Oleh: Aprianus Defal Deriano Bagung
Sejak ditetapkan sebagai destinasi pariwisata super premium, pembangunan infrastruktur pariwisata di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT terus digenjot. Dengan propaganda “demi kesejahteraan masyarakat” pemerintah terus memoles wajah kota di ujung barat Pulau Flores itu dan sekitarnya dengan beragam proyek infrastruktur.
Tampaknya pembangunan-pembangunan tersebut akan terus berlangsung hingga beberapa tahun ke depan, mengingat pemerintah terus menerus berupaya menyulap Labuan Bajo sebagai “Bali baru.”
Sayangnya, sebagian dari proyek infrastruktur tersebut sudah menunjukkan tanda-tanda bermasalah. Bangunan yang mubazir serta sarana-prasarana yang tidak terawat adalah dua indikator masalah serius dari pembangunan infrastruktur yang telah menelan anggaran negara yang fantastis.
Kedua masalah ini mendesak untuk ditangani, entah melalui strategi jangka pendek maupun memikirkan langkah yang lebih jangka panjang.
Dua Kesalahan Pemerintah
Hemat saya, infrastruktur bermasalah ini merupakan buah dari kekeliruan, atau lebih tepatnya. kesalahan cara berpikir pemerintah.
Pertama-tama dari sisi manfaat, sebagian proyek infrastruktur di Labuan Bajo sudah sejak awal tidak dibangun untuk menjawab kebutuhan warga setempat. Seolah tampak direncanakan dengan strategi kerja yang matang, sebagian infrastruktur sama sekali dibangun tidak untuk menjawab manfaat tertentu.
Akibatnya, walau menelan anggaran yang banyak, pembangunan tersebut berujung mubazir. Kasus ini dapat ditemukan dalam bangunan hidroponik di Kampung Kaper, Desa Golo Bilas di pinggiran Labuan Bajo dan bangunan homesatay berbentuk homepod di Kampung Cecer, Desa Liang Ndara, 10 kilometer ke arah timur Labuan Bajo.
Digadang-gadang menjadi pemasok sayur untuk Kota Labuan Bajo, rumah hidroponik yang dibangun Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo-Flores itu (BPO-LBF) itu berujung mubazir. Sebagaimana dilaporkan Floresa.co, setelah panen perdana tahun lalu saat ini lokasi itu sudah tidak lagi terawat, ditumbuhi rumput sana-sini dan dijadikan sebagai “kandang ternak” oleh warga setempat.
Sementara itu, diklaim sebagai bagian dari upaya pemberdayaan para pelaku wisata komunitas melalui jasa akomodasi berupa penginapan, bangunan homepod di Kampung Cecer dalam keadaan rusak parah dan tidak sempat digunakan sama sekali.
Mengapa kedua pembangunan ini dapat dikategorikan gagal total? Menurut saya sudah sejak awal, kedua infrastruktur ini sama sekali bukan merupakan solusi atas persoalan dari kedua kelompok komunitas yang dijadikan sebagai target penerima manfaat. Keduanya digagas digagas jauh dari konteks ekonomi, sosial serta budaya setempat. Akibatnya, kedua komunitas penerima manfaat akhirnya sulit menemukan cara memaksimalkan sarana prasarana yang telah dibangun.
Hidroponik, sebuah model cara bertani untuk masyarakat kota serta berbiaya mahal sangat tidak tepat dikembangkan untuk warga setempat yang bertani dengan cara mamanfaatkan luasnya lahan yang mereka miliki. Semestinya pemerintah membangun infrastruktur pertanian yang membuat warga mampu memaksimalkan potensi lahan mereka.
Hal yang sama juga terjadi pada kasus bangunan homepad yang jelas-jelas bukan merupakan bagian dari kebudayaan warga setempat. Hemat saya, untuk masyarakat adat Manggarai yang kuat dengan budaya ramah-tamah, mendorong konsep homestay yang terintegrasi dengan rumah warga semestinya agenda yang perlu didorong oleh pemerintah.
Kedua, walau dibangun untuk menjawab manfaat tertentu, sebagian pembangunan infastruktur yang lain di Labuan Bajo tampak dibangun tanpa melalui sebuah proses perencanaan yang matang.
Indikatornya, perawatan serta pemanfaatan pasca pembangunan tidak lagi menjadi perhatian perencana. Ada kesan kuat bahwa yang penting proyek telah terlaksana, sementara bagaimana pengelolaan infrastruktur tidak lagi dipikirkan.
Ada banyak contoh dari kasus ini. Poyek lain berupa penanaman pohon palem di beberapa ruas jalan di kota Labuan Bajo yang tampak tidak lagi terawat dan pembangunan tempat pengolahan limbah B3 yang berlokasi di Desa Nggorang, 10 kilometer ke arah timur Labuan Bajo yang hingga sekarang belum kunjung dimanfaatkan adalah dua contoh kegagalan yang timbul dari sebuah proses perencanaan pembangunan infrastsruktur yang tidak matang.
Untuk mempercantik Labuan Bajo, pemerintah mendatangkan pohon palem dari Pulau Jawa. Proyek ini menelan biaya yang tidak sedikit, mengingat harga per pohon adalah lima juta rupiah. Kini, puluhan dari pohon tersebut sudah mati dan dibakar, sedangkan yang lainnya sudah mulai mengering, tanpa adanya langkah perawatan yang terukur atas masalah ini.
Sementara tempat olah limbah B3 yang menelan anggaran hingga 7 miliar rupiah juga tidak kunjung dimaksimalkan. Tempat itu direncanakan untuk mengolah limbah B3 sekaligus tempat pembakaran limbah medis dari fasilitas kesehatan sedaratan Flores dan Lembata.
Setelah diresmikan pada 2021, tempat itu sudah tidak lagi terawat dan sudah ditumbuhi rumput liar. Karena tempat itu tidak juga digunakan, limbah medis di kota Labuan Bajo masih dikirim ke Jawa Timur.
Langkah Mendesak
Pertama, untuk jangka pendek, pemerintah tentu saja harus mengevaluasi berbagai proyek ini. Pemerintah harus mengakui bahwa di Labuan Bajo ada proyek infrastruktur yang sedang bermasalah. Tegasnya pemerintah sebagai perencana perlu bertanggung jawab atas pembangunan yang ada.
Konkretnya pemerintah segera membuat pernyataan berupa pertanggungjawaban publik atas proyek hidroponik, pohon palem dan bangunan limbah B3 yang hingga sekarang bermasalah. Aparat penegak hukum juga bisa mengambil langkah untuk menyelidiki berbagai proyek itu.
Kedua, untuk jangka yang lebih panjang, pemerintah perlu memikirkan strategi pembangunan infrastruktur yang matang. Yang paling urgen, jauh-jauh hari rencana pembangunan infrastruktur perlu melibatkan warga setempat. Dengan cara ini, pembangunan yang ada benar-benar menjawab kebutuhan warga.
Pembangunan infrastruktur yang amburadul mesti segera ditinggalkan agar miliaran, bahkan mungkin trilunan dana yang dikucurkan ke Labuan Bajo bisa benar-benar berdampak bagi warga lokal. Jangan sampai proyek-proyek itu hanya jadi bancakan dari orang-orang pusat dan mitra mereka di daerah yang sekedar mau mencari untung, tanpa peduli soal kualitas dan manfaatnya.
Penulis adalah mahasiswa pada Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Fakultas Ilmu Komunikasi, Program Studi Ilmu Komunikasi.