memperoleh hak atas tanah tersebut,” katanya.

“Artinya negara sudah mengatur sedemikian rupa tentang hukum adat yang kemudian dijadikan sebagai landasan tentang keberadaan tanah yang berada di Indonesia umumnya dan Manggarai pada khususnya. Apalagi Manggarai yang masih percaya penuh dengan hukum adat dalam berbagai aspek terlebih khusus tentang tanah.”

Yang patut diusut dalam kasus ini, kata dia, adalah pembangunan fisik terminal yang mangkrak itu yang jelas telah merugikan keuangan negara dan menjadi fokus awal kejaksaat saat menangani kasus ini.

“Pilihan mengabaikan penyelidikan terhadap pembangunan fisik, tentu menimbulkan kecurigaan yang besar bagi masyarakat. Kami menduga Kejaksaan Negeri Manggarai telah bermain mata atau berselingkuh dengan beberapa pihak tertentu sehingga kasus pembangunan fisik ditutup rapat,” katanya.

“Kuat dugaan kami bahwa Kejari Manggarai telah menjadikan kasus Terminal Kembur sebagai ajang dalam praktik-praktik pemerasan,” tambahnya.

Bagi PMKRI, kata dia, proses hukum kasus ini kuat dengan tebang pilih sebab ada pihak lain yang seharusnya bertanggung jawab, justru lolos.

Ia menyebut Fansi Jahang dan Gaspar Nanggar, yang saat pengadaan tanah dan pengerjaan terminal masing-masing menjabat sebagai Kepala Dinas dan Kepala Bidang Perhubungan Darat.

Fansi saat ini menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai, sementara Gaspar sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Manggarai Timur.

Lasa menyatakan, PMKRI Ruteng akan terus mengawal kasus ini hingga Gregorius dan BAM mendapatkan keadilan.

Terminal Kembur awalnya direncanakan untuk menjadi penghubung bagi angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur dengan angkutan khusus menuju Borong.

Pemerintah  menghabiskan anggaran sebesar Rp 4 miliar untuk pembangunannya, di mana Rp 3,6 miliar adalah untuk pembangunan fisik terminal mulai tahun 2013 sampai 2015 dan 400 juta untuk pengadaan tanah. Namun, usai dibangun, terminal itu tidak dimanfaatkan dan kini kondisinya rusak.

Kasus terminal ini mulai diselidiki Kejaksaan pada awal 2021, di mana jaksa memeriksa 25 orang saksi, termasik Fansi dan Gaspar, juga mantan Bupati Yoseph Tote.

Kontraktor yang mengerjakan terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E Go.

Kejaksaan baru mengusut masalah pengadaan lahan, sementara terkait pembangunan terminal belum tersentuh.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga